Sunan Abu Dawud
Kitab Imam Abu Dawud ini mengumpulkan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam.
Kata sunan merupakan bentuk plural dari sunah. Dalam lingkup keilmuan Islam, maksud istilah tersebut ialah Sunnah Nabi Muhammad SAW. Penamaan sunan berarti mengilustrasikan ada banyaknya tuntunan Rasulullah SAW untuk umat.
Lebih lanjut, sejumlah ulama klasik menamakan kitab-kitab karyanya dengan sunan. Isinya cenderung menyajikan dan menjelaskan hadis-hadis Nabi SAW tentang pelbagai ibadah, semisal bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Karena itu, buku-buku yang berjudul sunan biasanya tidak memuat hadis mengenai hal-hal di luar petunjuk ibadah, seperti moralitas atau sejarah kehidupan Rasul SAW.
Kandungan sebuah sunan tidak hanya hadis-hadis sahih, tetapi mencakup pula hadis-hadis dhaif yang diberi catatan seperlunya oleh sang penulis. Inilah salah satu pembedanya dengan berbagai macam kitab hadis dalam khazanah Islam.
Ditinjau dari sistematika penulisan, sekurang-kurangnya terdapat tiga jenis kitab hadis. Pertama, ragam musnad, yakni kitab yang mengumpulkan hadis-hadis berdasarkan rawinya. Biasanya, kitab musnad disusun secara alfabetis, yakni dimulai dari huruf “alif” hingga “ya”.
Tujuannya memudahkan pembaca. Sebagai contoh, pengguna buku ingin membaca hadis-hadis yang diriwayatkan Abu Bakar ash-Shiddiq. Maka ia dapat membuka pada bagian awal dari kitab musnad yang sedang dibacanya karena nama sang sahabat Nabi SAW berawalan “alif.”
View this post on Instagram
Dalam umumnya kitab jenis ini, hadis-hadis dikumpulkan dari setiap perawi tanpa memandang pembahasan atau tema. Di antara musnad yang terkenal ialah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Isinya meliputi sekitar 40 ribu hadis. Dari jumlah itu, sekira 10 ribu hadis di antaranya dimuat berulang kali.
Berikutnya, ragam jami’. Kitab hadis ini disusun secara tematik. Bab-bab di dalamnya membahas tema-tema tertentu, semisal akidah, adab, sejarah Nabi SAW, keutamaan orang-orang saleh, nasihat-nasihat yang melembutkan hati, dan sebagainya. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim merupakan beberapa contoh jenis kitab hadis demikian.
Terakhir, ragam sunan. Penyajian hadis di dalamnya berdasarkan bab-bab fikih, mulai dari persoalan thaharah, shalat, zakat, dan seterusnya. Adapun hadis-hadis yang disajikan tidak hanya berderajat sahih atau hasan, tetapi juga dhaif atau lemah. Sang penyaji di dalam karyanya memberikan penjelasan tentang hadis-hadis itu.
Biasanya, penulis sunan beranggapan, hadis dhaif yang tidak terlalu lemah periwayatannya memiliki kedudukan lebih tinggi daripada pendapat para sahabat Rasul SAW. Sebab, tak ada satu pun yang layak menjadi pegangan, setelah Alquran, kecuali hadis. Fatwa sahabat bisa atau boleh dipakai hanya setelah tidak ditemukan adanya dalil-dalil yang berhubungan dengan suatu hukum tertentu.
Ada tiga contoh sunan yang sangat masyhur di tengah Muslimin, yaitu Sunan an-Nasa'i, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan Abu Dawud. Yang pertama itu disusun oleh Ahmad bin Syuaib al-Khurasani atau Imam an-Nasa'i. Adapun yang kedua merupakan karya Imam Abu Isa Muhammad at-Tirmidzi. An-Nasa'i merupakan murid at-Tirmidzi, yang adalah santri dari sang penulis Sunan Abu Dawud.
Isi kitab
Kira-kira dalam 73 tahun masa hidupnya, Abu Dawud berhasil mengumpulkan tidak kurang dari 50 ribu hadis. Semua itu kemudian ditelaah dan diseleksinya sehingga terkumpul sebanyak 4.800 hadis. Hadis-hadis itulah yang terhimpun dalam Sunan-nya.
Abu Dawud menyusun kitab tersebut ketika dirinya bermukim di Baghdad. Sebagai seorang murid Imam Ahmad bin Hanbal, ia terstimulus untuk mengumpulkan hadis yang berkaitan dengan syariat. Tidak mengherankan bila Sunan-nya berfokus murni pada hadis tentang hukum Islam. Bahkan, secara khusus karyanya tersebut ditujukan kepada pendiri mazhab-fikih Hambali itu.
Hadis-hadis yang dihimpun Abu Dawud dalam Sunan terdiri atas kategori-kategori sahih, mendekati-sahih, dan dhaif. Dalam suratnya kepada penduduk Makkah al-Mukarramah, ia memperkenalkan karyanya itu. Dijawabnya pelbagai pertanyaan dari mereka mengenai kitab yang telah disusunnya itu.
Ia berkata, “Aku telah mendengar dan menuliskan hadis Rasulullah SAW sebanyak 50 ribu buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadis di antaranya yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut, aku himpun hadis-hadis sahih, semi-sahih, dan yang mendekati-sahih.”
Abu Dawud juga menekankan, dirinya tidak mencantumkan di dalam kitabnya itu satu hadis pun yang telah disepakati oleh orang banyak sebagai perlu-ditinggalkan. Mengenai hadis yang mengandung kelemahan, ia pun memberikan penjelasan mengenai kedudukan hadis dhaif itu, termasuk tentang yang tidak sahih sanadnya. Adapun hadis yang tidak diberi penjelasan sedikit pun di dalam Sunan, berarti itu merupakan hadis yang bernilai sahih.
Hadis sahih dapat dikenali dari tiadanya penjelasan tentang mertabat dan kualitas hadis. Adapun hadis yang mendekati-sahih pada prinsip kedudukannya hampir sama dengan hadis sahih. Perbedaannya hanya terletak pada keyakinan tentang sikap adil (’adalah) dan kejujuran (shiddiq) perawi. Sementara itu, hadis-hadis yang diberi penjelasan secukupnya berarti memiliki kualitas dhaif.
Menurut Abu Sulaiman al-Khataby, Sunan Abu Dawud memiliki susunan topik-topik yang lebih baik daripada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ia langsung membagi hadis-hadis yang dikumpulkannya dalam bentuk bab dan bagian atau jilid. Secara keseluruhan, ada 1.871 bab dan 95 bagian/jilid.
Karena mengambil format sunan, buah tangan Abu Dawud itu dapat diandalkan untuk mencari rujukan terkait hukum-hukum fikih. Sebagai contoh, ada pertanyaan, apakah minuman yang memabukkan tetap haram walaupun diminum sedikit.
Di dalam Sunan Abu Dawud, terdapat hadis berkaitan dengan hal itu, yakni yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesuatu (minuman) yang banyaknya dapat menyebabkan mabuk, maka sedikitnya pun haram.”
Kemudian, soal lainnya mengenai talkin yakni membisikkan kalimat syahadat kepada orang yang hendak meninggal atau mayat yang baru dikuburkan. Dalam Sunan, terdapat hadis berikut. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa pun yang akhir ucapannya (ketika menjelang ajal) adalah kalimat Laa Ilaaha illa Allah, maka ia masuk surga.” Abu Dawud menerangkan, hadis itu dari Mu’adz bin Jabal.
Amien Nurhakim dalam artikelnya di laman Nahdlatul Ulama menukil syarh karya Syekh Abu Hasan al-Sindi atas Sunan Abu Dawud mengenai makna hadis di atas. Sabda Rasul SAW dapat dimaknai bahwa Allah menjadikan lisan si pengucap kalimat agung itu sebagai tanda. Yakni, bahwa Dia menganugerahinya ampunan dan kasih sayang. Hal itu sebagaimana disampaikan dalam Alquran surah al-Anbiya ayat 101.
Maka, orang-orang Mukmin yang sempat mengucapkan kalimat tauhid sesaat sebelum ajal datang, akan tergolong sebagai ahli surga. Siapapun mereka, tanpa memandang apakah semasa hidupnya bergelimang dosa. Sebab, kemampuan untuk berucap Laa Ilaaha illa Allah itu adalah takdir-Nya. Allah telah membuat ketetapan yang baik, sebagaimana dijelaskan dalam al-Anbiya ayat 101.
Hingga Abu Dawud wafat pada 275 H di Bashrah, Sunan-nya terus mendapatkan perhatian besar, khususnya dari para penuntut ilmu hadis.Hingga Abu Dawud wafat pada 275 H di Bashrah, Sunan-nya terus mendapatkan perhatian besar, khususnya dari para penuntut ilmu hadis. Wujud dari berbagai atensi itu ialah, antara lain, lahirnya kitab-kitab yang menjelaskan (syarh) atau meringkas (mukhtashar) karya monumental tersebut.
Beberapa syarh atau mukhtashar di antaranya adalah Aun al-Ma'bud Syarh Sunan Abu Dawud karya Syamsul Haq Azimabadi dan Badli al-Majhud fi Hall Abi Daud karya Khalil Ahmad Anshari. Keduanya termasuk jajaran syarh terbaik yang sampai saat ini masih bisa dijumpai.
Imam al-Ghazali berkata memuji karya pemuncak ini, “Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadis-hadis ahkam (berkaitan dengan hukum Islam).” Demikian pula dengan Imam an-Nawawi.
Bagaimanapun, tetap ada kritik, semisal yang datang dari Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah. Ulama kelahiran Damaskus itu menyoroti beberapa hadis dalam Sunan Abu Dawud. Sekurang-kurangnya, menurut dia, ada sembilan hadis yang masuk kategori maudhu atau palsu.
Akan tetapi, sorotan itu ditanggapi dan dibantah sebagian ahli hadis, seperti yang dikemukakan Jalaluddin as-Suyuti. “Andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan tersebut, sebenarnya hadis-hadis yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadis yang terkandung dalam Sunan Abu Dawud.
Karena itu, kami melihat bahwa hadis-hadis yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun nilai kitab //Sunan// sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.”
Kebiasaan Unik, Keteguhan Prinsip
Abu Dawud merupakan seorang alim yang hidup pada masa keemasan Islam. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang saleh, warak, dan tekun dalam disiplin keilmuan hadis. Karena itu, tokoh yang berasal dari Persia itu sangat patut menjadi teladan.
Para ahli hadis menyatakan, sifat-sifat Abu Dawud menyerupai gurunya, Imam Ahmad bin Hanbal. Adapun Imam Hambali memiliki sifat-sifat serupa gurunya, Imam Waqi bin Jarah. Imam Waqi menyerupai Sufyan ats-Tsauri. Yang belakangan itu menyerupai Ibnu Mas’ud. Sosok dari generasi sahabat itu mempunyai pekerti yang menyerupai Nabi Muhammad SAW. Urutan-urutan itu menggambarkan ketinggian akhlak dan kepribadian Abu Dawud.
Ada satu kebiasaan unik yang ditunjukkan sang pakar hadis. Menurut berbagai riwayat, baju yang dipakainya sering kali tampak berbeda, yakni antara bagian lengan sebelah kanan dan yang kiri. Yang satu lebar, sedangkan lainnya lebih sempit.
Orang yang memerhatikannya akan bertanya. Barang kali sang penulis Sunan Abu Dawud itu sekadar ingin nyentrik? Ternyata bukan begitu. Jawabnya, “Lengan baju yang lebar dipergunakan untuk membawa kitab. Kalau keduanya sama-sama lebar, itu hanyalah pemborosan dan berlebih-lebihan (untuk lengan yang tidak membawa kitab –Red).
Abu Dawud juga dikenal sebagai seorang yang menghormati orang tua sekaligus menyayangi yang lebih muda.Abu Dawud juga dikenal sebagai seorang yang menghormati orang tua sekaligus menyayangi yang lebih muda. Dari Abu Bakar bin Jabir yang juga pembantu Abu Dawud, Imam al-Khattabi menuturkan, “Aku bersama Abu Dawud tinggal di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang. Lalu, pintu kubuka dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon izin untuk masuk.
Kemudian, aku melaporkan kedatangan tamu ini kepada Abu Dawud. Ia pun mengizinkan. Sang amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian, Abu Dawud menemuinya seraya menanyakannya, apakah yang mendorongnya untuk datang.”
Sang amir menjawab, “Tiga kepentingan. Pertama, hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana supaya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia datang kepada Tuan. Maka Basrah akan makmur kembali.
Kedua, hendaknya Tuan berkenan mengajarkan Sunan kepada putra-putraku. Ketiga, hendaknya Tuan mengadakan majelis tersendiri untuk mengajarkan hadis kepada putra-putra khalifah. Sebab, mereka tidak mau duduk bersama dengan orang umum.”
Abu Dawud menyatakan tidak bisa memenuhi permintaan yang ketiga. “Manusia pada dasarnya adalah sama, baik pejabat maupun rakyat,” tegasnya.
Sejak saat itu, putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majelis taklim.
Abu Dawud berkata, “Hendaknya para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi mereka-lah yang harus datang kepada para ulama.”Rol
No comments:
Post a Comment