Argumen Ulama yang Berpandangan Surga Nabi Adam Ada di Bumi

Begini Argumen Ulama yang Berpandangan Surga Nabi Adam Ada di Bumi
Sebagian ulama berpendapat surga Nabi Adam sebelum beliau diturunkan ke bumi berada di bumi juga. (Foto/Ilustrasi : Ist)
Sebagian ulama berpendapat bahwa surga yang ditinggali Nabi Adam dan Siti Hawa ada di bumi. Maknanya, surga awal penciptaan manusia itu tidak abadi. Pendapat ini berbeda dengan jumhur ulama yang berpandangan bahwa surga yang ditinggali oleh Nabi Adam adalah surga yang ada di langit, yaitu Surga Ma'wa, surga keabadian.

Ibnu Katsir dalam bukunya berjudul Qashash Al-Anbiyaa atau Kisah Para Nabi mengatakan di antara dalil yang digunakan oleh para ulama yang berpendapat bahwa surga yang ditinggali oleh Adam dan Hawa itu terletak di bumi adalah riwayat Abdullah bin Ahmad dalam Kitab Az-Ziyadat.

Dari Hadbah bin Khalid, dari Himad bin Salamah, dari Humaid, dari Hasan Basri, dari Utai (yakni Ibnu Dhamrah As-Sadi), dari Ubay bin Kaab, ia berkata:

Ketika Nabi Adam tengah menghadapi saat-saat terakhirnya, ia mengungkapkan kepada anak-anaknya bahwa ia ingin sekali merasakan buah anggur dari surga untuk terakhir kalinya. Maka anak-anaknya pun berusaha untuk mencarinya.

Lalu dalam perjalanan ada beberapa malaikat yang menyapa mereka dan menanyakan, “Wahai anak-anak Adam, hendak ke manakah kalian?”

Mereka menjawab, “Ayah kami sangat menginginkan buah anggur dari surga.”

Lalu para malaikat berkata, “Kembalilah kalian, kami akan mendapatkannya untuk kalian.”

Maka setelah Nabi Adam memakan buah itu beliau pun wafat. Lalu anak-anaknya segera memandikannya, menghiasinya (dengan wewangian), mengkafaninya, lalu disholatkan dengan diimami oleh malaikat Jibril dan dimakmumi oleh para malaikat lain dan seluruh anak-anak Nabi Adam, kemudian mereka pun menguburkannya.

Lalu para malaikat berkata, “Inilah tata cara yang harus dilakukan terhadap jenazah.”

Menurut Ibnu Katsir, para ulama tadi melanjutkan, "Kalau saja untuk mendapatkan buah anggur yang terletak di dalam surga tempat kediaman Adam terdahulu itu tidak mungkin dicapai, maka tidak mungkin pula anak-anak Adam akan mencarinya. Maka hal ini menunjukkan bahwa surga tersebut berada di bumi, bukan di langit.”

Para ulama ini juga menjawab dalil dari jumhur ulama yang mengusung pendapat bahwa surga yang ditinggali Adam ada di langit, yaitu Surga Ma'wa, surga keabadian.

Pertama, mereka mengatakan, "Berdalil bahwasanya alif lam pada kata “al-jannah” pada firman Allah, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga,” tidak didahului dengan keterangan yang dapat menerangkannya, lalu dianggap hanya dapat dikenali dengan akal.

Ibnu Katsir menjelaskan ini adalah dalil yang memang dapat diterima, namun dikenali dengan petunjuk dari gaya bahasa yang digunakan dalam kalimat tersebut. Yakni, bahwa Adam itu diciptakan dari tanah (bumi) dan belum pernah ada pernyataan atau keterangan bahwa ia diangkat ke atas langit, apalagi ia memang diciptakan untuk berada di bumi sebagaimana difirmankan oleh Allah kepada Malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”

Para ulama melanjutkan, kata “al-jannah” yang digunakan pada ayat di atas tadi sama seperti kata “al-jannah" pada firman Allah dalam Surat Al-Qalam Ayat 17

إِنَّا بَلَوْنَٰهُمْ كَمَا بَلَوْنَآ أَصْحَٰبَ ٱلْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا۟ لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ

Innā balaunāhum kamā balaunā aṣ-ḥābal-jannah, iż aqsamụ layaṣrimunnahā muṣbiḥīn

"Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akanmemetik (hasil)nya di pagi hari".

Alif lam pada kata “al-Jannah” pada ayat ini juga bukan bersifat umum, dan tidak ada keterangan pendahuluan agar bisa dikenali secara lafazh, maka tentu saja kata ini juga hanya dapat dikenali secara akal yang dapat diartikan melalui gaya bahasa yang digunakan pada kalimat tersebut. Makna dari kata “al-jannah” pada ayat tersebut adalah “kebun”.

Selanjutnya, Ibnu Katsir juga menuturkan, para ulama tadi juga membantah dalil lainnya. Mereka mengatakan, penyebutan kata “hubuth” (turun) tidak selalu bermakna turun dari langit.

Lihat saja kata yang sama pada firman Allah:

قِيلَ يَا نُوحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَىٰ أُمَمٍ مِمَّنْ مَعَكَ ۚ وَأُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ يَمَسُّهُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ

Qīla yā nụḥuhbiṭ bisalāmim minnā wa barakātin 'alaika wa 'alā umamim mim mam ma'ak, wa umamun sanumatti'uhum ṡumma yamassuhum minnā 'ażābun alīm

Difirmankan: "Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami". ( QS Hud: 48 ).

Pada ayat ini diterangkan, bahwa ketika air bah telah surut dari muka bumi dan kapal Nabi Nuh telah berlabuh di atas Gunung Judiy, ia diperintahkan untuk turun dengan membawa semua yang ada di kapal tersebut dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan atas mereka semua.

Kata “hubuth” juga disebutkan dalam firman Allah, “Pergilah ke suatu kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.” ( QS Al-Baqarah: 61 ), juga pada firman Allah, “Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah.” ( QS Al-Baqarah: 74 ). Dan banyak pula disebutkan dalam hadits ataupun syair, namun tidak berarti turun dari langit.

Lalu para ulama ini melanjutkan, “Kami tidak menyanggah (bahkan setuju) bahwa surga yang ditinggali oleh Adam dan Hawa kala itu lebih tinggi dari rata-rata muka bumi, memiliki pohon, buah, ternaungi, penuh kenikmatan, serta dihiasi kesenangan dan kebahagiaan, sebagaimana difirmankan Allah:

“Sungguh, ada (jaminan) untukmu di sana, engkau tidak akan kelaparan dan tidak akan telanjang.” ( QS Thaha: 118 ), yakni bagian dalammu tidak akan terhina dengan merasa kelaparan dan bagian luarmu tidak akan terhina dengan ketelanjangan, “Dan sungguh, di sana engkau tidak akan merasa dahaga dan tidak akan ditimpa panas matahari.” ( QS Thaha : 119 ), yakni bagian dalammu tidak akan tersentuh dengan panasnya rasa haus dan bagian luarmu tidak akan tersentuh dengan panasnya sinar matahari.

"Karena kesamaan itulah dua kata yang berbeda sifatnya pada kedua ayat tersebut dipersatukan," kata Ibnu Katsir.

Lalu ketika Adam memakan buah dari pohon terlarang maka ia diturunkan ke bumi yang dipenuhi dengan kesengsaraan, keletihan, kerja keras, kesuraman (ketidakbahagiaan), ikhtiar, kesulitan dalam hidup, cobaan, ujian, musibah, berbeda-beda agamanya, perilakunya, pekerjaannya, maksudnya, keinginannya, perkataannya, dan perbuatannya. Sebagaimana firman Allah, “Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” ( QS Al-Baqarah: 36 ).

Namun demikian, (disebutkannya kata “al-ardh”/bumi) tidak berarti bahwa mereka sebelumnya berada di atas langit. Seperti juga disebutkan pada firman Allah SWT, “Dan setelah itu Kami berfirman kepada Bani Israil, “Tinggallah di bumi ini, tetapi apabila masa berbangkit datang, niscaya Kami kumpulkan kamu dalam keadaan bercampur baur.” ( QS A-Isra: 104 ), dan tentu saja dapat dipastikan bahwa Bani Israil sebelumnya bukan tinggal di langit.

Ibnu Katsir mengatakan pendapat ini sama sekali tidak terkait dan tidak ada hubungannya dengan pendapat mereka yang mengingkari adanya surga dan neraka sekarang ini.

Pasalnya, setiap ulama yang menyatakan pendapat tersebut, baik dari kalangan salaf (ulama terdahulu) ataupun khalaf (ulama kontemporer), mereka sama-sama menegaskan keyakinan adanya surga dan neraka sekarang ini, sebagaimana banyak ditunjukkan dari dalil ayat Al-Qur'an ataupun hadits shahih. Wallahu a'lam bish-shawab.

(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: