Sosok yang Dipercaya Menyampaikan Tongkat Isyarat Pendirian NU
KH Raden As'ad Syamsul Arifin merupakan salah seorang perintis Nahdlatul Ulama (NU). Dialah yang memperantarai komunikasi antara alim-ulama terkemuka, demi membentuk organisasi tersebut.
KH Hasyim Asy'ari kemudian menugaskan nya, bersama dengan KH Mahfud Siddiq dan KH Asnawi, untuk mengabarkan kepada seluruh ulama Jawa agar menghadiri pertemuan akbar pendirian NU di Surabaya. Sejak saat itu, KH As'ad selalu terpilih sebagai penasihat (mustasyar) dalam setiap muktamar NU.
Wibawa KH As'ad begitu masyhur di kalangan NU maupun Muslimin pada umumnya. Dia dikenal sebagai pribadi yang tidak tergoda jabatan dan kekayaan.
Jalan hidupnya adalah zuhud. Dia juga mengamalkan pola hidup sehat dan terjaga.
Jelang Muktamar NU ke-27 pada 1984, nama KH As'ad kian populer. Pesantrennya akan menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan acara tersebut. Sejarah mencatat muktamar ini sebagai jalan bagi NU untuk kembali ke khittah 1926.
Artinya, organisasi ini kembali mantap dalam bidang sosial keagamaan, alih-alih terjun ke politik praktis. Salah satu pendukung gigih khittah tersebut adalah KH As'ad. Dia pula yang menjadi ketua tim Ahlul hall wal 'Aqd, yakni bertugas menentukan siapa ketua Pengurus Besar NU.
Pada muktamar NU berikutnya di Krapyak, Yogyakarta, KH As'ad tidak dapat hadir. Beberapa pernyataan mencuat bahwa sang kiai berseberangan pandangan dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
KH As'ad kemudian menyampaikan pemisahan diri (mufaraqah) dari kepemimpinan Gus Dus atas organisasi PBNU. Bagaimanapun, secara kultural dia tetap warga NU.
Tambahan pula, jajaran kepengurusan PBNU periode 1989-1994 menempatkannya pada jabatan ketua majelis mustasyar. Posisi ini tetap diberikan kepadanya sampai KH As'ad tutup usia pada 4 Agustus 1990
Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini lahir di desa Syiib Ali, sekitar Masjid al-Haram, Makkah, pada 1897. Saat itu, keluarganya sedang mengenyam pendidikan di Tanah Suci selama beberapa tahun. Pada 1903, dengan memboyong As'ad dan adiknya, Abdurrahman, orang tuanya pulang ke kampung halaman mereka di Pamekasan.
Ibunda As'ad masih keturunan Sunan Ampel. Sementara itu, Raden Ibrahim merupakan alim terkemuka dari Madura.&
Pada 1908, ayah kandung As'ad tersebut mulai berupaya mendirikan pesantren sendiri. Atas saran para gurunya, sosok yang dijuluki Kiai Syamsul Arifin itu memilih lokasi di Situbondo (Jawa Timur), yang masih berupa hutan belantara.
Seperti dikutip dari buku Ensiklopedi Islam, As'ad kemudian hijrah ke Tanah Suci untuk meneruskan belajar ilmu-ilmu agama. Keputusan ini diambil berdasarkan imbauan dari orang tuanya.
Di Makkah, dia belajar pada Madrasah Shalatiyah, yang di dalamnya banyak para murid dari Jawi (Melayu). Guru-gurunya merupakan alim ulama besar, baik dari Timur Tengah maupun Nusantara. Misalnya, pakar tata bahasa dan sastra Arab Syekh Hasan al-Massaddan Sayid Hasan al-Yamani, serta pakar ilmu tauhid dan fikih Sayid Muhammad Amin al-Qutbi.
Ada pula Syekh Syarif as-Syinqithi dan Syekh Bakir asal Yogyakarta. Saat berusia 17 tahun, dia pulang kembali ke Tanah Air.
Na mun, sesampainya di kampung halaman dia terus melanjutkan pendidikan agama. Dia kemudian berguru antara lain kepada KH Mohammad Kholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy'ari di Jombang.
Pada 1924, As'ad diperbolehkan me ngajar pada pesantren yang diasuh ayahnya. Namun, dia tidak sekadar mengajar, melainkan juga menghadirkan inovasi di tataran kurikulum dan administrasi.
Saat itu, Pondok Pesantren Salafiah Syafiiyah telah memiliki ratusan orang santri. Untuk itu, perlu metode yang lebih efektif dan efisien agar mereka dapat menerima ilmu dengan lebih baik.
As'ad kemudian menerapkan sistem madrasah, tetapi dengan mempertahan kan cara mengajar yang tradisional.
Misalnya, santri tetap menjalankan sorogan, yakni cara belajar dengan membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas tiga atau lima orang santri.
Dengan cara ini, seorang kiai akan membaca dan menerjemahkan beberapa baris bacaan, kemudian para santri mengulangi penjelasan kiai tersebut.
Selain sorogan, ada lagi sistem wetonan, yakni dengan membentuk kelompok-kelompok yang lebih besar. Satu kelompok dapat terdiri atas 50 orang santri. Mereka hanya mengikuti penjelasan dari seorang kiai, tanpa perlu mengulanginya secara lisan.
Sejak saat itu, KH As'ad dipandang sebagai pembawa kemajuan bagi Pesantren Salafiah Syafiiyah. Pamornya semakin meningkat dengan upayanya mendirikan sema cam perguruan tinggi, Ma'had 'Ali, di kompleks tersebut.
No comments:
Post a Comment