Kisah Muawiyah bin Yazid Menolak Menjadi Khalifah karena Trauma

Kisah Muawiyah bin Yazid Menolak Menjadi Khalifah karena Trauma
Ilustrasi Muawiyah bin Yazid. Ia menolak menjadi khalifah kendati akhirnya dibaiat pada tanggal 14 Rabiul Awwal 64 Hijriah.. (Foto/Ilustrasi: Ist)
Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah atau Muawiyah II (664–684) sedianya menggantikan ayahnya menduduki kursi khalifah setelah Yazid meninggal dunia. Hanya saja ia menolak kendati akhirnya dibaiat pada tanggal 14 Rabiul Awwal 64 Hijriah.

Muawiyah II memiliki nama kunyah Abu Yazid atau Abu Abdurrahman. Ayahnya bernama Yazid ibn Muawiyah sedangkan ibunya bernama Fakhitah binti Abi Hasyim bin Utbah ibn Rabi’ah.Cucu Muawiyah bin Abu Sufyan ini sering disebut sebagai Muawiyah junior atau Muawiyah II. Ia dilahirkan pada tahun 44 hijriah.

Konon Muawiyah II berkulit putih, memiliki rambut yang lebat, mata yang besar, berambut keriting, hidung mancung, berwajah bulat rupawan, memiliki rambut di sekitar pipinya dan berbadan atletis (bugar dan tegap).

Berbeda dengan ayahnya, Muawiyah II lebih mengutamakan ibadah ketimbang urusan duniawi. Hari-harinya dipenuhi dengan kesalehan dan ketaatan.

Akbar Shah Najeebabadi dalam buku berjudul "The History Of Islam" memaparkan ketika Yazid meninggal, Muawiyah II baru berusia 20 tahun. Sejarawan lain menyebut baru 17 tahun. Trauma mendalam atas kekacauan yang disebabkan oleh ayahnya, membuatnya tidak berani menyentuh kursi khalifah kaum Muslimin.

Penolakannya ini telah melahirkan kegaduhan dalam tubuh Dinasti Umayyah. Para kerabat dan keturunan Umayyah pun menyesali keputusannya.

Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Muawiyah II sempat berpidato yang isinya: “Aku sudah berusaha mencari orang seperti Umar bin Khattab untuk kalian, tapi aku tidak menemukannya. Kemudian aku juga sudah mencoba untuk menyajikan enam orang sosok yang kompeten sebagaimana dulu Umar ajukan pada kaum Muslimin, akupun tidak menemukannya.”

Sedangkan Ibnu Katsir dalam bukunya berjudul "Al-Bidayah wa An-Nihayah" menceritakan suatu ketika ia memimpin kaum Muslimin untuk sholat berjamaah lalu berkhutbah di depan Kaum Muslimin. Di antara isi khutbahnya adalah:

“Wahai manusia! Aku telah menjadi khalifah yang bertugas menampung segala urusan kalian, padahal aku adalah orang yang lemah dalam hal tersebut. Bilamana kalian mau, akan kuserahkan jabatan ini kepada seseorang yang mampu untuk memikulnya, sebagaimana layaknya Abu Bakar yang menunjuk Umar sebagai penggantinya. Atau jikalau kalian menyetujui, akan kulimpahkan tanggung jawab ini kepada syura ahlul halli wa aqdi yang berjumlah 6 orang sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khathab, akan tetapi tak ada satupun orang yang layak untuk hal ini, dan dengan ini telah kulepaskan tanggung jawabku dan pilihlah sesuka hati kalian orang yang layak menjadi khalifah setelahku.”

Buku The History of al-Tabari menyebut Muawiyah II akhirnya memutuskan agar urusan kekhalifahan ini dikembalikan pada kaum Muslimin seluruhnya. Setelah itu iapun masuk ke dalam Istananya dan tidak pernah lagi muncul ke publik hingga ia akhirnya dikabarkan wafat.

Imam Suyuthi mengatakan bahwa Khalifah Muawiyah II bahkan tidak pernah sempat mengimami sholat di masjid. Adapun orang yang bertugas mengimami umat saat itu adalah Adh-Dhahhak bin Qais. Ia jugalah yang mewakili Muawiyah II dalam berbagai urusan keumatan. Keadaan ini berlanjut hingga Muawiyah II menemui ajalnya.

Imam Thabari menambahkan mengenai sebab kematiannya ada laporan bahwa Muawiyah II diracun. Ada juga yang berkata dia ditikam dari belakang, yang lain mengabarkan bahwa memang sejak awal beliau ini sakit-sakitan. Belakangan Syekh Ibn Arabi mengatakan Muawiyah II ini seorang Wali Quthb pada masanya.

Usia kekuasaannya hanya berlangsung 40 hari. Soal ini sejarawan Muslim berselisih pendapat. Ada yang mengatakan bahwa ia memerintah kurang lebih 20 hari atau 40 hari. Ada juga yang mengatakan tiga bulan. Menurut DR Muhammad Ali Ash-Shallabi yang paling kuat adalah pendapat tiga bulan.

Setelah kematian Muawiyah II, krisis kekuasaan terjadi di dalam tubuh Dinasti Umayyah. Di berbagai wilayah kaum Muslimin, Dinasti Umayyah mengalami kemerosotan legitimasi yang parah.

Sistem Khilafah
Sebenarnya Muawiyah II dalam khutbahnya menginginkan agar ia menyerahkan perkara kekhilafahan ini sesuai ketentuan Islam, yaitu dengan menerapkan syura yang diterapkan Umar bin Khathab .

Namun ia merasa bahwa dirinya sangatlah jauh derajatnya dari Umar bin Khathab, sehingga ia pun meninggalkan begitu saja kursi kekhalifahannya kepada Umat Islam agar mereka memutuskan sendiri tentang siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai khalifah.

Ash-Shallabi menjelaskan bahwa khutbah Muawiyah II inilah yang menjadi bukti akan ketidakrelaannya tentang berubahnya sistem pemilihan khalifah melalui cara pewarisan tahta atau dinasti.

Hal itu juga dikuatkan dengan sikap Muawiyah II yang menolak untuk membaiat salah satu anggota keluarganya menjadi khalifah setelah dirinya.

Perpecahan
Kala itu, di samping Ubaidillah bin Ziyad di Basrah, Abdullah bin Zubair pun mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah kaum Muslimin di Mekkah. Dia mendapat dukungan dari masyarakat di Hijaz dan Mesir. Dan ia masih melakukan lobi ke masyarakat Kufah yang baru saja menolak bai’at kepada Ubaidillah bin Ziyad, serta melakukan pendekatan juga ke Damaskus.

Dinasti Umayyah sebenarnya mengakui bahwa saat itu, sosok Abdullah bin Zubair adalah yang paling memenuhi kompetensi untuk menduduki kursi khalifah. Tapi mereka masih enggan memberikan bai’at pada Abdullah bin Zubair. Untuk sementara mereka sepakat menunjukkan Dahhak bin Qais untuk menjadi semacam pejabat sementara khalifah kaum Muslimin sampai terpilihnya sosok khalifah yang diakui oleh semua masyarakat Muslim.

Dengan wafatnya Muawiyah II, maka terputus pula tradisi kepemimpinan trah Abu Sufyan bin Harb di kalangan keluarga Umayyah.

Tapi Umayyah tidak pernah kehabisan stok. Selain Harb dan Affan, ia juga memiliki putra yang bernama Hakam. Keturunan Affan sudah mendapatkan jatahnya ketika Utsman bin Affan naik menjadi khalifah.

Demikian juga dengan keturuan Harb, ketika Muawiyah mendaulat dirinya menjadi khalifah bahkan mewariskannya pada Yazid bin Muawiyah. Tinggal yang tersisa sekarang adalah keturunan Hakam, yang kepala keluarganya kala itu dipegang oleh sosok yang bernama Marwan bin Hakam atau dikenal dengan Marwan I.
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: