Pengaturan Suara di Masjid Pernah Jadi Penyulut Pemberontakan Petani Banten 1888

Para pemberontak yang terdiri dari petani, kiai, haji, dan guru ngaji yang ditangkap dalam peristiwa Pemberontakan Petani Banten tahun 1888. f Mereka sebagian dihukum manti, sebagian sebagian besar lainnya diasingkan. Foto: KITLV.
Para pemberontak yang terdiri dari petani, kiai, haji, dan guru ngaji yang ditangkap dalam peristiwa Pemberontakan Petani Banten tahun 1888. f Mereka sebagian dihukum mati, sebagian sebagian besar lainnya diasingkan. Foto: KITLV.

Kini muncul masalah baru soal pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushola. Sayangnya banyak kontroversi yang timbul karena cara komunikasi dari pihak pejabat terkait kadang tak tepat.

Padahal semua tahu ini soal sensitif. Kalau salah menangangi bisa ribut sosial. Apalagi dalam sejarahnya gegera pengaturan suara pengeras di mushola dan masjid pernah menjadi salah satu penyebab rusuh besar, yakni Geger CIlegon atau menurut versi sejarawan DR Sartoko Kardodirjo disebut Pemberontakan Petani Banten pada tahun 1888.

Bahkan, mendiang Buya Hamka menulis khusus soal 'Geger Cilegon'. Buya Hamka menulis bila awal mula rusuh sosial itu meletup dari soal pengaturan suara adzan di sebuah masjidi di wilayah itu.

 

Berikut kisah Buya Hamka itu. Kisah ini tak ada dalam disertasi Sartono Kartodirdjo. Hamka menuliskan soal ini dalam buku berjudul 'Perbendaharaan Lama' yang diterbitkan Pustaka Panjimas tahun 1982, bila salah satu pemicu kerusuhan itu adalah akibat adanya pelarangan pembacaan shalawat, tahrim, dan azan dengan suara keras.'

Hamka menulis begini:

... Tetapi menurut catatan dari Pangeran Ahmad Jayadiningrat, bekas regen Serang dan salah satu pegawai tinggi pemerintah Belanda yang amat terkenal, sebab pemberontakan ialah karena di belakang rumah resident Goebels di Jombang Tengah ada sebuah langgar. Langgar itu bermenara.

Seketika waktu Maghrib orang selalu membaca shalawat atau tahrim atau azan dengan suara keras, sehingga selalu mengganggu beliau (Goebles--Red) yang nyenyak tidur.

Maka oleh karena kesenangan beliau terganggu beliau perintahkan kepada Patih, supaya dibuat surat edaran, melarang shalawat, tahrim, dan azan itu tidak dilakukan keras-keras, karena "Tuhan tidak pekak!" Dan menurut penyelidikan Tuan Patih, menara langgar di belakang rumah tuan asisten residen itu telah tua, lebih baik diruntuhkan saja. Lalu diperintahkan opas-opas untuk meruntuhan!

Tentu saja tokoh ulama setempat, H Wasit (yang kemudian menjadi salah satu pemimpin pemberontakan) merasa berang. Apalagi sebelumnya dia sempat terkena hukuman denda sebesar F.7,50 gulden karena menebang 'pohon kayu keramat' yang selama ini dipakai sebagai ajang praktik kemusyrikan oleh sebagian masyarakat. Akibat adanya dua tindakan itu maka para haji, ulama, dan tokoh masyarakat di Cilegon merasa bahwa perasaan ke-Islaman mereka telah sangat direndahkan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda.

Nah, adanya tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial yang akut, ditambah adanya kebijakan yang 'menyingkirkan praktik keagamaan kaum Muslim' di Cilegon, maka jiwa berontak di kalangan rakyat membesar dengan hebat. Apalagi kemudian aturan mengenai pelarangan pembacaan shalawat, tahrim, dan azan dari Goebles tersiar di seluruh kalangan kaum santri di Banten.

Kalau telah begini yang terjadi sekarang, betapa lagi selanjutnya? Apalah artinya menjadi orang Islam, di tanah air sendiri pula, kalau perbuatan musyrik (pembiaran Pohon Keramat--Red) mendapat perlindungan dari pemerintah, dan pegawai pemerintah sendiri telah berani berlancang meruntuhkan menara sebuah langgar? Niscaya akan datang lagi larangan lain, sehingga hapuslah Islam dari negri kita ini.

Demikian kisah Hamka mengenai kaitan kontroversi suara yang ada di masjid dengan revolusi sosial di Banten tahun 1888.Rol

No comments: