Yatim di Usia 2 Bulan, Syekh Siti Jenar Hafal Al-Qur'an di Usia 8 Tahun
Syekh Siti Jenar sudah hafal al-Quran pada usia 8 tahun. Setelah merasa cukup menimba ilmu-ilmu agama di pesantren Giri Amparan Jati, penyebar ajaran manunggaling kawula Gusti, ini meninggalkan pesantren dan mendalami ilmu kemakrifatan.
Dalam buku berjudul "Biografi Lengkap Syekh Siti Jenar" (Diva Press, 2018) karya Sartono Hadisuwarno diceritakan setelah lebih-kurang setahun bertempat tinggal di Cirebon, ayah Syekh Siti Jenar, Syekh Datuk Shaleh wafat. Ini terjadi pada awal tahun 1426 M. Saat itu, Syekh Siti Jenar baru berusia sekitar dua bulan.
Semenjak itu, Syekh Siti Jenar diasuh sendiri oleh ibunya dengan dibantu oleh Ki Danusela serta penasihatnya Ki Samadullah sang Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang. Ia belajar di pesantren Giri Amparan Jati, Cirebon, di bawah asuhan Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Siti Jenar tumbuh dewasa di lingkungan pesantren Giri Amparan Jati. Di pesantren tersebut, Syekh Siti Jenar belajar ilmu-ilmu al-Qur'an, seperti ilmu tajwid, ilmu tafsir, ilmu qira'at, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu makki dan madani, ilmu i'jaz al-Qur'an, ilmu jadal al-Qur'an, ilmu gashash al-Qur'an, dan ilmu-ilmu al-Qur'an lainnya.
Konon Syekh Siti Jenar berhasil menghafalkan kitab suci al-Qur'an pada usia 8 tahun. Tidak hanya itu. Di pesantren Giri Amparan Jati, Syekh Siti Jenar juga belajar ilmu-ilmu keagamaan, di antaranya nahwu, sharaf, ushul figh, mantik, hadits, mushthalah hadits, dan sebagainya.
Sartono Hadisuwarno menyebut Syekh Siti Jenar merupakan santri kakak kelas dari Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati. "Bisa dibilang juga, Syekh Siti Jenar adalah santri generasi kedua," ujarnya.
Sedangkan, adalah santri ketiga di pesantren Giri Amparan Jati yang diasuh oleh Syekh Datuk Kahfi semenjak ayahnya, Syekh Datuk Ahmad, meninggal dunia.
Sekitar tahun 1446 M, setelah merasa cukup menimba ilmu-ilmu agama di pesantren Giri Amparan Jati, menurut Sartono, Syekh Siti Jenar bertekad untuk keluar dari pesantren tersebut, dan mulai berniat mendalami ilmu kemakrifatan (sufi).
Kala itu, Sartono mengatakan, Syekh Siti Jenar meminta restu kepada saudara sepupunya, Syekh Datuk Kahfi, agar memperbolehkannya keluar dari pesantren Giri Amparan Jati. Dengan banyak pertimbangan, Syekh Datuk Kahfi pun akhirnya memberikan restu dan mempersilakan Syekh Siti Jenar menunaikan niatnya untuk mendalami ilmu kemakrifatan.
Kitab Catur Viphala
Menurut Sartono, setelah mendapatkan restu Syekh Datuk Kahfi, Syekh Siti Jenar memulai perjalanan pertamanya ke daerah Padjajaran. Tujuan utama Syekh Siti Jenar pergi ke Padjajaran adalah untuk bertemu dengan salah seorang petapa Hindu-Budha yang dapat mengupas hakikat kitab Catur Viphala peninggalan Prabu Kertanegara, Raja Majapahit.
Syekh Siti Jenar teringat pesan Ki Samadullah bahwa satu-satunya petapa yang dapat mengupas hakikat kitab Catur Viphala adalah Samsitawratah. Sebab, Samsitawratah memiliki tempat persinggahan bagi para brahmana muda pencari kesejatian diri.
Oleh karena itu, setelah Syekh Siti Jenar tiba di Padjajaran, satu-satunya petapa yang dicarinya adalah Samsitawratah, bukan petapa-petapa Hindu-Budha yang lain.
Di dalam kitab Catur Viphala, kata Sartono, tersimpan empat pokok laku utama manusia, yakni nisprha, nirhana, niskala, nirasraya. Empat pokok laku utama manusia inilah yang diketahui Syekh Siti Jenar dapat membantunya mendalami ilmu kemakrifatan kepada Allah. Sebab, sebagaimana yang pernah dituturkan oleh Ki Samadullah kepada Syekh Siti Jenar, empat pokok laku utama manusia itu sejalan dengan perjalanan hidup manusia menuju tahap kemakrifatan kepada Allah.
Ki Samadullah pernah membahas kitab Catur Viphala itu bersama Pangeran Walangsungsang, namun hanya sebatas penafsiran-penafsiran menurut pemahaman yang belum dapat dipastikan kebenarannya.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment