Yang Dilakukan Umar bin Khattab ketika Mendapati Istri Prajurit Muslim Kesepian
Suatu ketika Umar bin Khattab meronda di Kota Madinah. Beliau melewati halaman rumah seorang perempuan yang sedang bersenandung pilu:
"Malam itu begitu panjang dan tepi langit begitu hitam.
Sudah lama aku tiada kawan untuk bersendau gurau.
Demi Allah, kalaulah bukan karena takut kepada Allah tentu kaki-kaki tempat tidur itu sudah bergoyang-goyang.
Tetapi, oh Tuhanku! Rasa malu cukup menahan diriku. Namun suamiku sungguh lebih mengutamakan mengendarai ontanya.”
Khalifah Umar lalu menanyakan tentang perempuan ini. Lalu, ada orang yang menceritakan keadaannya kepada Umar. "Dia perempuan seorang diri. Suaminya telah pergi berperang di jalan Allah." Selanjutnya Umarpun mengirim surat kepada suami perempuan yang kesepian itu agar segera pulang.
Khalifah Umar lalu mendatangi putrinya, Hafshah , dan bertanya: “Wahai putriku, berapa lamakah seorang perempuan ditinggal lama oleh suaminya?”
Hafshah menjawab “Subhanallah! Orang seperti ayah bertanya masalah ini kepada orang seperti aku?”
”Seandainya aku tidak ingin memperhatikan kepentingan kaum muslimin niscaya aku tidak akan bertanya hal ini kepadamu," ujar Umar.
Hafshah menjawab, "lima bulan sampai enam bulan."
Umar lalu menetapkan waktu tugas bagi tentara untuk bertempur selama enam bulan. Sebulan untuk pergi, empat bulan untuk tinggal di medan perang, dan sebulan lagi untuk pulang menemui istrinya.”
Kisah ini adalah riwayat Abu Hafsh dengan sanad Zaid bin Aslam, disampaikan Imam Ahmad saat ditanya, “Berapa batas suami meninggalkan istrinya?”
Ia menjawab, “Enam bulan, jika ia tidak mau kembali setelah enam bulan, pengadilan boleh menceraikan antara keduanya.
4 Malam Satu Kali
Para ulama memang berbeda pendapat tentang masalah ini. Ibnu Hazm berkata, suami wajib menyetubuhi istrinya dan sekurang-kurangnya satu kali dalam setiap bulan jika ia mampu. Kalau tidak, dia berarti durhaka kepada Allah.
Kebanyakan ulama sependapat dengan Ibnu Hazm tentang kewajiban suami menyetubuhi istrinya jika ia tidak memiliki halangan apa-apa.
Adapun menurut Imam Syafi’i , ini tidaklah wajib karena menjimak istrinya itu menjadi haknya. Jadi, ia tidak wajib menggunakan haknya ini seperti halnya dengan hak-hak lain.
Imam al-Ghazali berkata, sepatutnya suami menjimak istrinya pada setiap 4 malam satu kali. Ini lebih baik karena batas poligami adalah empat orang. "Akan tetapi, boleh diundurkan dari waktu tersebut, bahkan sangat bijaksana kalau lebih dari satu kali dalam empat malam atau kurang dari ini sesuai dengan kebutuhan istri dalam memenuhi keinginan seksualnya," katanya.
Hal ini karena menjaga kebutuhan seks istri merupakan kewajiban suami, sekalipun tidak berarti ia harus minta bersetubuh, sebab memang sulit untuk meminta yang demikian dan memenuhinya.
Syekh Zaruq di dalam kitab "Nashihah Al-Kafiyah" berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan hak wanita adalah senggama yang dilakukan suami bersamanya paling sedikit dua kali dalam setiap Jumat. Atau paling sedikit satu kali pada setiap Jumat bagi suami yang cukup tingkat kesehatannya.
Sahabat Umar bin Khattab menentukan satu kali senggama dalam satu kali suci wanita (istri) (satu kali dalam sebulan), karena dengan begitu suami akan mampu membuat istrinya hamil dan menjaganya.
"Benar demikian, akan tetapi sebaiknya suami dapat menambah dan mengurangi menurut kebutuhan istri demi menjaga kesehatan. Sebab, menjaga kesehatan istri merupakan kewajiban bagi suami. Sebaiknya suami tidak menjarangkan bersenggama bersama istri, sehingga istri merasa tidak enak badan," katanya.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment