Ayah Syekh Siti Jenar Ternyata Guru Ngaji Putra dan Putri Prabu Siliwangi
Kisah Syekh Siti Jenar yang simpang siur, penuh misteri, dan terkesan fiktif, seakan menjadi nyata tatkala dituturkan Sartono Hadisuwarno dalam bukunya berjudul "Biografi Lengkap Syekh Siti Jenar" (Diva Press, 2018). Buku ini menjelaskan secara lengkap nasab Syekh Siti Jenar dan aktivitas dakwah ayahnya.
Sartono menulis, ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh. Sang ayah pada awalnya tinggal di Malaka. Pada saat kisruh politik di daerah itu, mereka hijrah ke Cirebon. Kala itu, Syekh Siti Jenar masih dalam kandungan.
Di Cirebon sang ayah mengajar di pesantren, dan di antara santrinya adalah putra dan putri Raja Padjajaran, Prabu Siliwangi. Putra dan putri berdarah biru itu adalah Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah dan Dewi Rara Santang.
Dari Kamboja ke Malaka
Ayah Syekh Siti Jenar tinggal di Malaka (sekarang Malaysia) karena mengikuti aktivitas dakwah ayahnya, Syekh Isa Alawi. Pada mulanya kakek Syekh Siti Jenar tinggal di Kamboja.
Pada masa itu, Malaka merupakan daerah yang aman dan tidak banyak terjadi konflik. Sehingga, penyebaran agama Islam dapat berjalan tanpa hambatan.
Malaka, kata Sartono, merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Malaka, yakni sebuah kerajaan Melayu yang didirikan oleh Parameswara jauh sebelum Kesultanan Malaka mendapatkan legitimasi atau pengakuan wilayah kedaulatan dari Kaisar Tiongkok pada tahun 1405.
Dahulu, Malaka merupakan daerah yang aman dan tidak banyak terjadi konflik karena telah mendapatkan perlindungan Kaisar Tiongkok dari serangan Kerajaan Ayyutthaya dan Majapahit.
Semua rakyat dan para pendatang yang bertempat tinggal di sana dijamin keamanan mereka oleh pihak Kesultanan Malaka. Tak terkecuali, Syekh Datuk Shaleh beserta sang istri. Mereka justru mendapatkan perlindungan yang “lebih”, karena telah dikenal oleh pihak Kesultanan Malaka sebagai ulama penyebar agama Islam di Malaka.
Keamanan Malaka yang terjamin oleh Kesultanan Malaka ternyata tidak bertahan cukup lama. Hal ini terbukti ketika terjadi kemelut pemindahan kekuasaan di dalam Kesultanan Malaka pada akhir tahun 1424 M, atau pada masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Maka, saat itu pula, Syekh Datuk Shaleh beserta sang istri memutuskan untuk pindah ke Cirebon karena merasa sudah tidak aman lagi bertempat tinggal di Malaka.
Setelah melakukan perjalanan laut selama beberapa minggu, akhirnya tibalah Syekh Datuk Shaleh beserta sang istri di Cirebon pada awal tahun 1425 M. Ketika itu, Syekh Siti Jenar masih berada di dalam kandungan ibunya usia tiga bulan.
Di Cirebon inilah, Syekh Datuk Shaleh beserta sang istri memulai hidup baru. Mereka berdagang sembari menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Cirebon yang saat itu mayoritas mereka masih beragama Hindu dan Budha.
Mengutip sebuah literatur tanpa disebut sumber dan penulisnya, Sartono bercerita, ketika Syekh Datuk Shaleh datang (pindah) ke Cirebon, ia disambut saudaranya yang sudah lama tinggal di Cirebon, yakni Syekh Datuk Kahfi, putra Syekh Datuk Ahmad.
Sesampainya di Cirebon, Syekh Datuk Shaleh beserta sang istri tinggal di pesantren Giri Amparan Jati. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Datuk Kahfi.
Menurut Sartono, selama bertempat tinggal di pesantren Giri Amparan Jati itulah, Syekh Datuk Shaleh banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para santri yang berasal dari daerah Cirebon dan sekitarnya, termasuk putra dan putri Prabu Siliwangi.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment