Pengaruh Pemikiran Barat dalam Penulisan Biografi Rasulullah
Syekh Dr Said Ramadhan Al Buthy dalam Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah (2009) menjelaskan, gagasan psikoanalisis dari Sigmund Freud (meninggal 1939).
Menurutnya, seorang sejarawan boleh saja mema sukkan kecenderungan pribadi, ideologi, atau pandangan politiknya dalam menyusun narasi tentang seseorang.
Ulama kelahiran Turki itu menyebut corak Freudian ini sebagai aliran individualis dalam sejarah sirah. Itu bertolak belakang dengan aliran objektif yang telah muncul sejak pertama kali disiplin Sirah Nabawiyah mengemuka, yakni sekira lima abad pertama Hijriyah. Disebut objektif karena para penulis Muslim tidak hanya mengandalkan karya-karyanya untuk memotret peristiwa- peristiwa dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Mereka pun mengukuhkan informasi yang ada dengan riwayat-riwayat sahih dari beliau. Ini tak mengherankan, sebab penyusunan sirah dimulai setelah penulisan hadits. Bahkan, banyak metode yang dipakai para pembuat biografi Nabi SAW mengikuti kaidah-kaidah mustholah hadits.
Penulis Al-La Mazhabiyyah itu menerangkan, bagi kalangan pendukung aliran individualis, di dalam sebuah biografi tidak hanya boleh terselip pandangan-pandangan politik atau ideologi penyusunnya.
Bahkan, interpretasi subjektif menjadi hal yang wajib dilakukan kaum sejarawan. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi penutur-ulang atau pengumpul catatan berbagai peristiwa sejarah.Hasil kerjanya seakan-akan kreasi seni atau sastra, bukan karya ilmiah yang disusun secara cermat.
Alhasil, penganut aliran ini menjadikan usaha penulisan sejarah sebagai `karya seni,' simpul mubaligh wafat di Suriah itu.
Al-Buthy memerinci penyebab masuknya pengaruh Barat dalam ranah sirah. Menurutnya, tonggak awalnya ialah pendudukan Britania Raya atas Mesir yang bermula pada 1882.
Menurutnya, Negeri Piramida pada abad ke-19 menjadi wajah terdepan dari dunia Islam. Kaum Muslim terpelajar menjadikannya sebagai kiblat dalam bidang intelektualitas dan pemikiran keagamaan.
Inggris mampu menduduki Mesir dengan pendekatan militer. Berbagai wilayah strategis di sana pun dapat dicaploknya. Bagaimanapun, penjajahan yang dilakukan Negeri Albion tidak berlangsung adem-ayem. Banyak kalangan Muslimin setempat yang berupaya melawan. Termasuk di antara mereka ialah para cerdik cendekia Universitas Al Azhar Mesir.
Alih-alih mengisolasi Al Azhar, pemerintah kolonial Inggris memilih untuk menyusupkan gagasan-gagasan pro-Barat ke kampus itu. Yang ditanamkan ialah perasaan kalah terhadap Barat.
Para sarjana Muslim dipertontonkan dengan pelbagai pencapaian teknologi dan pemikiran sekuler dari Eropa. Lewat infiltrasi itu, sebagian pemikir Mesir mulai terpengaruh sekulerisme. Mereka meyakini bahwa kemajuan yang dinikmati Barat terjadi lantaran agama ditundukkan di bawah kuasa ilmu pengetahuan dan sains.
Agama dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda dan terpisahkan dari ilmu pengetahuan. Keduanya tidak mungkin dipertemukan,kata al-Buthy menggambarkan.
Dalam waktu singkat, bisikan para penjajah itu menguasai orang-orang Islam yang pandangannya silau terhadap progres Eropa modern. Barat saat itu mengedepankan rasionalisme dan empirisisme. Dengan demikian, wahyu atau hal-hal yang transenden tidak dianggap.
Alhasil, sirah Nabi SAW sejak zaman klasik ditinjaunya kembali. Legasi dari generasi salaf itu dilihatnya dengan perspektif sekuler Barat. Maka buku-buku tentang riwayat kehidupan Rasulullah SAW mulai bermunculan.
Berbeda dengan sebelumnya, kitab-kitab itu tidak lagi menggunakan riwayat, sanad, dan prinsip sebagaimana yang berlaku dalam ilmu hadis (mustholah hadits). Wahyu tak lagi menjadi tolok ukur kebenaran.
Dengan metode baru tersebut, para penulis sesat itu lalu menyingkirkan semua hal yang mereka anggap tidak masuk akal (dalam Sirah Nabawiyah), seperti mukjizat (Nabi SAW) dan kejadian luar biasa.Mereka hanya mencitrakan Rasulullah SAW sebagai sosok pemimpin jenius yang hebat, heroik, dan sebagainya, tutur Al Buthy.
Sementara itu, akademisi Mesir yang juga penulis Hayyatu Muhammad(1933), M Husain Haekal menganggap perkara tidak dimuatnya mukjizat dalam sirat sebagai perbedaan perspektif belaka.
Dalam arti, itu tak ada kaitannya dengan anggapan- anggapan semisal terpukau oleh sekulerisme Barat. Dalam kata pengantarnya untuk buku itu, tokoh yang pernah menjadi menteri pendidikan Mesir itu mengutip Syekh Mustafa al-Maragi yang berkata, Kekuatan mukjizat Nabi SAW hanyalah pada Alquran, dan mukjizat ini sungguh rasional.
Sejarah tidak menyebutkan bahwa mukjizat-mukjizat itu (kejadian yang di luar jangkauan nalar, Red) pernah membuat orang jadi beriman. Malah, bukti mukjizat Tuhan terbesar ialah wahyu yang diturunkan melalui Nabi-Nya, dan perihidup Nabi sendiri dengan akhlaknya yang begitu tinggi, tulis Haekal.
No comments:
Post a Comment