Kisah Sufi Tiga Cincin Permata sebagai Bukti Pewaris
Idries Shah dalam bukunya berjudul Tales of The Dervishes berkisah, pada zaman dahulu, ada seorang bijaksana dan sangat kaya yang mempunyai seorang anak laki-laki.
Ia berkata kepada anaknya, "Anakku, ini cincin permata. Simpanlah sebagai bukti bahwa kau pewarisku, dan kelak wariskan kepada anak-cucumu. Cincin ini mahal harganya, bentuknya indah, dan juga memiliki kemampuan untuk membuka pintu kekayaan."
Beberapa tahun kemudian, orang kaya itu mempunyai seorang anak laki-laki lagi. Ketika anak itu sudah cukup umur, si Bijaksana memberinya cincin pula, disertai nasihat yang sama.
Hal yang sama juga terjadi atas anaknya yang ketiga, yang terakhir.
Tatkala Si Tua sudah meninggal dan anak-anaknya tumbuh dewasa, masing-masing merasa lebih berhak menjadi pewaris sebab memiliki cincin pemberian sang ayah. Tak ada seorang pun yang bisa meyakinkan cincin mana yang paling berharga.
Masing-masing anak memiliki pengikut, yang menyatakan cincinnya lebih bernilai dan paling indah.
Namun, hal yang mengherankan adalah bahwa 'pintu kekayaan' itu masih tertutup bagi pemilik kunci itu dan juga pengikutnya yang terdekat. Mereka semua terlampau sibuk soal hak yang lebih tinggi, kepemilikan cincin, nilai, dan keindahannya.
Hanya beberapa orang saja yang mencari pintu kekayaan Si Tua. Tetapi, cincin-cincin itu memiliki kekuatan magis pula. Meskipun disebut kunci, cincin-cincin itu tidak dapat langsung digunakan membuka pintu kekayaan.
Cukup dengan mengamati satu atau lain keindahannya saja, tanpa berbantahan atau rasa ingin yang berlebihan. Kalau hal itu telah dilakukan, orang yang melihatnya akan bisa mengetahui letak harta karun itu, dan bisa membuka pintunya dengan hanya memantulkan lingkaran cincin itu. Harta itu pun mempunyai sifat lain. Tak ada habis-habisnya.
Sementara itu, para pendukung ketiga cincin itu mengulang-ulang kisah leluhurnya mengenai kegunaannya, masing-masing dengan cara yang sedikit berbeda.
Kelompok pertama beranggapan bahwa mereka telah menemukan harta karun itu.
Kelompok kedua menduga bahwa kisah harta itu hanya kiasan belaka.
Kelompok ketiga mengesampingkan kemungkinan terbukanya pintu itu ke arah masa depan bayang-bayang yang sangat jauh dan tak terjangkau.
Idries Shah mengatakan kisah ini, yang oleh beberapa orang dianggap merujuk pada tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam, muncul dalam bentuk yang agak berbeda dalam karya-karya Boccacio, Gesta Romanorum dan Decamerun.
Versi di atas, kata Idries Shah, konon merupakan jawaban dari salah seorang guru Sufi tarekat Suhrawardi, atau pertanyaan mengenai keunggulan relatif berbagai agama. Beberapa pengulas menemukan di dalamnya asal-usul karangan Swift, "Kisah Sebuah Bak Mandi" (Tale of a Tub).
Kisah ini dikenal juga sebagai Kisah Penuntun tentang Rahasia Agung.
Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul "Tiga Cincin Permata" dalam buku berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi- oleh Ahmad Bahar. Selanjutnya juga oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau.
Ia berkata kepada anaknya, "Anakku, ini cincin permata. Simpanlah sebagai bukti bahwa kau pewarisku, dan kelak wariskan kepada anak-cucumu. Cincin ini mahal harganya, bentuknya indah, dan juga memiliki kemampuan untuk membuka pintu kekayaan."
Beberapa tahun kemudian, orang kaya itu mempunyai seorang anak laki-laki lagi. Ketika anak itu sudah cukup umur, si Bijaksana memberinya cincin pula, disertai nasihat yang sama.
Hal yang sama juga terjadi atas anaknya yang ketiga, yang terakhir.
Tatkala Si Tua sudah meninggal dan anak-anaknya tumbuh dewasa, masing-masing merasa lebih berhak menjadi pewaris sebab memiliki cincin pemberian sang ayah. Tak ada seorang pun yang bisa meyakinkan cincin mana yang paling berharga.
Masing-masing anak memiliki pengikut, yang menyatakan cincinnya lebih bernilai dan paling indah.
Namun, hal yang mengherankan adalah bahwa 'pintu kekayaan' itu masih tertutup bagi pemilik kunci itu dan juga pengikutnya yang terdekat. Mereka semua terlampau sibuk soal hak yang lebih tinggi, kepemilikan cincin, nilai, dan keindahannya.
Hanya beberapa orang saja yang mencari pintu kekayaan Si Tua. Tetapi, cincin-cincin itu memiliki kekuatan magis pula. Meskipun disebut kunci, cincin-cincin itu tidak dapat langsung digunakan membuka pintu kekayaan.
Cukup dengan mengamati satu atau lain keindahannya saja, tanpa berbantahan atau rasa ingin yang berlebihan. Kalau hal itu telah dilakukan, orang yang melihatnya akan bisa mengetahui letak harta karun itu, dan bisa membuka pintunya dengan hanya memantulkan lingkaran cincin itu. Harta itu pun mempunyai sifat lain. Tak ada habis-habisnya.
Sementara itu, para pendukung ketiga cincin itu mengulang-ulang kisah leluhurnya mengenai kegunaannya, masing-masing dengan cara yang sedikit berbeda.
Kelompok pertama beranggapan bahwa mereka telah menemukan harta karun itu.
Kelompok kedua menduga bahwa kisah harta itu hanya kiasan belaka.
Kelompok ketiga mengesampingkan kemungkinan terbukanya pintu itu ke arah masa depan bayang-bayang yang sangat jauh dan tak terjangkau.
Idries Shah mengatakan kisah ini, yang oleh beberapa orang dianggap merujuk pada tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam, muncul dalam bentuk yang agak berbeda dalam karya-karya Boccacio, Gesta Romanorum dan Decamerun.
Versi di atas, kata Idries Shah, konon merupakan jawaban dari salah seorang guru Sufi tarekat Suhrawardi, atau pertanyaan mengenai keunggulan relatif berbagai agama. Beberapa pengulas menemukan di dalamnya asal-usul karangan Swift, "Kisah Sebuah Bak Mandi" (Tale of a Tub).
Kisah ini dikenal juga sebagai Kisah Penuntun tentang Rahasia Agung.
Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul "Tiga Cincin Permata" dalam buku berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi- oleh Ahmad Bahar. Selanjutnya juga oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment