Lelaki Beriman dari Keluarga Firaun dalam Surat Ghafir Ayat 28

Lelaki Beriman dari Keluarga Firaun dalam Surat Ghafir Ayat 28
Firaun berniat membunuh Nabi Musa dan seorang laki-laki dari keluarganya membujuk agar ia membatalkan keinginan seperti itu. (Ilustrasi: Ist)
Dalam Al-Qur'an surat Ghafir ayat 28 Allah SWT menyebut seorang lelaki dari keluarga Firaun yang beriman dan membujuk agar sang raja tidak membunuh Nabi Musa as . Allah SWT tidak menyebut nama lelaki itu. Ulama ahli tafsir pun menganalisisnya. Maka muncul lima nama.

Firaun sangat membenci dakwah Nabi Musa as. Bahkan dia berniat untuk membunuh utusan Allah ini dan para pengikutnya. Mengetahui hal itu, Nabi Musa berdoa, memohon agar dia beserta pengikutnya mendapat perlindungan dari Allah.

Doa Nabi Musa pun dikabulkan dan salah satu realisasinya adalah adanya laki-laki beriman dari keluarga Firaun yang menyembunyikan keimanannya. Laki-laki tersebut membujuk Firaun untuk tidak membunuh Nabi Musa.

Allah SWT berfirman:

وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ وَإِنْ يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ

Dan seorang yang beriman di antara keluarga Firaun yang menyembunyikan imannya berkata, ‘apakah kamu akan membunuh seseorang karena dia berkata ‘Tuhanku adalah Allah’, padahal sungguh dia telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu.

Dan jika dia seorang pendusta, maka dialah yang akan menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika dia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta.” ( QS Ghāfir : 28 )

Makna “Āli” dalam ayat tersebut menurut al-Sudi dan Muqatil, keluarga secara nasab. Dia anak paman Firaun.

Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kabilah dan kerabat. Qatadah dan Muqatil berkata bahwa dia adalah orang Qibti sementara pendapat lain berkata bahwa dia orang Israil.

Ibnu Asyur dalam kitabnya berjudul al-Taḥrīr wa al-Tanwīr menyatakan bahwa laki-laki tersebut merupakan orang Qibti yang beriman kepada Allah dan membenarkan dakwah Nabi Musa dan bukan dari Bani Israil karena bani Israil tidak memiliki kekuasaan di sana sebagaimana digambarkan pada ayat berikutnya.

Laki-laki beriman tersebut terus menerus menyembunyikan keimanannya karena dia tahu menunjukkan keimanannya dapat membahayakannya dan tidak bermanfaat bagi orang lain.

Ketika laki-laki beriman itu mengetahui niat Firaun untuk membunuh Nabi Musa dia berkata “apakah kamu akan membunuh seseorang karena dia berkata ‘Tuhanku adalah Allah’, padahal sungguh dia telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu”.

Pertanyaan ini mengandung penolakannya atas niat Firaun yang ingin membunuh Nabi Musa. Dia memberikan alasan mengapa sebenarnya Firaun tidak perlu membunuh Nabi Musa.

Pertama, Firaun tidak perlu membunuh seseorang hanya karena dia berkata “Tuhanku adalah Allah”. Akan tetapi, secara tersirat ini merupakan ketauhidan.

Kedua, Nabi Musa juga telah mampu mendatangkan bukti-bukti berupa mukjizat seperti yang Firaun minta pada kesempatan terdahulu.

Jadi seolah-olah dia berkata pada Firaun “Wahai Firaun, apakah hanya gara-gara ada seorang yang berkata ‘Tuhanku adalah Allah’, engkau akan membunuhnya. Dia juga tidak memaksamu meyakini apa yang dia yakini.

Selain itu, dia juga telah mendatangkan bukti-bukti mukjizat sesuai dengan apa yang engkau minta. Maka atas dasar apa engkau membunuhnya, ini tentu tidak perlu.”

Kata-katanya tersebut, membuat dia dicurigai dan hampir diketahui keimanannya sehingga dia segera menyambungnya dengan perkataan yang dapat membuat Firau ragu-ragu apakah sebenarnya dia (laki-laki beriman) berada di pihak Nabi Musa atau Firaun.

Dia berkata “jika dia seorang pendusta, maka dialah yang akan menanggung (akibat) dustanya itu”.

Artinya laki laki itu seolah-olah berkata jika dia (Nabi Musa) berbohong tentang apa yang didakwahkannya, maka dia menanggung madharat atas kebohongannya itu dan itu sama sekali tidak membahayakan Firaun.

Dalam kondisi ini, tentu Firaun menjadi berpikir lagi mengenai niatnya membunuh Nabi Musa karena Firaun pasti berkeyakinan bahwa dia berada di pihak yang benar dan apa yang didakwahkan Nabi Musa adalah kebohongan sehingga Firaun berpikir bahwa Nabi Musa akan meneriam kecelakaan akibat kebohongannya.

Kemudian dia melanjutkan lagi “dan jika dia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”.

Dia berani berkata demikian karena dia yakin Firaun tidak memikirkan kata-kata ini karena memang Firaun tidak mempercayai apa yang didakwahkan Nabi Musa. Artinya, jika apa yang didakwahkan Nabi Musa benar sekalipun, itu juga tidak akan bermanfaat dan menguntungkan bagi Firaun.

Akan tetapi di sisi lain, sebenarnya kata-kata tersebut mengandung peringatan bagi Firaun bahwa jika apa yang didakwahkan Nabi Musa adalah kebenaran, maka Firaun akan menerima apa yang pernah Nabi Musa ancamkan kepada Firaun.

Al-Qurtubi dalam kitab al-Jāmi’ li Aḥkām Al-Quran mengatakan meskipun dalam redaksinya menggunakan “sebagian”, namun maksud sebenarnya adalah seluruhnya dan penyebutan “sebagian” ini juga bagian dari lemah lembut dalam memberi nasihat.

Ancaman Nabi Musa kepada Firaun yaitu kehancuran dan kebinasaan baik di dunia dan akhirat.

Ibnu Asyur menjelaskan dari kisah laki-laki beriman dari keluarga Firaun ini dapat diambil pelajaran antara lain:

Pertama, Allah sekali-kali tidak akan membiarkan utusannya. Pertolongan Allah pasti datang, yakni dengan mengilhamkan kepada lelaki beriman dalam keluarga Firaun untuk berdiplomasi dengan Firaun agar dia membatalkan niatnya membunuh Nabi Musa.

Kedua, menyembunyikan keimanan diperbolehkan ketika berada dalam lingkungan yang sekiranya keimanan seseorang diketahui akan menyebabkan kecelakaan bagi orang tersebut. Ketiga, kemampuan berdiplomasi sangat dibutuhkan dalam berdakwah dan kepada orang yang sangat keras seperti Firaun sekalipun, dakwah dengan mauidzah tetap dipilih.

Lima Pendapat
Lalu siapa sejatinya nama lelaki dalam ayat tersebut? Mengenai hal itu ada lima pendapat. Pertama, pendapat Ibnu Abbas dan Muqatil yaitu Hizbil. Kedua, pendapat Ka’ab yaitu Habib. Ketiga, pendapat Syuaib al-Jiba’i yaitu Sam’un. Keempat, yaitu Jibril. Kelima, riwayat dari Ibnu Ishaq, yaitu Syam’an.

Menurut jumhur ulama dia beriman ketika kedatangan Nabi Musa sementara menurut Al-Hasan dia beriman sebelum kedatangan Nabi Musa, begitu pula istri Firaun. Qatadah menambahkan bahwa dia menyembunyikan keimanannya dari Firaun selama seratus tahun.
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: