Keistimewaan Islam Menurut Peneliti Barat dan 8 Pesan Ibnu Khaldun
Salah satunya adalah Muhammad Umar Chapra, dalam karyanya Muslim Civilization: The Causes of Decline and the Need for Reform. Intelektual asal Pakistan ini menjelaskan bahwa tentu saja ada banyak peristiwa yang saling berkaitan sehingga membentuk keadaan yang kini dialami mereka.
Bagaimanapun, dia memilih teori yang dihadirkan Ibn Khaldun (1332-1406) di dalam Muqaddimah. Menurut Chapra, di antara keunggulan model Ibn Khaldun adalah sifatnya yang multidispliner dan dinamis.
Model itu menghubungkan segenap variabel sosio-ekonomi dan politik yang penting, termasuk otoritas politik, penerapan hukum Islam, rakyat, sumber daya, dan kekayaan, pembangunan, serta keadilan. Semua itu disajikan dalam bagan yang berbentuk siklus karena tidak ada satu pun variabel yang konstan.
Delapan butir nasihat Ibn Khaldun tentang peradaban atau yang diistilahkannya sebagai kalimat hikamiyyah adalah (1) bahwa kekuatan negara (almulk) tidak berwujud kecuali melalui penerapan hukum syariat (2) hukum syariat tidak bisa diterapkan kecuali oleh negara.
(3) negara tidak bisa dikuatkan kecuali melalui rakyatnya, (4) rakyat tidak bisa terus hidup berkelanjutan kecuali dengan har ta atau kekayaan, (5) kekayaan tidak bisa diperoleh kecuali melalui pem bangunan; (6) pembangunan tidak bisa dicapai selain melalui keadilan (7) keadilan adalah kriteria yang dengannya Allah akan mengevaluasi umat manusia, dan (8) kedaulatan diharuskan dengan pertanggungjawaban tentang mewujudkan keadilan.
Hal lain yang membuat Chapra memilih model Ibn Khaldun adalah fokusnya pada manusia. Artinya, timbul tenggelamnya suatu peradaban amat bergantung pada kondisi sejahtera atau menderitanya manusia.
Bila manusia menjadi pusat perhatian, kata Chapra, pembangunan dan keadilan menjadi hal-hal yang paling krusial dalam siklus sebab-akibat jatuh bangunnya suatu peradaban. Dalam pandangan Ibn Khaldun, pembangunan tidak melulu mengenai ekonomi, tetapi juga kognitif dan spiritual.
Pembangunan tidak mungkin terjadi tanpa mengindahkan keadilan. Chapra menggarisbawahi luasnya dimensi keadilan dan ketidakadilan dalam pemikiran Ibn Khaldun.
Bapak sosiologi itu menekankan, kebijakan apa pun yang tidak didasari syariat dan memaksa orang-orang untuk menyerahkan harta dan tenaganya kepada penguasa adalah kebijakan yang tidak adil.
Pembangunan yang dijalankan melalui kebijakan-kebijakan yang tidak adil hanya memunculkan kemerosotan di tengah masyarakat. Bab berikutnya lebih sebagai kilas balik tentang apa saja yang dinilai membangkitkan peradaban Islam pada masa lalu.
Chapra mengutip pendapat sejarawan Prancis, Calude Cahen, yang menyoroti keistimewaan peradaban agama ini dibandingkan dengan yang lain-lain. “Tendensi yang mendasari aturan hukum menurut Alquran adalah keberpihakan pada mereka yang kurang mampu (underprivileged),” katanya.
Chapra menerjemah kannya sebagai kekuatan Islam yang mengangkat derajat kaum papa tanpa harus menyingkirkan kaum kaya. Dengan demikian, negara sebagai kekuasaan politik harus tidak hanya cakap secara keilmuan atau keterampilan, tetapi juga bagus akhlaknya.
Komparasikan hal itu dengan logika dasar yang bekerja pada, misalnya, komunisme atau marxisme yang menghendaki perebutan alat-alat produksi dari kelas tertentu oleh kelas lain. Di dalamnya, secara implisit terdapat sikap permisif terhadap penggunaan kekerasan atau tujuan menghalalkan segala cara (the end justifies the means).
Kekhasan lainnya dari buku ini adalah pembahasannya pada unsur-unsur peradaban yang dimiliki Islam pada masa kejayaan, yakni kemakmuran kota dan pencapaian dinamika ilmu pengetahuan.
Dengan apik, Chapra menganalisis tentang bagaimana dua hal tersebut saling melengkapi untuk menghadirkan suatu daya dorong yang mencerdaskan kehidupan tidak hanya umat Islam, tetapi umat manusia seluruhnya (rahmatan lil 'alamin)Rol
No comments:
Post a Comment