Muhammad Ali Pasha (3): Tragedi Runtuhnya Dinasti Saud I

Muhammad Ali Pasha (3): Tragedi Runtuhnya Dinasti Saud I
Muhammad Ali Pasha dan putranya meruntuhkan Dinasti Saud atas perintah Sultan Utsmaniyah. (Foto/Ilustrasi : Ist)
Setelah berkuasa di Mesir, Muhammad Ali Pasha mendapat tugas dari Daulah Utsmaniyah , untuk menghentikan Daulah Saud yang telah menguasai dua tanah suci Islam, Makkah dan Madinah. Di tangan Muhammad Ali Pasha dan putranya inilah Dinasti Saud runtuh.

Sejarah mencatat, setelah Muḥammad ibn Saud meninggal, tampuk kepemimpinan diserahkan kepada putranya Abd al-Aziz. Sang putra pun bertekad meneruskan cita-cita ayahnya memperluas wilayah kekuasaan Dinasti Saud.

Sebagaimana ayahnya, Abd al-Aziz tetap memegang sumpah dengan Muḥammad ibn Abd al-Wahhab, dan menjalin persekutuan yang harmonis dengannya.

Abd al-Aziz bersama putranya – Saud ibn Abd al-Aziz (Saud I)-- melakukan ekspansi hingga berhasil menaklukan berbagai wilayah di Semenanjung Arabia. Pada tahun 1797 Qatar berhasil mereka taklukkan, begitu juga Bahrain dan Oman.

Pada tahun 1792, Muḥammad ibn Abd al-Wahhab meninggal pada usia 89 tahun. Tapi cita-cita perjuangannya sudah merasuk ke dalam jiwa darah daging dan keturunannya. Pemurnian Islam menjadi jargon perjuangan Dinasti Saud.

Pada tahun 1801, mereka menyerang Karbala yang menjadi kota suci umat Syiah . Belum lengkap sampai di sini, Saud I melanjutkan ekspansi hingga akhirnya berhasil merebut kota suci Makkah. Namun sepulangnya dari penaklukan yang gilang gemilang ini, Saud I harus mendapati kenyataan, ayahnya Abd al-Aziz meninggal.

Eamonn Gearon dalam bukunya berjudul Turning Points in Middle Eastern History menyatakan sepak terjang imperium muda ini ternyata mulai menarik perhatian Dinasti Ottoman yang pada masa itu menjadi satu-satunya imperium Islam yang paling kuat.

Di sisi lain, pada tahun 1804, Saud I terus merangsek ke utara dan berhasil merebut Madinah. Selama beberapa tahun kaum Wahabi juga sudah mulai menguasai sistem peribadatan di Tanah Suci.

Adapun Daulah Utsmaniyah, pada awal abad ke-19 itu sedang disibukkan dengan berbagai masalah di wilayah lain. Namun itu tidak berlangsung lama. Segera setelah Muhammad Ali Pasha berhasil menguasai Mesir, target selanjutnya adalah Dinasti Saud.

Sumber Legitimasi
Pada tahun 1798 sebenarnya pasukan Utsmaniyah pernah menyerang Al-Hasa, meskipun kemudian terpaksa mundur. Bagi Khalifah Usmaniyah waktu itu, Dinasti Saud belum menjadi prioritas, meski sepak terjangnya sudah cukup menarik perhatian. Tapi merebut dua kota suci, Makkah dan Madinah, merupakan satu hal yang tidak bisa ditoleransi.

Dua kota ini, sejak dikuasi pada tahun 1517 oleh Daulah Utmaniyah, sudah dianggap sebagai salah satu sumber legitimasinya atas kaum muslimin se dunia.

Sultan-sultan Ottoman sejak Salim I, menganggap diri mereka sebagai Khalifah Rasulullah SAW, dan bertanggungjawab atas dua kota suci ini. Meski kenyataannya dua kota ini tidak terlalu terawat baik selama ratusan tahun di bawah kekuasaan mereka.

Untuk menaklukkan kembali dua kota suci umat Islam, kesultanan Utsmaniyah mengutus Muhammad Ali. Sambil menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di Mesir, pada tahun 1807, Muhammad Ali mengirim putra tertuanya, yang bernama Tusun bersama bala tentaranya untuk merebut kembali dua kota suci umat Islam.

Tapi pasukan Saud tidak mudah ditaklukkan. Pasukan Utamaniyah dipaksa bertarung dengan tipikal perang gurun pasir, dari kota ke kota, dan dari satu oasis ke oasis lain.

Butuh waktu lima tahun hingga 1812, dua kota suci umat Islam itu berhasil direbut kembali oleh Utsmaniyah. Namun perang belum berakhir.

Setahun setelahnya, Muhammad Ali langsung turun tangan memimpin ekspedisi ke berbagai wilayah kekuasaan dinasti Saud lainnya. Di bawah komando Muhammad Ali, ekspedisi militer Ottoman semakin progresif.

Memilih Berdamai
Pada tahun 1814, Saud I meninggal di Diriyah, sebelum datang invasi Ottoman ke ibu kota dinasti Saud. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Abdullah bin Saud.
Abdullah tidak sekaliber penduhulunya. Ia memilih berdamai dan melakukan gencatan senjata dengan pasukan Ottoman pada tahun 1815. Tapi sayangnya perjanjian ini tidak berumur panjang.

Segera setelah kematian Tusun pada 1816 – putra pertama Muhammad Ali yang digadang-gadang menggantikan ayahnya– Semenanjung Arabia berada di bawah komando adik Tusun, yaitu Ibrahim Pasha.

Ia membatalkan semua perjanjian gencaran senjata dengan Abdullah bin Saud, dan melanjutkan ekspedisi militer ke wilayah tengah Arabia.

Ibrahim Pasha memiliki keterampilan diplomasi seperti ayahnya. Dengan cepat kampanye militernya mendapat dukungan dari suku-suku setempat yang sepenuhnya belum rela tunduk pada penguasa dinasti Saud.

Dengan bala tentara yang lebih canggih, dan pasukan yang lebih terlatih, ia berhasil sampai ke Dariyah pada bulan April 1818.

Eamonn Gearon memaparkan di ibu kota Dinasti Saud ini, pertempuran sengit terjadi selama 5 bulan, berakhir dengan kekalahan Dinasti Saud.

Pada bulan September 1818, Abdullah bin Saud beserta seluruh keluarga dan pasukannya menyerah. Ia kemudian dibawa ke ibu kota Ottoman, dan dieksekusi disana dengan cara dipenggal.

Dengan wafatnya Abdulllah bin Saud, maka berakhirlah Dinasti Saud jilid I. Namun, tidak semua anggota keluarga Saud dieksekusi di Konstantinopel, sebagian dari mereka ada yang ditawan, dan dibawa ke Mesir untuk menjalani hukuman penahanan.

Di antara mereka yang ditahan ada cicit dari Muhammad Ibn Saud, Turki bin Abdullah, dan putranya Faisal bin Turki. Keduanya nanti yang akan membangun kembali imperium kedua keluarga Saud dari puing-puing, menjadi kekuatan yang kembali disegani di kawasan.
(mhyMiftah H. Yusufpati

No comments: