Hukuman Zina dan Cara Cerai Masyarakat Arab Pra-Islam
Bagi orang Arab masa jahiliyah , pengkhianatan atas perkawinan dianggap sebagai zina dan pelanggarnya dihukum mati. Seorang pria dianggap berzina bila berhubungan seksual dengan wanita baik-baik (muhshanah) yang tidak dia kenal.
Sedangkan bagi wanita, seorang istri baik-baik dianggap berzina dan dihukum dengan lemparan batu sampai mati (rajam), jika dia berhubungan seksual dengan pria yang tidak dia kenal (gharib) dan tanpa sepengetahuan suami.
Hukuman ini dikenal di kalangan orang Ibrani, sedangkan orang Arab pertama pada zaman jahiliyah yang menerapkan hukuman rajam adalah Rabi' bin Hidan. "Tetapi, berzina dengan budak perempuan tidak dianggap pelanggaran bila seizin atau atas perintah pemiliknya,” tulis Dr Abdul Aziz MA dalam bukunya berjudul "Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan pada Zaman Awal Islam".
Menurut adat, orang Arab mengakui hak suami menceraikan istrinya. Ungkapan cerai (talak) yang paling terkenal yaitu: Habluki 'ala gharibiki, yang artinya “kuserahkan jalan hidupmu dan pergilah sesukamu”.
Kadangkala seorang pria berkata: “aku berpisah dari kamu”, atau “aku ceraikan kamu”, atau “pulanglah kepada ayahmu”, atau ungkapan lain sejenisnya.
Setelah diceraikan, wanita Arab sebelum Islam tidak mengenal masa penantian (iddah). Jika talak dilakukan tiga kali berturut-turut, talak tersebut menjadi Thaliq alBa'in.
Sangatlah umum seorang suami menceraikan istrinya sekali, atau dua kali, lalu si suami itu meminta mantan istrinya untuk kembali dan memaksanya terus terikat kepadanya tanpa batasan waktu.
Thalaq al-Zhihar termasuk jenis talak yang terkenal di kalangan orang Arab sebelum Islam. Talak ini terjadi ketika seorang suami berkata kepada istrinya: “engkau seperti punggung ibuku” atau “engkau seperti perut saudara perempuanku”.
Ada juga Thalaq al-ila, yaitu pembatasan waktu menceraikan istri selama masa tertentu, biasanya setahun atau dua tahun, lalu Islam menjadikannya hanya empat bulan.
Selanjutnya dikenal pula Thalag al-Khulu', yaitu talak ketika seorang istri membayar harta pengganti senilai harta yang pernah diberikan suaminya sebagai mahar, yang dengan begitu si istri dibiarkan pergi oleh si suami.
Kadangkala seorang istri ditelantarkan suaminya, tidak dikembalikan kepada ayah atau keluarganya, tetapi tidak pula diceraikan hingga si istri meminta kerelaan si suami (menceraikannya) dengan memberikan sesuatu yang suaminya minta. Jenis talak ini disebut Thala al-Adhul.
Adalah hal yang lumrah dan biasa bahwa seorang pria menikahi wanita kaya dari kalangan asyraf dan memperlakukannya seperti itu sampai si wanita setuju memberi apa yang diminta suaminya.
Para wanita yang terceraikan tidak diberi nafkah oleh mantan suami mereka. Demikian pula pada kasus Thalaq al-Ba'in, si suami tidak memberikan apa pun kepada mantan istrinya.
Sementara itu, anak laki-laki mengambil keturunan dari ayahnya, sebagaimana dimaksudkan oleh ungkapan istilah al-Walad li al-Firasy, dan dia adalah pewaris ayahnya. Karena itulah seorang anak hasil hubungan seksual jenis apa pun selalu disangkutkan pada bapaknya.
Perihal seorang wanita memiliki lebih dari satu suami, maka bapaknya ditentukan oleh si wanita atau melalui cara qafah.
Seorang pria juga boleh mengangkat anak (tabanni), dengan hak yang sama seperti anak natural, termasuk hak menjadi pewaris ayah angkatnya.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment