Selalu Bersyukur: Kisah Dialog Jibril dengan Kerbau, Kelelawar, dan Cacing
Suatu hari, Allah SWT memerintahkan Malaikat Jibril pergi menemui salah satu makhluk-Nya.Terjadi dialog antara jibril dan kerbau, kelelawar, lalu cacing. Jawaban cacing sungguh mengejutkan.
Pertama kali yang didatangi adalah kerbau. Di siang yang panas itu si kerbau sedang berendam di sungai. Malaikat Jibril menjumpainya dan bertanya, “Wahai kerbau, apakah kamu senang diciptakan Allah SWT sebagai seekor kerbau?”
Kerbau menjawab, “Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikan aku seekor kerbau. Aku sungguh masih beruntung daripada aku dijadikan-Nya seekor kelelawar. Bukankah mereka itu suka mandi dengan air kencingnya sendiri?”
Mendengar jawaban itu, Malaikat Jibril segera pergi menemui seekor kelelawar yang siang itu sedang tidur bergelantungan dalam sebuah gua.
Malaikat Jibril lalu bertanya kepada kelelawar, “Wahai kelelawar, apakah kamu senang dijadikan oleh Allah sebagai seekor kelelawar?”
Kelelawar menjawab, “Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikan aku seekor kelelawar. Sungguh aku merasa beruntung daripada aku dijadikan-Nya seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal dalam tanah, dan berjalan menggunakan perutnya.”
Mendengar jawaban itu, Malaikat Jibril segera pergi menemui seekor cacing yang sedang merayap di atas tanah. Malaikat Jibril kemudian bertanya kepada si cacing, “Wahai cacing kecil, apakah kamu senang telah dijadikan Allah sebagai seekor cacing?”
Cacing menjawab, “Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah yang telah menjadikan aku seekor cacing. Sungguh aku merasa beruntung daripada aku dijadikan-Nya sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal saleh, ketika mati mereka akan disiksa untuk selama-lamanya!"
Skenario Allah SWT
Yusuf Burhanudin dalam bukunya berjudul "Saat Tuhan Menyapa Hatimu" mengatakan kita bisa memetik tiga pelajaran dari kisah ini.
Pertama, dunia dan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya diciptakan dengan kesengajaan dan skenario yang pasti, bukan main-main maupun kebetulan belaka.
Mahasuci Allah yang telah menciptakan langit dan bumi berikut segala isinya dengan keteraturan, sistem yang rapi, dan berpasang-pasangan. Sungguh semua susunan dan untaian kosmis dan keteraturan jagat raya ini tidaklah terjadi secara kebetulan atau untuk sekadar mainan belaka.
Allah SWT berfirman, "Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Demikian anggapan orang-orang kafir, celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka". (QS Shad (381: 27).
Jagat raya adalah skenario besar Allah SWT dengan tujuan yang dahsyat pula. Saat menafsirkan ayat itu, Ibn Katsir menjelaskan, “Tidaklah Allah menciptakan langit dan bumi ini sia-sia belaka, tetapi dengan haqq (skenario pasti). Allah membalas orang yang berbuat jahat dengan balasan setimpal, dan memberikan pahala bagi mereka yang berbuat baik.” (Tafsir Ibn Katsir, Jilid 1, h. 440).
Allah SWT berfirman, "Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan hak, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Dukhan (441: 38-39).
Allah SWT berfirman, "Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar setiap jiwa diberi balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan (QS Al-Jatsiyah (45): 22).
Salah satu tujuan besar dan dahsyat penciptaan manusia, misalnya, tiada lain agar mereka beribadah kepada Allah SWT Allah berfirman, Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS Al-Dzariyat (51): 56).
Syaikh Muhammad Mutawalli Sya'rawi dalam bukunya Mujizat Al-Quran menjelaskan arti ibadah sebagai berikut, “Allah SWT menciptakan manusia tiada lain untuk beribadah kepada-Nya. Inilah misi penting yang tidak bisa dimungkiri siapa pun."
"Allah memberitahukan bahwa penciptaan manusia adalah untuk beribadah. Tetapi pertanyaannya, apakah ibadah hanya sekadar duduk-duduk di masjid dan berdzikir? Bukankah Al-Quran menjelaskan kepada manusia seputar kewajiban beribadah, bekerja, melawan ketimpangan, berdakwah dengan cara yang baik, dan sebagainya. Semuanya dijelaskan agar terjadi kelangsungan yang dinamis dalam kehidupan manusia.”
Kisah Sufi dan Sandal
Kedua, belajar dari semua hewan tadi, tulis Yusuf Burhanudin, hendaknya setiap kita senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas pemberian yang diberikan kepada kita, yang tentunya berbeda satu sama lain. Dengan demikian, kita tidak akan pernah iri apalagi dengki terhadap nikmat yang diberikan kepada orang lain serta lupa akan nikmat kepada diri sendiri.
Seorang sufi pernah mengadukan kesedihan dirinya karena sandal miliknya hilang dan ia tidak kuasa membeli sandal baru. Saat masuk ke salah satu masjid raya di Kota Kufah, pada saat dirinya merasa sedih, ia tiba-tiba melihat seorang laki-laki yang berjalan tanpa kedua kakinya. Betapa ia kemudian bersyukur seraya memuji Tuhannya. Ternyata, apa yang menimpa orang lain, sungguh lebih berat daripada apa yang dialami dirinya!
Ketiga, manusia tidak lebih dari seonggok daging yang kelak menjadi santapan cacing. Kelak berubah menyatu dengan tanah saat dirinya tidak berdaya. Perhatikanlah secara saksama penyesalan orang kafir kelak seperti pernah direkam dalam Al-Quran,
Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (wahai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya dan orang kafir berkata, “Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah. ( QS Al-Naba' (78): 40 )
(mhy) Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment