Kisah Hikmah: Terjebak karena Mengikuti Omongan Orang Lain

Kisah Hikmah: Terjebak karena Mengikuti Omongan Orang Lain
Pelajaran berharga buat anak ketika kita terlalu mengikuti omongan orang lain. (Ilustrasi : Ist)
Suatu hari, Juha, tokoh bijak nan lucu dalam sastra Arab, ingin memberikan pelajaran kepada anaknya. Juha kali ini sengaja mengajak anaknya menyusuri perjalanan dengan membawa seekor keledai.

Juha lalu menunggangi keledai itu dan menyuruh sang anak berjalan di belakangnya. Baru saja berjalan beberapa langkah, keduanya berpapasan dengan serombongan wanita. Kontan saja para wanita itu menyoraki Juha, “Wah, ada apa gerangan dengan orang ini. Tidakkah ada kasih sayang di hatimu? Kok, kamu yang menunggang sementara anakmu yang kecil itu dibiarkan kelelahan berjalan di belakangmu?”

Maka, Juha pun segera turun dari keledainya dan menyuruh anaknya menunggangi keledai itu. Keduanya berlalu sambil menepukkan tangan masing-masing saking gembiranya.

Tak berapa lama berjalan, segerombolan orang tua yang tengah duduk-duduk santai di bawah terik matahari melihat dan sontak saja saling mengomentari, “Wahai Pak Tua, kamu berjalan kaki padahal sudah renta, sementara anakmu engkau biarkan begitu saja mengendarai keledai itu. Bagaimana bisa kamu kelak mendidiknya memiliki etika dan tata krama?”

“Apakah kamu sudah mendengar apa yang baru saja mereka bicarakan? Kalau begitu, mari kita naik bersama-sama!" kata Juha kepada anaknya mencoba metode baru. Mudah-mudahan saja kali ini tak ada lagi orang yang bakal ngomongin, demikian pikir Juha.

Lantas keduanya pun mengendarai keledai kecil itu. Kali ini, mereka berpapasan dengan sekelompok orang yang dikenal sebagai pencinta binatang dan lingkungan. Melihat pemandangan “mengerikan” itu, kontan saja mereka meneriaki sang ayah dan anak, “Takutlah kepada Allah wahai anak manusia! Kasihanilah binatang yang kurus kering ini! Bagaimana bisa kalian berdua menungganginya bersama-sama sementara timbangan masing-masing kalian saja lebih berat daripada keledai ini?”

“Kamu dengar tadi, Nak?” kata Juha kepada anaknya. Juha lalu turun dari keledai itu dan kemudian menurunkan anaknya. “Kalau begitu, mari kita berjalan saja dan kita biarkan keledai ini berjalan di hadapan kita sehingga bisa terhindar dari omelan orang,” saran Juha mencoba cara lainnya.

Mereka kemudian berjalan sementara keledainya dibiarkan saja berlalu mendahului di depan mereka. Saat itu di tengah perjalanan, mereka berdua bertemu dengan sejumlah pemuda berandalan. Melihat pemandangan tersebut, tentu saja mereka mengejek Pak Tua dan anaknya itu seraya berkata, “Demi Allah, yang pantas adalah keledai ini mengendarai kalian berdua sehingga kalian bisa menyelamatkannya dari berbagai gangguan selama di perjalanan!”

Perjalanan pun dilanjutkan. Tetapi, ucapan para berandalan itu rupanya memengaruhi Juha. Dia dan anaknya lalu mencari ranting-ranting pepohonan dan menambatkan dengan kuat keledai itu pada ranting-ranting tersebut. Setelah rapi, Juha lalu memikul salah satunya, sementara anaknya pada sisi yang lainnya.

Baru saja mereka melangkah beberapa ratus meter, tiba-tiba sekumpulan warga yang dilalui mereka sontak menertawakan pemandangan aneh kedua orang tersebut. Setelah dilaporkan, akhirnya mereka berdua ditangkap oleh polisi karena dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Mereka juga segera digiring ke rumah sakit jiwa.

Sesampainya Juha di rumah sakit tersebut, tibalah baginya untuk menjelaskan ringkasan eksperimen mereka yang telah mencapai puncaknya itu. Seraya menoleh ke arah anaknya, Juha berkata, “Wahai anandaku, inilah akibat yang bakal dipikul orang yang selalu mendengar ocehan orang seputar ini-itu dan melulu ingin mendapatkan kerelaan dari mereka!”

Kisah ini dinukil Yusuf Burhanudin dalam bukunya berjudul "Saat Tuhan Menyapa Hatimu" untuk menjelaskan betapa lelah jika kita meretas misi dan perjuangan hidup hanya demi mendapatkan kerelaan semua orang. Karena, seperti dipesankan Juha pada anaknya kemudian, mengharapkan kerelaan semua orang itu sesuatu yang tidak ada batasnya. Satu dengan yang lain relatif berbeda, masing-masing memiliki pendirian dan pendapat karena memang berbeda pikiran dan cara pandang.

"Kita salah bercermin jika ukuran perbuatan baik kita selalu ditinjau dari kacamata orang lain yang berseberangan pandang dengan diri kita. Selamanya kita akan merasa salah dan bimbang jika yang menjadi kacamata penilaian adalah melulu pendapat orang lain," ujarnya.

Selalu latah mengikuti pendapat orang lain tanpa pendirian yang kukuh terhadap prinsip hidup sendiri sebetulnya akan mengantarkan dirinya pada gejolak psikologis yang plinplan dan bermental bunglon, selalu berubah-ubah warna sesuai dengan yang ditempelinya demi keamanan dan kenyamanan dirinya sendiri.

Konsekuen dengan kebenaran berbeda dengan sikap egois. Konsekuen berarti bagaimana menempatkan sesuatu sesuai dengan posisinya dan bersikap sesuai dengan pendirian ilmu. Tegas terhadap kebenaran (istiqamah), namun tetap menghargai keragaman dan keberbedaan.

"Di sinilah, kisah itu juga mengingatkan kita tentang keragaman hidup dalam berbagai warna, agama, bahkan mazhab dan aliran masing-masing. Kita senantiasa dituntut hidup harmonis dengan saling mendahulukan sikap tenggang rasa satu sama lainnya," ujar Yusuf Burhanudin.

Pelajaran terakhir adalah setinggi-tingginya misi perjuangan dan pengabdian seyogianya ditunjang dengan ilmu yang memadai. Perjuangan yang tanpa ilmu memiliki konsekuensi kekeliruan yang besar, yang bukan saja dirinya tersesat, tetapi juga menyesatkan orang lain yang diajarinya. Kukuhnya ilmu kian memperkuat kebenaran dan menjadi pelita bagi jalan perjuangan tanpa harus lirik kiri dan tengok kanan demi mengharapkan kerelaan orang lain.

Pernah suatu kali Nabi SAW ditegur Allah SWT karena mengharamkan madu hanya karena ingin meredam kecemburuan kedua istrinya, Siti Aisyah dan Siti Hafshah. Pasalnya, beliau meminum madu tersebut di rumah istrinya yang lain, Siti Zainab.

Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut seputar kasus Siti Maria Al-Qibthiyah, ummahat al-mu'minin, yang Nabi SAW berjanji tidak akan menggaulinya sedangkan Maria jelas-jelas seorang istri beliau.

Perilaku Nabi SAW ini kemudian mendapat teguran Allah SWT secara langsung melalui firman-Nya, "Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan kepadamu: kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Al-Tahrim : 1).

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: