Propaganda PKI dalam Menghancurkan Lembaga dan Ulama Islam

Zaman dulu tidak ada buzzer atau medsos, tapi mereka (PKI) menggunakan media dan propaganda yang tujuannya melahirkan antipati agama dan Islam

DALAM sejarah Indonesia, sikap permusuhan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap lembaga, ulama, dai atau apa saja yang berbau agama –khususnya Islam—sangat jelas dan nyata. Karena dulu tidak ada buzzer atau medsos, mereka menggunakan media dan pidato-pidator yang tujuannya melahirkan anti-pati pada lembaga keagamaan dan Islam.

Ini bisa dibaca pada fakta-fakta berikut bagaimana propaganda dan langkah PKI dalam menghancurkan lembaga dan ulama Islam serta yang terkait dengan mereka. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam rentang sejarah Indonesia, memang hubungan antara PKI dan umat Islam, khususnya ulama dan santri tidak harmonis.

Dr. Tiar Anwar Bachtiar menyebutkan dalam pendahuluan buku “Dari Kata Menjadi Senjata” (2017: XII) menukil buku “Benturan NU dan PKI 1948-1965” bahwa sejak awal kemunculan PKI, ulama dan santri serta yang berbau keislaman selalu dijadikan musuh paling utama.

Lawan politik PKI, oleh mereka biasa disebut dengan “Tujuh Setan Desa”. Maksudnya, adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, bandit desa, pemungut zakat dan kapitalis birokrat desa (Hersri Setiawan, Kamus Gestok, 2003: 263).

Melalui Harian Rakyat (koran milik PKI), seorang tokoh PKI bernama Nyoto pernah menyerukan ‘Gerakan Pengganyangan Tujuh Setan Desa’. Salah satunya adalah: pengirim zakat yang sasarannya adalah seluruh umat Islam (Anab Afifi, Ayat-Ayat yang Disembelih, 2015: 147). Kiai, ulama dan santri (dan kelompok agama) dianggap sebagai setan desa. Berbagai fitnah kejih dilancarkan kepada ulama, mereka disebut sebagai setan dan lain sebagainya.

Contoh propaganda PKI di koran jaman dulu

Dalam sejarah Indonesia, ketegangan antara PKI dan ulama (sebagai representasi utama umat Islam kala itu) sering terjadi sejak berdirinya PKI sampai meletusnya G30S-PKI. Terutama bisa dibaca pada peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun 1948.

Ada dua hal yang biasa dilakukan PKI untuk meluapkan kebencian pada Islam dan pemeluknya, yaitu dengan berbagai propaganda dan membuat penistaan agama –baik secara verbal maupun tertulis di media cetak– atau dengan mempersekusi ulama dan santri. Sebagai contoh penistaan agama seperti yang terjadi di Desa Pucang pada tahun 1960-an.

Pak Alip bercerita, enam bulan sebelum meletusnya G30S-PKI, terjadi konflik antara Anshor dan PKI. Pemicunya, pada rapat terbuka, ada anggota PKI yang mengutip ayat al-Qur`an surah 28 ayat 88 yang intinya segala sesuatu yang ada akan lenyap kecuali wajah-Nya (Allah).

Ayat itu tafsirnya dibelokkan oleh orang PKI. Segala sesuatu bakal hancur termasuk Surga karena yang kekal adalah Allah. Karenanya dia mengatakan, “Jangan pernah percaya kepada orang yang menjanjikan Surga karena mereka adalah pemimpin palsu yang membuat rakyat hancur.” (Pranowo, 2011:321) Karenanya mereka mengajak berjuang bersama PKI demi Surga nyata di dunia.

Karuan aja, mendengar hal itu, orang Anshor tidak terima, Pembicara pun dilempari sesuatu kemudian terjadilah konflik fisik yang akhirnya dilerai polisi. Belum lagi, penistaan-penistaan lain yang begitu membuat umat Islam geram seperti menginjak al-Quran, mengejek syariat dan lain sebagainya.

Langkah lain yang mereka lakukan adalah dengan menyerang dan mendeligitimasi ulama atau juru dakwah.

Pertama, dalam buku “Lubang-lubang pembantaian: Petualangan PKI di Madiun” (Maksum dkk, 1990: 17) diceritakan bahwa pada Tanggal 17 September 1948, Kiai Hamzah dan Kiai Nurun –asal Tulungagung dan Tegal Rejo– berpamitan kepada Kiai Imam Mursjidi Muttaqien (Pemimpin Pondok Sabilil Muttaqien Takeran) untuk mengajar di Pesantren Burikan di Desa Banjarejo. Esok hari, pada Sabtu Wage (18/09/1948) Pesantren Burikan diserbu FDR/PKI.

Dalam peristiwa itu, Kiai Hamzah dan Nurun bersama para santri diseret ke Desa Batokan. Di daerah itu kemudian semuanya dibantai PKI.

Kedua, pada 18 Oktober 1965 orang-orang PKI yang menyamar sebagai anggota GP Anshor; sementara anggota Gerwani menyamar jadi Fatayat NU di Desa Karangasem (sekarang: Yosomulyo), Kecamatan Gambiran, Banyuwangi, Saat itu mereka mengundang pengajian anggota Anshor yang tinggal di Desa Muncar. Tanpa curiga sedikit pun, undangan itu dipenuhi.

Naasnya, pada acara itu, orang Anshor yang diundang, disuguhi makanan beracun. Akibatnya, 62 orang menjadi korban. Hanya sebagian kecil yang selamat dari kematian. Korban kemudian dimasukkan ke dalam lubang Dusun Cementhuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring, Banyuwangi (Majalah Asy-Syariah Edisi Khusus: “Awas! Komunisme Bangkit Kembali”, 2016:37,38)

Ketiga, pada suatu malam pada bulan September 1948, setelah PKI melakukan pemberontakan Madiun, rumah Kiai Raqib –di daerah Bangsri (masih wilayah Magetan)– didatangi orang PKI. Terjadilah dialog antara mereka, “Apa tidak salah menahan saya? Saya cuma guru ngaji,” kata Kiai Raqib.

Salah seorang yang lain menyahut, “Justru karena kamu guru ngaji. Kamu yang menghalangi tujuan PKI”. Akhirnya para korban dibantai di sumur tua Soco, termasuk Kiai Raqib. (Majalah Asy-Syariah Edisi Khusus: “Awas! Komunisme Bangkit Kembali”, 2016: 31-32).

Propaganda PKI di koran

Masih banyak lagi contoh yang menunjukkan persekusi PKI terhadap ulama, bahkan tokoh sekaliber Hamka dan kawan-kawan Masyumi lain seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, H. Ghazali Sahlan dan lain-lain pernah menjadi korban fitnah keji PKI. Mereka dijebloskan ke penjara dengan tuduhan keji.

Upaya PKI dalam menghancurkan Islam bukan saja pada tataran individu santri dan ulama, tapi juga pada tataran lembaga dan organisasi. Sebagai contoh adalah upaya pembubaran HMI.

Sulastomo –sebagaimana diliput Panjimas No. 590 (1988)– yang merupaan Ketua Umum HMI Periode 1963-1966 menceritakan bahwa pada 29 September 1965, Aidit mendesak Bung Karno untuk membubarkan HMI. Dalam propagandanya, Aidit sampai berkata, “Bila tidak bisa membubarkan, lebih baik pakai sarung.”

Karena pada waktu itu HMI dapat dukungan dari tokoh seperti KH.Saifuddin Zuhri, beberapa ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah bahkan PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), maka HMI gagal dibubarkan.

Menggunakan cara halus

Terkadang, kalau kekuatan mereka belum begitu dominan, dipakai juga cara-cara halus untuk mengelabuhi umat Islam dengan cara mendirikan organisasi yang seakan pro kepada Islam seperti Ikhwanul Muslimin. Dr. Kuntowijoyo pernah menerangkan bahwa Ikhwanul Muslimin adalah kepunyaan PKI.

Hal ini dibenarkan oleh Ajip Rosidi. Pada zaman itu PKI, untuk menggaet simpati kaum muslimin, mereka mendirikan gerakan berbau Islam namanya Ikhwanul Muslimin. (dalam Al-Muslimun No. 265 [1992]). Tentu ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan al Ikhwan al Muslimun yang di Mesir.

Ini adalah langkah dan upaya PKI untuk menarik simpati umat Islam. Wujud nyata mereka jelas ketika sudah ada kesempatan berkuasa, mereka melakukan pemberontakan. Alhamdulillah akhirnya gagal.

Jika saat ini sering ada wacana yang membenturkan antara Islam dan Pancasila, seperti “Kami NKRI, Kami Pancasila” sebenarnya ini bukan hal baru. Dalam sebuah dokumen, Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution pernah menguraikan hal sama. Menurutnya, hal ini adalah isu lama yang dulu pernah dilakukan PKI.

Dokumen pernyataan AH Nasution masih ada. Kalangan PKI dinilai yang menghembuskan pertentangan Pancasila dan Islam. “Issue Tentang Negara Islam. Gerpol PKI/Orla Setjara Menipu Mempertentangkan Pantjasila dan Islam Ketua MPRS,” kata Djenderal A.H. Nasution.

Jika diteliti secara saksama, pola yang mereka lakukan sama yaitu. Yang paling mudah ditebak adalah:

Pertama, menanamkan kebencian kepada agama dengan cara menistakannya, mecela ulama dan berupaya membubarkan lembaga agama. Kedua, terkadang mereka juga melakukan cara persuasif yang bersifat mengelabui umat dengan menidirikan organisasi atau lembaga yang seolah ramah agama, padahal itu hanya kamuflase belaka untuk menarik simpati dan mendulang suara dalam Pemilu, sebab tujuannya berkuasa.

Mengingat bahaya laten PKI, maka tak mengherankan pada 8-11 September 1957, para ulama mengadakan Muktamar di Palembang tentang haramnya komunisme. Bahkan, empat tahun sebelumnya pada 23-27 Desember 1954, ulama Dewan Syura Masyumi menyelenggarakan pertemuan di Surabaya perihal Komunisme.

Di antara keputusannya: komunisme dianggap bertentangan dengan iman, ia juga memusuhi syariat, orang yang menyakini faham komunisme adalah kafir dan masih ada keputusan lain yang terkait dengannya. Intinya, para ulama sangat peka dan waspada terhadap bahaya dan segala propaganda PKI. Jika tak ada yang bergerak, mereka akan semakin melunjak.*/Mahmud Budi Setawan

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: