Hukum Wanita Tidak Menikah, Bercermin dari Kisah Rabiah Al-Adawiyah
Hukum wanita tidak menikah adalah boleh, kendati tidak disarankan. Maknanya, menikah bukanlah hal yang wajib bagi perempuan. Demikian pendapat sejumlah ulama.
Dalam kasus ini kita juga bisa bercermin dari kisah Rabiah Al-Adawiyah . Sufi perempuan pertama yang melegenda yang lahir di Basra, Irak, pada era Dinasti Abbasiyah berkuasa tahun 717 M ini menolak setiap lamaran lelaki.
Imam Hasan Al-Basri bahkan pernah melamarnya pula. "Aku hidup dalam bayang-bayang kuasa-Nya. Engkau harus meminta diriku kepada-Nya, bukan kepadaku,” jawab Rabiah menolak lamaran itu.
Farid al-Din Attar dalam bukunya berjudul "Tadhkirat al-Auliya’berkisah, suatu waktu Rabiah mengirim Hasan al-Basri tiga benda: sepotong lilin, sebuah jarum, dan sehelai rambut. “Seperti lilin,” katanya.
“Nyalakan dunia, dan dirimu terbakar. Jadilah seperti jarum, selalu bekerja meskipun tidak memiliki apa-apa. Ketika engkau telah melakukan dua hal ini, seribu tahun bagimu akan menjadi seperti sehelai rambut.”
“Apakah engkau ingin kita menikah?” tanya Hasan al-Basri kepada Rabiah Al-Adawiyah.
“Ikatan pernikahan hanya berlaku untuk mereka yang memiliki keakuan,” jawab Rabiah. “Saat ini keakuanku telah lenyap, karena aku telah menghilang dan hanya ada melalui Dia. Aku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam bayang-bayang kuasa-Nya. Engkau harus meminta diriku kepada-Nya, bukan kepadaku.”
“Bagaimana engkau menemukan rahasia ini Rabiah?” tanya Hasan.
“Aku merelakan semua hal yang telah kuperoleh kepada-Nya,” jawab Rabiah.
“Bagaimana engkau mengenal-Nya?” tanya Hasan.
“Engkau lebih suka bertanya, tetapi aku lebih suka menghayati,” kata Rabiah
Rabiah Al-Adawiyah memilih hidup melajang.
Allah SWT berfirman,
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ
Dan para wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah, tidaklah berdosa menanggalkan pakaian luar mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan aurat, dan menjaga kehormatan adalah lebih baik bagi mereka ( QS An-Nur : 60)
Kemudian, dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menyebutkan daftar orang yang mati syahid, di luar medan jihad. Di antaranya,
وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهَادَةٌ
”Wanita yang mati dalam keadaan jum’in, termasuk mati syahid.” (HR Ibnu Majah 2803, dan dishahihkan al-Albani).
Di antara makna ’mati dalam keadaan jum’in’ mati dalam keadaan masih gadis. Sebagaimana keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar (w. 852 H) dalam Fathul Bari (6/43).
Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya al-Muhalla menegaskan bahwa menikah hukumnya wajib bagi para pemuda. Akan tetapi beliau mengecualikan kewajiban itu bagi wanita. Beliau menegaskan bahwa wanita tidak wajib menikah. Dua dalil di atas, menjadi alasan beliau untuk mendukung pendapatnya.
Setelah membahas hukum nikah bagi pemuda, beliau menegaskan, “Menikah tidak wajib bagi wanita. berdasarkan firman Allah ta’ala, ‘Dan para wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah’ dan berdasarkan hadis shahih dari Rasulullah SAW yang menyatakan, ‘Wanita yang mati dalam keadaan jum’in, dia mati syahid’. Abu Muhammad (Ibnu Hazm) mengatakan, Yaitu wanita yang mati ketika nifas atau yang mati ketika masih gadis, yang belum digauli.” (al-Muhalla, 9/5).
Pendapat Ibnu Hazm ini dikuatkan oleh Syaikh Mustofa al-Adawi – seorang ulama ahli hadis d Mesir –. Dalam buku beliau, Jami’ Ahkam an-Nisa (kumpulan hukum tentang wanita), beliau menegaskan, tidak wajib bagi wanita untuk menikah, karena saya tidak menjumpai adanya dalil tegas yang menunjukkan kesimpulan wajibnya menikah bagi mereka.” (Jami’ Ahkam an-Nisa, 5/287).
Kemudian Syaikh Musthofa menyebutkan dalil yang menguatkan pendapat beliau, sebuah hadis dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِابْنَةٍ لَهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ ابْنَتِي قَدْ أَبَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَطِيعِي أَبَاكِ” فَقَالَتْ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَتَزَوَّجُ حَتَّى تُخْبِرَنِي مَا حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَتْ قَرْحَةٌ فَلَحَسَتْهَا مَا أَدَّتْ حَقَّهُ”. قَالَتْ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَا تَنْكِحُوهُنَّ إِلَّا بإذنهن”
Ada seorang sahabat yang datang menghadap Rasulullah SAW bersama putrinya. ‘Putriku ini menolak untuk menikah.’ Kata orang itu.
Nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Taati bapakmu.’
”Demi Dzat yang mengutus anda dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah sampai anda sampaikan kepadaku, apa hak suami yang menjadi kewajiban istrinya?” tanya si wanita.
Si wanita itupun mengulang-ulang pertanyaannya.
Sabda beliau, ”Hak suami yang menjadi kewajiban istrinya, bahwa andaikan ada luka di badan suami, kemudian dia jilati luka itu, dia belum memenuhi seluruh haknya.”
”Demi Dzat yang mengutus Anda dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah selamanya.”
Lalu Nabi SAW bersabda, ”Janganlah kalian menikahkan putri kalian, kecuali dengan izin mereka.” (HR Ibnu Hibban 4164, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 17122, al-Hakim dalam Mustadrak 2767, ad-Darimi dalam Sunannya 3571. Hadis ini dinilai hasan Syuaib al-Arnauth)
Rasulullah SAW tidak menyalahkan perkataan wanita tersebut, yang bersumpah tidak akan menikah selamanya, menunjukkan bahwa prinsip itu tidaklah bertentangan dengan syariat.
(mhy) Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment