Jejak Diponegoro di Museum Fatahillah (Bag.2)

Pangeran Djonet dan pasukan kecilnya tidak melewati gerbang kota yang dijaga satu regu pasukan Belanda, melainkan mengambil jalan sedikit memutar, menyeberangi sebuah kali kecil dan dangkal, lalu menerobos semak-semak yang cukup rapat yang tidak begitu jauh dari pintu gerbang.

Mereka beruntung masih bisa memantau pergerakan kereta Belanda itu dari kejauhan lewat dua cahaya lentera yang digantungkan di bagian belakangnya.

“Saya yakin mereka menuju karesidenan, Pangeran…,” ujar Mursyid lagi.

“Ya, kita ikuti terus sampai mereka berhenti,” jawab Pangeran Djonet.

“Siap!”

Dan benar saja. Rombongan besar pasukan Belanda itu memang memasuki pekarangan karesidenan yang sudah dijaga dengan sangat ketat.

“Rupanya mereka akan beristirahat disitu….”

Pangeran Djonet menoleh ke arah Mursyid. “Mungkinkah sekarang juga kita bebaskan ayahanda, Paman?”
Yang ditanya tidak segera menjawab dan kemudian dia menggelengkan kepalanya.


“Terlalu beresiko, Pangeran. Dan saya yakin, Kanjeng Sultan pun pasti sudah teramat lelah. Beliau butuh istiahat sekarang ini…”

Pangeran Djonet mengangguk-angguk. “Jika demikian, kita juga beristirahat di sini saja. Jangan lupa kita tetap berjaga bergiliran…”

“Siap, Pangeran! Saya berjaga terlebih dahulu. Pangeran dan yang lainnya silakan beristirahat terlebih dahulu,” kata Mursyid yang memang belum tampak kelelahan atau pun mengantuk sedikit pun. Pangeran Djonet mengangguk sambil tersenyum. Dia begitu bangga memiliki anak buah yang sangat kuat dan setia seperti Mursyid, jawara asli Menoreh yang usianya jauh di atasnya.

“Terimakasih Paman…”

OLEH BELANDA, PANGERAN DIPONEGORO TERNYATA diinapkan di Karesidenan Semarang untuk beberapa hari. Dari mata-matanya, Pangeran Djonet mendapatkan informasi jika atas perintah langsung dari Gubernur Van Den Bosch yang berkedudukan di ibukota kolonial Batavia, Belanda sengaja tidak menahan ayahandanya di penjara kota, namun menahannya di sebuah ruangan di dalam kompleks Karesidenan Semarang yang dijaga ketat. Selain itu, juga ada informasi tambahan jika dalam waktu dekat Diponegoro akan dinaikan ke sebuah kapal uap yang akan berangkat dari pelabuhan Semarang menuju Batavia.

Di Semarang, Pangeran Djonet dan pasukannya menginap di sebuah rumah sederhana di perbatasan hutan yang tidak jauh dari karesidenan, sehingga selain aman juga secara bergiliran mereka bisa memantau perkembangan situasi yang ada.

Hingga pada 5 April 1830, sejak dini hari sudah terlihat kegiatan yang tidak seperti biasanya di dalam maupun luar pagar kompleks karesidenan. Gerbang yang biasanya dijaga oleh beberapa prajurit hulptroepen, kali ini langsung dijaga oleh pasukan infantri Belanda. Beberapa kuda juga telah dipersiapkan di depan pos jaga dalam kondisi siap berangkat.

“Mereka pagi ini sepertinya akan membawa Kanjeng Pangeran meninggalkan Semarang…,” ujar Mursyid.
Pangeran Djonet menganggukkan kepalanya. “Ya, kita juga harus bersiap…”

Pagi itu Pangeran Djonet dan beberapa laskarnya berkumpul untuk membahas strategi apa yang akan dilakukan untuk membebaskan Kanjeng Pangeran Diponegoro dari sekapan Belanda.

“Jika ayahanda telah dinaikkan ke atas kapal, akan ada kesibukan beberapa saat di sana. Biar aku saja yang akan naik juga ke kapal, kalian tunggu di bawah, dekat kapal, dan tetap bersembunyi. Bersiaplah untuk segala apa yang akan terjadi,” tegas Pangeran Djonet.

Mursyid dan beberapa laskar yang lain tadinya mau menyela. Mereka tak sampai hati pangeran yang masih sangat muda itu sendirian menghadapi Belanda di atas kapal. Namun mereka diam saja dan percaya dengan Pangeran Djonet yang walau usianya masih muda namun telah memiliki keterampilan bertempur dan olah kanuragan yang tak kalah hebatnya dengan pendekar-pendekar yang usianya jauh lebih tua.

Benar saja, ketika matahari telah bersinar di ufuk timur, telah tampak kesibukan yang tidak biasa di komples karesidenan. Sepasukan kavaleri bersenjata lengkap telah berbaris di depan gerbang, dan sebuah kereta yang beberapa hari lalu telah membawa Diponegoro pun telah ada di depan salah satu rumah di dalam kompleks dijaga oleh satu regu pasukan infanteri Belanda.

Dari tempat pengintaian yang tersembunyi, Pangeran Djonet dan lainnya bisa mendengar aba-aba dalam bahasa Belanda bersahut-sahutan.

“Mereka sebentar lagi berangkat!” desis Pangeran Djonet.

“Siap, kami telah siap Kanjeng Pangeran!” ujar Mursyid pelan. Sepuluh meter di balik rerimbunan pohon dan belukar, kuda-kuda mereka yang telah diberi minum dan makan telah ditambatkan dan siap untuk bergerak.
Semuanya tiarap, memasang mata lebar-lebar menanti perkembangan yang akan terjadi. Tiba-tiba terdengar peluit dua kali dan aba-aba bernada tinggi berbahasa Belanda dari dalam karesidenan. Pasukan kavaleri yang berbaris rapi di depan gerbang membelah diri menjadi dua, menyisakan satu lajur jalan di depan gerbang dan tak lama kemudian tampak kereta kuda yang bergerak pelan meninggalkan kompleks karesidenan. Kereta kuda itu berjalan di depan, mengikuti lima kuda pasukan kavaleri, dan dibelakangnya terdapat ratusan prajurit kavaleri Belanda bersenjata lengkap yang mengiringinya.

“Mereka telah bergerak. Kita bersiap!”

“Siap, Kanjeng Pangeran!”

Ketika pasukan Belanda itu telah berlalu dari depan mereka, Pangeran Djonet dengan sigap berdiri dan melompat ke punggung kudanya, diikuti para laskar. Mereka pun kembali mengikuti gerak pasukan Belanda itu yang terus menuju utara, yang akan berakhir di pelabuhan Semarang.

Benar saja, dengan pengawalan ketat, Pangeran Diponegoro dinaikkan ke sebuah kapal besar, SS Van Der Capellen, yang telah menunggu.

Pangeran Djonet berbisik kepada anak buahnya jika dia akan sendirian ikut naik ke kapal itu. Semua anak buahnya diperintahkan menunggu di bawah di tempat yang aman.

Dengan mengendap-endap, pangeran berusia remaja itu berhasil naik ke atas kapal. Dia sempat mencuri dengar percakapan awak kapal jika sebentar lagi kapal akan berangkat menuju Batavia. Namun nahas, di atas geladak, seorang serdadu Belanda memergokinya lalu berteriak kencang.

“Ada penyusup!”

Dalam waktu sepersekian detik, para serdadu Belanda bersenjata lengkap mengejar Pangeran Djonet. Ketika semua jalan sudah dikepung, tanpa ragu sedikit pun Pangeran Djonet langsung terjun ke laut. Puluhan serdadu Belanda mengejarnya dan gagal menangkap putera sulung Pangeran Diponegoro itu. Dari atas geladak kapal, mereka memberondongkan tembakan ke laut secara membabi-buta.

Pangeran Djonet menyelam sedalam-dalamnya untuk menghindari siraman timah panas. Semua tembakan Belanda luput, tak satu pun yang menggores kulitnya. Lalu dia berhasil muncul di tepian pelabuhan yang aman dan sepi.
Masih di dalam air, Pangeran Djoned melihat kapal besar itu mulai bergerak usai meniupkan peluitnya yang panjang. Remaja itu terus menatap kapal yang membawa sosok ayah tercinta, sampai bayangannya menjauh, kabur, dan menghilang di batas cakrawala.

“Aku harus ke Batavia…,” desisnya.

LEWAT JALAN DARAT, SETELAH BERHARI-hari berkuda melewati jalan hutan dan pegunungan, Pangeran Djoned dan beberapa anak buahnya berhasil memasuki Batavia. Demi keamanan, mereka menutupi identitas aslinya rapat-rapat.

Mereka tahu, Belanda selalu memenjarakan tawanan perang, politik, dan sebagainya di ruang bawah tanah Stadhuis, Balaikota Batavia. Tidak ada penjara lain yang lebih kokoh, ketat pengamanannya, sekaligus menyeramkan, dibanding yang ada di bawah Stadhuis.

Pangeran Djonet dan para laskar akan mencari tahu dimana Diponegoro ditawan. Di sisi lain mereka perlu ‘rumah’, karena berkeliaran di Batavia yang merupakan pusat pemerintahan kolonial tentu saja tidaklah aman.
Berbekal pengetahuan akan sejarah, Pangeran Djonet tahu jika kakek buyutnya, Sultan Agung Hanyokrokusumoh, pernah dua kali menyerang Kastil Batavia di tahun 1628-1629. Banyak dari sisa laskar Mataram yang dipimpinnya tidak kembali namun membangun satu perkampungan di daerah Batavia timur yang kemudian disebut-sebut sebagai wilayah Mataraman[ Kini disebut Matraman. Suatu kawasan strategis yang menghubungkan kawasan Salemba, Rawamangun, dan Jatinegara.].

Pangeran Djonet dan lainnya langsung menuju ke daerah itu dan sempat beristirahat di sebuah masjid. Di dalam masjid, mereka mengawasi orang-orang dan setelah mendapat informasi yang cukup, mereka menuju sebuah rumah yang dianggap sebagai sesepuh Mataraman. Kepada sesepuh itu mereka membuka identitas asli dan akhirnya mereka diterima dengan sangat hangat. Banyak yang menanyakan kabar kampung halaman setelah bergenerasi tidak pernah pulang.

Suatu hari Pangeran Djonet mendapat informasi jika ayahandanya tidak ditahan di penjara bawah tanah, namun di tempatkan di ruang kepala sipir yang berada di lantai atas sayap barat gedung. Tepat di atas penjara bawah tanah di mana Kiai Mojo beserta pasukannya pernah ditahan. Pangeran Djonet berupaya mencari tahu bagaimana sistem penjagaan dan keamanannya.

Namun terlambat, pada 3 Mei 1820, diam-diam Diponegoro telah dibawa dengan Kapal Pollux meninggalkan Batavia menuju kawasan timur yang jauh dari Jawa. Di kapal itu, Diponegoro dijaga oleh 50 serdadu Belanda.

Pangeran Djonet tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan sang ayah agar Allah senantiasa melindungi dan memberikan kasih sayangnya. Masih terbayang jelas di matanya, tatkala sang ayah memeluknya sebelum bertemu De Kock di Wisma Karesidenan Kedu. Saat itu Diponegoro berbisik, “Anakku, apa pun yang terjadi nanti itu yang terbaik dari Allah bagi kita. Semoga nanti kita bisa berkumpul kembali, entah di dunia ini atau nanti di jannah. Kuatkan hatimu…”

Akhirnya Pangeran Djonet menjadi guru ngaji dan diangkat menjadi Imam Besar di Masjid Jami Mataraman yang dibangun tahun 1820[ Masjid ini dipakai oleh Soekarno, Hatta, dan lainnya untuk sholat Jumat, usai pembacaan proklamasi 17 Agustus 1945, di mana saat itu adalah bulan Ramadhan. ]. Tapi ini cuma berjalan sebentar karena mata-mata Belanda diketahui telah mencurigai dirinya.

Demi keamanan semuanya, Pangeran Djonet dan anak buahnya pamit dari Mataraman dan pindah ke wilayah lebih ke pelosok yang sekarang ada di sekitaran Pasar Minggu dan Condet.

Di sini, pada 1832, Pangeran Djonet yang sudah berusia 17 tahun mendapatkan jodoh, seorang gadis Tionghoa dari Dinasti Tang bernama Bun Nioh yang bersedia bersyahadat dan berganti nama menjadi Nyi Mas Ayu Fatmah, dan kelak menjadi pendampingnya yang setia dalam suka dan duka.

Ikhtiar Pangeran Djonet membebaskan ayahandanya menemui kegagalan, namun itu semua sudah dianggapnya sebagai takdir Illahi. Akhirnya Pangeran Djonet bergabung dengan para mujahidin Jayakarta mengorganisir diri melawan kompeni. Dari Condet, Pangeran Djonet berpindah tempat lagi ke daerah Cikaret, Bogor, hingga akhir hayatnya. Makamnya saat ini berada di tengah-tengah pemukiman warga, di antara anak cucu keturunannya di daerah Cikaret, Bogor.


Museum Fatahillah Jakarta menyimpan sejumlah informasi dan peninggalan Pangeran Diponegoro ketika sempat selama lebih satu bulan ditahan di sana. Letaknya di Kamar Diponegoro. [rz]

No comments: