Pesona Sejarah Masjid Tuha Indrapuri
Masjid Tuha yang jadi bangunan cagar budaya ini berdiri sejak zaman Sultan Iskandar Muda.
MUHYIDDIN
Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang kuat akan tradisi keislaman. Dalam sejarah, wilayah tersebut menjadi tempat lahirnya kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Selama zaman kolonial, perjuangan masyarakat setempat dalam melawan penjajah selalu bermuatan semangat jihad fii sabilillah. Dan hingga saat ini, provinsi yang terletak paling barat di Indonesia itu memperoleh status daerah istimewa, yang antara lain berkaitan dengan penerapan syariat.
Penelusuran histori Islam di Aceh dapat dimulai dari jelajah masjid-masjid. Di Bumi Serambi Makkah, terdapat banyak tempat ibadah Muslimin yang berusia ratusan tahun. Di antaranya, yang tertua ialah Masjid Tuha Indrapuri.
Bangunan itu terletak di Desa Keude, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar. Dari pusat kota Banda Aceh, jaraknya kira-kira 25 kilometer, yang bisa ditempuh dalam 35 menit perjalanan darat. Kompleks seluas 33.875 meter persegi itu berdiri sejak zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Dialah pemimpin yang sukses membawa Kesultanan Aceh pada masa kejayaan.
Sang sultan sangat memerhatikan perkembangan syiar Islam di negerinya. Karena itu, ia mendorong pembangunan sarana-sarana ibadah, termasuk masjid raya. Masjid Tuha Indrapuri dibangunnya pada 1618 M. Lahan tempat berdirinya bangunan itu disebut-sebut merupakan bekas area candi Hindu-Buddha.
Secara keseluruhan, konstruksi Masjid Tuha Indrapuri didominasi bahan kayu. Adapun atapnya berbentuk tumpang yang bersusun tiga. Atap tersebut ditopang oleh 36 tiang. Dari jumlah itu, sebanyak empat tiang menjadi soko guru.
Masing-masing tiang tersebut memiliki diameter sekira 0,28 meter. Bagian atasnya terhubung dengan balok yang dimasukkan ke dalam lubang sehingga tepat menyangga keseluruhan langit-langit. Mekanisme demikian disebut pula sebagai sistem pasak, yakni tanpa menggunakan paku.
Masjid ini tidak memiliki jendela dan pintu. Sebuah tembok yang tampak terpisah difungsikan sebagai sarana untuk mengakses ruangan utama. Untuk sampai ke tempat shalat, seseorang mesti melalui undakan pertama dengan menapaki tangga yang terbuat dari semen.
Anak tangganya berjumlah 12 buah dengan lebar rata-rata 6,6 meter. Tinggi tangga mencapai 3,36 meter. Dinding lapisan pertama memiliki ketinggian 1,76 meter dengan ketebalan 1,36 meter.
Pintu masuk masjid berada di sisi timur. Pada sisi lainnya, terdapat sebuah kolam yang berfungsi menampung air. Dengan itulah, jamaah dapat berwudhu.
Mihrab terletak di sisi sebelah barat. Bagian itu terbentuk dari tembok setinggi pinggang orang dewasa. Pada sisinya, terdapat undakan yang berfungsi sebagai mimbar.
Masjid kuno tersebut juga memiliki menara. Letaknya berada di sisi utara. Bangunan kecil dan bertingkat itu juga dilengkapi dengan sebuah kentongan.
Sarat makna
Wakil Ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) Masykur Syafruddin mengatakan, unsur-unsur dalam Masjid Tuha Indrapuri sarat akan makna. Misalnya ialah tiga level atap.
Bila ditambahkan dengan bagian dasar, maka ada empat tingkatan yang diproyeksikan di dalam interior masjid tersebut. Keempatnya melambangkan tahap-tahap ilmu dalam Islam, yakni syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Syariat adalah hukum yang mengatur seluruh pola dan aturan kehidupan umat Islam. Tarekat dimaknai sebagai jalan yang dilalui seseorang untuk menggapai derajat takwa. Adapun hakikat berarti percaya dan patuh kepada Allah. Terakhir, makrifat ialah mengenal Allah secara lebih dekat.
“Dalam tasawuf, tingkatan-tingkatan ini seperti seorang sufi yang telah mencapai maqam atau telah mendapatkan martabat di hadapan Ilahi,” kata Masykur kepada Republika beberapa waktu lalu.
Ia mafhum bila keberadaan Masjid Tuha Indrapuri dipandang berdiri di atas bekas kawasan candi. Ada pula yang menganggap, dahulu lahan masjid tersebut ialah bekas benteng. Bagaimanapun, lanjutnya, jejak-jejak arsitektur Hindu di sekitar tempat ibadah Muslimin itu belum bisa dipastikan.
“Kita belum menemukan satu pun dokumen yang mengindikasikan bahwa masjid itu berada di atas candi. Karena, tidak ada satu fragmen dari bagian bangunan yang betul-betul dari warisan Hindu,” katanya.
“Tidak ada satu kajian yang betul-betul komprehensif untuk bisa menyimpulkan secara pasti, masjid itu dibangun di atas candi. Sebab, memang (anggapan) itu hanya asumsi dari gaya bentuk bangunan betonnya (yang mengelilingi Masjid Tuha Indrapuri –Red),” sambungnya.
Ia mengutip artikel yang terbit pada sebuah jurnal Belanda tahun 1921. Masykur menuturkan, ada seorang peneliti Belanda yang pernah mengkaji kesejarahan masjid-masjid tua di Aceh. Berdasarkan hasil wawancaranya dengan masyarakat setempat, tidak ada satu pun informasi yang menyatakan bahwa Masjid Tuha Indrapuri dibangun di atas area (bekas) candi.
Masykur menduga, masjid yang kini berstatus bangunan cagar budaya itu dibangun di atas area bekas benteng. Alasannya, di Aceh ada semacam tradisi bahwa masjid juga didirikan sebagai benteng pertahanan. “Memang ada semacam tradisi di Aceh bahwa masjid itu juga dibangun sebagai pertahanan. Jadi, ia dibuat seperti benteng-benteng. Begitu pula dengan pola Masjid Tuha Indrapuri,” jelas Direktur Pedir Museum ini.
Perawatan masjid tersebut berada di bawah tanggung jawab Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh. Republika mengamati, hingga saat ini masjid yang disebut-sebut tertua se-Aceh itu tampak terawat dengan baik. Dan, sebagaimana umumnya pusat kegiatan kaum Muslimin, Masjid Tuha Indrapuri juga masih difungsikan untuk umum. Shalat lima waktu, shalat Jumat, atau perayaan hari besar Islam juga dipusatkan di sana oleh masyarakat lokal.
Masykur menambahkan, semua pengelolaan Masjid Tuha Indrapuri sejak dulu sampai sekarang masih bersumber dari harta wakaf. Ia menunjuk, terdapat papan yang menuliskan tokoh-tokoh yang telah mewakafkan hartanya. Hasil dari pengelolaan wakaf itu kemudian dipergunakan untuk membiayai perawatan masjid ini.
“Dan kebiasaan berwakaf itu sudah berlangsung dari dulu, sekitar 100 atau bahkan 200 tahun yang lalu,” jelasnya.Rol
No comments:
Post a Comment