Menerima Amanah atau Pertumpahan Darah?

  |PERASAAN

perih menyergap seluruh benak dan kalbu ‘Abdul Malik bin ‘Umar Ayahandanya menjadi penguasa Dinasti Umawiyyah yang ke-8. ‘Abdul Malik bin ‘Umar tahu, Ayahandanya dipilih berdasarkan prestasi dan kepribadiannya selama menjadi Gubernur Madinah dan Makkah.

Selama menjabat sebagai gubernur di dua Tanah Suci itu, kedua wilayah tersebut menjadi kawasan yang stabil dan aman. Juga, didasarkan harapan kiranya selama menjadi orang nomor sang Ayahandanya juga dapat mengendalikan pemerintahannya dengan sikap yang adil, bersih, dan bijak,

Meski demikian, ‘Abdul Malik bin Umar tetap menyesal atas kesediaan sang Ayahanda menerima amanah itu. Bukan karena menyesali perubahan gaya hidup sang Ayahanda yang sebelumnya sarat dengan gemerlap duniawi dan kini berubah menjadi bagaikan seorang zuhud. Tidak. Bukan itu.

Dia menyesali tindakan tergesa sang Ayahanda yang menerima amanah itu tanpa permusyarawatan kaum Muslim lebih dahulu. Menurutnya, tindakan sang Ayahanda tidak dapat dibenarkan.

Selepas merenung, merenung, dan merenung, ‘Abdul Malik bin ‘Umar akhirnya memutuskan akan menyampaikan seluruh gelegak pikiran dan hatinya. Karena itu, suatu hari, ketika melihat sang Ayahanda sedang tidak terlalu disibukkan dengan tugas kenegaraan yang tersangga di pundaknya, dia pun bergegas menemuinya.

Selepas berbagi Malik pun berucap, ” berpulang ke hadirat perihal amanah yang sapa sejenak dengan sang ayahanda, ‘Abdul Amir Al-Mukminin! Manakala engkau kelak Allah Swt., bukankah engkau akan ditanya engkau terima?”

“Benar, Putraku.”

“Nah, apakah jawaban Ayahanda kelak manakala engkau ditanya, “‘Umar, mengapa selama engkau menjadi penguasa masih ada satu bid’ah yang tetap engkau pertahankan, dan masih ada pula satu Sunah yang belum engkau kemarakkan?”

Mendengar pertanyaan tidak terduga dari sang putra, penguasa yang pernah diangkat Al-Walid bin Abdul Malile sebagai Gubernur Madinah, menggantikan Hisyam bin Isma’il itu sejenak tercenung iu tomonuna Roharama at kemudian dia dari balik bertanya kepada sang putra, “Putraku! Apakah engkau bertanya demikian karena kecintaanmu kepadaku, ataukah karena benar-benar merupakan kecemasan pikiran yang muncul dalam benakmu?”

“Semua itu semata karena pikiran yang muncul dalam benak saya sendiri, wahai Amir Al-Mukminin,” jawab sang putra pelan. “Sebagai seorang putra yang senantiasa menyertaimu, saya tahu Ayahanda adalah seorang penguasa yang bertanggung jawab. Lantas, bagaimana tanggapan Ayahanda perihal pertanyaan saya?”

Mendengar pertanyaan demikian, dia pun menjawab, “Putraku! Kiranya Allah Swt. kelak melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Juga, balasan kebaikan seorang putra kepada ayahandanya.”

Usai berucap demikian, ‘Umar bin Abdul Malik lantas berhenti berucap. Kemudian, selepas merenung beberapa saat, ucapnya selanjutnya, “Demi Allah, sungguh Ayahandamu ini berharap, kiranya kelak engkau menjadi orang yang senantiasa membela kebaikan. Putraku, sejatinya kaummu telah mengikat erat masalah kepemimpinan ini. Andai Ayahandamu ini berkeinginan untuk memberi peluang besar pencabutan sumpah setia (bai’ah) yang ada di tangan mereka, tentu Ayahandamu ini ikut terlibat dalam kerusuhan dan kekacauan yang dapat berakibat terjadinya pertumpahan darah. Demi Allah, wahai Putraku, kehilangan dunia bagiku lebih ringan daripada terjadinya pertumpahan darah karena tindakanku.?”

Betapa lega hati ‘Abdul Malik bin ‘Umar mendengar penjelasan sang Ayahanda yang demikian. Semenjak itu, dia dapat menerima sikap ayahandanya yang bersedia menerima amanah sebagai penguasa.*/Islamic Golden Storiesn Para Pemimpin yang Menjaga Amanah, A Rofi’ Usmani, Bunyan (2016)

Rep: Ahmad
Editor: -

No comments: