Kata Abu Hanifah Jika Orang Fasik atau Zalim Jadi Pemimpin

 Ulama berbeda pendapat tentang hukum fasik atau zalim jadi pemimpin. Ilustrasi memilih pemimpin

Ulama berbeda pendapat tentang hukum fasik atau zalim jadi pemimpin. Ilustrasi memilih pemimpin

Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ulama berbeda pendapat tentang hukum fasik atau zalim jadi pemimpin
Imam Abu Hanifah merupakan orang pertama yang membukukan akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dalam menentang beberapa paham lainnya, yaitu di dalam buku karangannya yang berjudul Al-Fiqhu al-Akbar.

Pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah yang menjadi perhatian kita adalah pendapatnya yang berkaitan dengan tema kajian buku ini. Di antaranya penulis mengemukakan pendapat Abu Hanifah tentang khilafah.

Menurut Dr Neveen Abdul Khalik Mustafha, intelektual kelahiran Kairo, Mesir, dalam karyanya berjudul Al-Mu’aradhah fil al-fikr al-Siyasi al-Islami, yang diterjemahkan menjadi "Oposisi Islam," dijelaskan pendapat Abu Hanifah dalam persoalan khilafah sesuai dengan syariat Islam, baik secara eksplisit maupun implisit. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harus ada pemilihan umum sebelum penobatan kekuasaan.

Persyaratan khilafah pada masa Abu Abu Hanifah belumlah terperinci seperti yang ktia lihat pada masa-masa sesuadahnya. Persoalan yang menyulut perdebatan pada masa Abu Hanifah adalah pendapat tentang imamahnya seorang fasik dan zalim.

Sebelum menjelaskan pendapat abu Hanifah dalam persoalan ini, penulis menyebutkan bahwa masa ketika Abu Hanifah menyatakan pendapatnya dalam persoalan itu adalah masa terjadinya konflik sangat keras antara dua teori dalam dunia Islam, dan Irak khususnya.

Teori yang pertama menekankan bahwa imamahnya orang fasik dan zalim tidak pernah boleh, sehingga umat Islam tidak layak melakukan amal jamai (kerja kolektif) dalam kepemimpinan tersebut. Adapun teori yang kedua melihat bahwa imamahnya orang zalim dan fasiq selagi masih berdiri maka hukumnya benar.

Kemudian datanglah Abu Hanifah dengan memebrikan pendapat tengah yang tampak dalam pernyataannya, “Sholat di belakang orang mukmin yang baik dan yang lalim hukumnya boleh.”

Pernyataan lainnya, “Haji dan jihad tetap berjalan bersama pemimpin umat Islam yang baik maupun yang lalim sampai datangnya hari kiamat. Hal ini tidak bisa dibatalkan dan dirusak oleh sesuatu apapun.”

Dalam buku ini, penulis menjelaskan secara rinci tentang pendapat Abu Hanifah tentang khalifah. Selain itu, penulis juga mengungkapkan pendapat Abu Hanifah mengenai kebebasan berpendapat dan oposisi.

Menurut penulis, Abu Hanifah dianggap sebagai “Imam Kebebasan dan berpendapat”. Corak yang tampak jelas dari fikih-Fikih Abu Hanifah adalah iklim yang menghormati kebebasan pribadi dan menyeimbangkan hubungan antara pribadi dan masyarakat.

Oleh karena itu, wajar jika kebebasan berpendapat dan oposisi mendapat perhatian dari Abu Hanifah, baik dalam bentuk teori pemikiran maupun dalam bentuk aktivitas gerakannya. 

Detalnya, kebebasan berpendapat dan oposisi tidak hanya terjamin untuk umat Islam sesuai dengan yang ada dalam syari’at saja, tetapi juga wajib, yaitu ketika dalam amar makruf nahi mungkar. 

 

sumber : Harian Republika

No comments: