Kisah Yazid bin Muawiyah, Putra Mahkota Pertama dalam Sejarah Kaum Muslimin
Yazid bin Muawiyah adalah “putra mahkota” pertama dalam sejarah kaum Muslimin. Ia lahir di dalam istana Damaskus pada tahun 25 H. Sejak kecil, hidupnya dilingkupi oleh suasana yang glamor dan jauh dari sentuhan spiritual para sahabat utama. Tubuhnya begitu tambun, dan Muawiyah selalu memanjakannya.
Ath-Thabari memaparkan tidak ada satupun riwayat yang mengatakan bahwa Yazid adalah seorang ahli ibadah ataupun memiliki ilmu yang sangat luas. Sebaliknya, ia sangat gemar berpesta pora dan berburu.
Sialnya lagi, Yazid yang tidak memiliki kecakapan ini, naik tahta pada usia 35 tahun tanpa didampingi oleh penasihat sekaliber Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah dan Ziyad bin Abihi, yang dulu mendampingi ayahnya meraih kesuksesan.
Ketika Yazid berkuasa pada tahun 60 H, menurut Ath-Thabari, ia mewarisi dari Muawiyah para gubernur yang kualitas kecerdasan jauh di bawah pendahulunya.
Di Madinah, ia memiliki gubernur bernama Al-Walid bin ‘Utbah bin Abi Sufyan, di Kufah ada al-Nu’man bin Bashir al-Ansari, di Basrah ada Ubaydallah bin Ziyad bin Abihi, dan di Mekkah ada Amr bin Sa’id bin al-‘Ash.
Mereka adalah kader yang tumbuh di bawah asuhan konflik dan fitnah di antara kaum Muslimin. Dan secara umum mereka berhasil meraih posisinya karena peranan mereka yang besar dalam mengamankan bai’at terhadap Yazid yang sudah dilakukan sejak zaman Muawiyah masih hidup. Sehingga nalar pemerintahan mereka lebih mirip seorang serdadu dan politisi ketimbang seorang negarawan apalagi ulama.
Semua gubernur Yazid, terutama Ubaidillah bin Ziyad, tidak dikenal sebagai seorang yang faqih apalagi ahli ibadah. Hal ini menegaskan tabiat kekuasaan khalifah kedua bani Umayyah ini memang bukan untuk kemaslahatan agama dan kaum Muslimin, tapi untuk melunasi semangat ashobiyah yang sudah dirintis sejak pendahulunya.
Selama masa pemerintahan Yazid, praktis tidak ada satupun kemajuan yang tercatat dari peninggalan dinasti Umayyah. Ia disibukkan dengan urusan politik demi mengamankan posisinya sebagai khalifah.
Bahaya Laten
Ketika tersiar kabar bahwa Muawiyah wafat dan digantikan oleh Yazid bin Muawiyah, semua tampak diam dipermukaan dan menyetujui keputusan tersebut. Namun Yazid merasa belum puas pada apa yang dilihat dan didengarnya.
Ia meyakini bahwa masih ada bahaya laten yang memungkinkan terjadinya gejolak di berbagai wilayah yang menyatakan protes atas keputusan tersebut. Dan kecurigaannya tidak sepenuhnya salah. Kuatnya hegemoni kekuasaan yang ditinggalkan ayahnya memang sudah tidak memungkinkan lagi suara sumbang terdengar dari setiap wilayah atas kedudukan Yazid.
Namun demikian, memang banyak masyarakat yang tidak sepakat keputusan tersebut. Di antara banyak tokoh yang masih hidup pada waktu itu dan memiliki pengaruh sangat besar di masyarakat adalah Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Zubair. Ketiganya tidak ada menyetujui Yazid sebagai khalifah. Hal ini membuatnya semakin cemas dan terganggu.
Akhirnya, kata Ath-Thabari, ketika pertama kali mengawali pemerintahannya, ia sudah menulis pada Al-Walid bin ‘Utbah yang ketika itu menjabat gubernur di Madinah, sebuah surat yang ditulis dalam perkamen kecil, berisi perintah kepada Al Walid:
“Tangkap Husein, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Zubair dan minta mereka memberikan baiatnya (sumpah setia pada pemerintahan Yazid). Bertindaklah sedemikian keras sehingga mereka tidak memilikikesempatan untuk melakukan apapun sebelum memberikan sumpah setia…“
Mulanya, Al Walid ragu untuk melaksanakan perintah ini. Namun Marwan bin Hakam menguatkannya dan menasihatinya agar tidak ragu menjalankan perintah ini. Sesuai nasehat Marwan, di antara ketiga orang ini, hanya Abdullah bin Umar yang tidak berbahaya.
Ia sudah larut dalam ibadah dan sudah menjauhi dunia, sehingga tidak mungkin punya keinginan untuk mengambil kekuasaan. Yang perlu dikhawatirkan dan perlu dijinakkan segera adalah Abdullah bin Zubair dan Husein bin Ali. Karena mereka memiliki pengaruh yang luar biasa, terutama Husein bin Ali yang masih memiliki dukungan luas di dunia Islam.
Maka berangkatlah Al Walid kepada Abdullah bin Zubair dan Husein bin Ali. Namun keduanya sudah tidak ada di Madinah dan dikabarkan sudah berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Abdullah bin Zubair berangkat bersama saudaranya, sedang Husein bin Ali berangkat bersama seluruh keluarga besarnya, termasuk adik perempuannya Zainab binti Ali, putra-putra Hasan bin Ali, adik-adik Al Husein, dan putra-putrinya.
Al Walid memerintahkan pada pasukannya untuk mengejar mereka, namun mereka sudah jauh dan tidak mungkin lagi dikejar. Sejak keluarnya surat perintah dari Yazid, mendadak kedua orang ini (Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair) menjadi buronan kelas satu di dunia Islam.
Reaksi Pendukung Ali bin Abu Thalib
Di Kufah, sisa-sisa pendukung Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali bersuka cita ketika mendengar kabar kematian Muawiyah. Kepercayaan diri mereka bangkit seketika. Mereka menolak berbai’at kepada Yazid dan memilih berbai’at kepada Husein bin Ali.
Mereka lalu menulis surat kepada Husein untuk segera datang ke Kufah dan menjadi pemimpin mereka. Surat-surat yang terkumpulpun kian hari kian banyak, dan akhirnya dikirimlah surat tersebut kepada Husein bin Ali yang saat itu sudah ada di Mekkah. Mendapat undangan ini, Husein bin Ali mengutus sepupunya yang bernama Muslim bin Aqil untuk terlebih dahulu melihat komitmen masyarakat Kufah.
Di Damaskus, ketika Yazid mendengar kabar tentang kebangkitan masyarakat Kufah, ia langsung meradang. Seketika ia memerintahkan al-Nu’man bin Bashir al-Ansari dicopot dari jabatannya karena dinilai tidak becus menjaga situsi.
Yazid lalu memerintahkan Ubaydallah bin Ziyad yang ketika itu sedang menjabat sebagai gubernur Basrah untuk mengendalikan situasi di sana. Tanpa ampun, Ibn Ziyad langsung bertindak memadamkan rencana subversif para pendukung Husein bin Ali. Semua yang melawan ataupun dianggap menentang perintahnya langsung dieksekusi dan dibunuh.
Akbar Shah Najeebabadi dalam bukunya berjudul "The History Of Islam" menjelaskan, hanya sebentar saja Muslim bin Aqil, utusan Husein bin Ali mendapat sambutan meriah di Kufah, tak lama setelah Ibn Ziyad memerintah Kufah, semua pendukungnya langsung menyusut drastis. Satu per satu pendukungnya dibunuh dengan kejam oleh Ibn Ziyad. Tiba-tiba Muslim bin Aqil menjadi terasing dan diburu di wilayah yang sebelumnya sangat meriah menyambutnya. Hingga akhirnya iapun tewas dibunuh oleh Ibn Ziyad.
Di Mekkah Husein bin Ali semakin terdesak. Beliau terus dimata-matai oleh anak buah Yazid, hingga akhirnya beliau memutuskan bertolak ke Kufah bersama seluruh keluarganya dan sedikit orang yang mengikutinya.
Ia diburu dan semakin terancam di mana-mana. Kesalahannya hanya satu, Beliau tidak bersedia membai’at Yazid sebagai khalifah karena memang Yazid tidak layak, dan ini sebenarnya juga diakui oleh semua orang yang “berpikir” pada masa itu. Tapi kebanyakan mereka diam, dan tidak berani angkat suara apalagi melawan.
Tiba-tiba dunia menjadi sepi bagi Husein bin Ali dan keluarganya. Mereka berjalan sekeluarga meniti gurun pasir panas Arabia. Hingga akhirnya mereka tiba di satu tepat di tepi sungai Eufrat, yang bernama Karbala.
Ketika sampai di Karbala, dan keluarga Husein bin Ali mendirikan tenda di sana, datanglah ribuan pasukan Kufah yang dipimpin oleh Umar putra Saad bin Abi Waqash. Ia dijanjikan oleh Ubaidillah bin Ziyad (Ibn Ziyad) jabatan di daerah Rayy, Iran sekarang. Tugasnya hanya dua, mengambil bai’at dari Husein bin Ali atau membunuhnya.
Pembantaian Keluarga Husein
Selanjutnya sebagaimana sejarah mencatat, drama paling menyayat digelar. Husein bin Ali beserta seluruh keluarga dan pengikutnya dikepung berhari-hari. Mereka tidak diizinkan kembali, tidak juga dibiarkan meneruskan perjalanan sampai Husein bin Ali bersedia memberikan bai’at untuk Yazid. Satu hal yang mustahil dilakukan oleh orang semulia Al Husein.
Sejarawan mencatat Husein bin Ali tiba di Karbala pada tanggal 2 Muharam dan akhirnya gugur di tempat ini pada 10 Muharam. Artinya selama 8 hari beliau menghabiskan sisa perbekalan, selebihnya beliau dan keluarganya menahan rasa haus dan lapar di tengah gurun yang panas menyengat.
Ali Audah mengatakan bahwa sejak tanggal 7 Muharam itu, atau selama 3 hari, Husein bin Ali dan keluarganya sudah tidak lagi menenggak minuman. Satu-satunya akses air minum hanya sungat Eufrat, dan ini ditutup oleh pasukan Umar bin Sa’ad. Setiap kali pengikutnya ingin mengambil air, maka nyawa mereka taruhannya.
Demi menjaga kehormatannya, satu per satu pengikut dan keluarga Husein bin Ali melawan kezhaliman ini, dan gugur satu persatu, mulai dari para budak, hingga keluarga dekat seperti putra-putra Hasan bin Ali, dan juga putra-putra Husein sendiri. Mereka semua adalah kerabat dekat Nabi Muhammad SAW. Hingga akhirnya yang tersisa tinggal Husein bin Ali dengan para wanita dari keluarga Nabi SAW yang berdiam di dalam tenda.
Husein bin Ali berdiri tegar menghadapi ribuan pasukan Umar bin Sa’ad dengan mengenakan baju zirah kakeknya, pakaian yang semestinya dikenali oleh umat Nabi Muhammad SAW. Di tangannya, Al Husein menggenggam pedang Zulfiqar, pedang Ali yang pernah diberikan Nabi SAW.
Tapi tanpa ampun, pasukan Umar bin Saad menggempur satu orang yang tersisa ini dengan sebuah formasi perang. Anak panah, tombak, hingga pedang berhamburan ke arah Al Husein, demi mendapatkan bai’at dari beliau. Namun upaya Umar bin Sa’ad tidak berlangsung mudah. Putra Ali bin Abi Thalib ini memiliki kemampuan tempur setara ayahnya. Puluhan nyawa pasukan Umar bin Sa’ad tumpas diujung pedang Zurfiqar. Hingga akhirnya, setelah puluhan anak panah dan tebasan pedang merobek tubuh beliau, cucu kinasih Nabi ini mereguk kesyahidan dengan tetap memegang teguh prinsipnya.
Belum puas dengan apa yang sudah dilakukannya, salah seorang berhati batu dari pasukan Umar bin Saad yang bernama Syamir bin Zil-Jausyan, mendatangi jasad yang sudah tidak berdaya itu lalu memenggal kepala Husein bin Ali dan menancapkannya di ujung tombak.
Ali Audah dalam buku berjudul "Ali bin Abi Thalib; Sampai kepada Hasan dan Husain" memaparkan perbuatan ini kemudian disambut sorak sorai oleh pasukan Umar bin Sa’ad. Mereka lalu berhamburan ke jasad-jasad yang lain dan ikut memenggal pula kepala-kepala dari jasad keluarga Nabi SAW lainnya.
Belum puas sampai di sana, pasukan Umar bin Sa’ad ini menjarah juga atribut yang menempel pada jasad Al Husein. Tak lupa mereka juga berhamburan ke kemah yang didiami oleh para wanita dari keluarga Nabi Saw. Pasukan ini menjarah harta mereka, menawan mereka, dan memperlakukan wanita dari keturunan Rasulullah SAW layaknya budak.
Hanya satu laki-laki yang tersisa dalam pembantaian ini, yaitu Ali bin Husein yang ketika itu sedang mengalami sakit keras. Menurut Akbar Shah Najeebabadi, ketika Syamir melihat Ali bin Husein, iapun sebenarnya ingin membunuhnya. Namun Umar bin Saad melarangnya. Ali bin Husein akhirnya dirantai, dan dipaksa berjalan hingga ke Kufah bersama para wanita dan kepala-kepala yang ditancapkan di ujung tombak para prajurit Umar bin Sa’ad.
Ath-Thabari melaporkan ada sebanyak 70 kepala yang akhirnya dibawa oleh pasukan Umar bin Saad ini.
Menurut Ali Audah, pada peristiwa Karbala ini, personil Husein bin Ali hanya terdiri dari 72 orang, 32 orang pasukan berkuda dan 40 pejalan kaki. Ini artinya hampir segenap personil laki-laki yang dibawa oleh Al Husein ludes tak bersisa. Adapun jumlah pasukan yang dibawa oleh Umar bin Sa’ad atas perintah Ubaidillah bin Ziyad sebanyak 4000 orang.
Bila melihat dari nama-nama korban yang disebutkan oleh Thabari, hampir setengahnya dari korban-korban ini adalah sanak keluarga Al Husein sendiri. Dengan kata lain bisa anggap, bahwa yang dibawa Al Husein ini memang bukan sebuah pasukan tempur. Sehingga peristiwa yang terjadi di Karbala lebih layak disebut sebagai genosida terhadap keturunan Nabi SAW daripada sebuah pertempuran.
Dengan penuh kebanggaan pasukan Umar bin Sa’ad memasuki Kufah dengan ekspresi seperti orang baru memenangkan sebuah perang. Melihat iring-iringan yang ganjil ini, sontak terjadi hysteria di seluruh kota. Orang-orang menangis dan mengutuk perbuatan pasukan ini. Bagimanapun penduduk Kufah adalah pendukung Ali bin Abi Thalib. Mereka sangat mengenali kepala-kepala yang tertancap diujung tombak itu, terlebih kepala Husein bin Ali. Perasaan menyesal, horror dan kebencian menyelimuti banyak orang di antara mereka. Hanya satu orang yang puas menyaksikan peristiwa tersebut yaitu Ubaidillah bin Ziyad.
Setelah mendengar laporan tentang keberhasilan mereka, Ibn Ziyad memerintahkan anak buahnya mengarak kepala-kepala tersebut dan tawanan semuanya ke Damaskus untuk dipamerkan di hadapan Yazid. Sepanjang perjalanan sejauh ribuan kilometer dari Kufah ke Damaskus, pasukan ini mendapat sambutan dan juga cemooh dari wilayah-wilayah yang mereka singgahi.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment