Piagam Madinah, Konstitusi Pertama Mendahului Magna Charta

 

Piagam Madinah adalah perjanjian politik atau konstitusi tertulis pertama di dunia, the first written constitution in the world, idenya menginspirasi pemikiran para negarawan di dunia modern saat ini

PIAGAM MADINAH atau “Kostitusi Madinah” merupakan konstitusi yang mendasari berdirinya negara Madinah. Negara ini didirikan oleh Nabi Muhammad ﷺ setelah beliau hijrah dari Makkah ke Yasrib, yang kemudian berubah menjadi ”Madinah al-Munawwarah”, kota yang bermandikan cahaya; atau disebut juga “Madînah al-Rasûl”, kota Rasul Allah.

Piagam Madinah ini mengatur pola hidup bersama antara kaum Muslimin di satu pihak dengan orang-orang yang bukan Muslim pada pihak lain, dalam suatu masyarakat yang majemuk. Lebih tepatnya lagi, antara kaum Muhajirin dan Anshar yang dipimpin oleh Nabi Muhammad ﷺ dengan beberapa suku penganut agama Yahudi dan beberapa suku Arab penganut paganisme penyembah berhala.

Perjanjian politik ini kemudian ditulis dalam sebuah dokumen yang menurut para ahli merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia, the first written constitution in the world. Dikeluarkan pada tahun pertama Nabi hijrah ke Yasrib. Jadi, bertepatan dengan tahun 622 M.; dua tahun sebelum meletus Perang Badar.

“Bunyi naskah konstitusi ini sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran, yang dari sudut pandangan pemikiran modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi ini, untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pemikiran para negarawan di dunia modern, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinan masing- masing, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan, diakuinya hak milik individu, persamaan setiap warga negara di depan hukum, dan pokok-pokok pikiran lainnya yang mengatur hak individu dalam sebuah negara yang majemuk.

Pokok-pokok pikiran di dalam Piagam Madinah (Constitution of Medina) ini bukan saja memiliki kemiripan, melainkan juga mendahului apa yang dirumuskan oleh negarawan, dan seorang mantan Presiden Amerika Serikat terkemuka, Franklin D. Roosevelt tentang “the four freedom” empat kebebasan, kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat “freedom of speech”, kebebasan beragama “freedom of religion”, kebebasan dari rasa takut “freedom of fear”, dan kebebasan dari kemiskinan “freedom of franwant”. Konsitusi ini juga dinilai sebagai piagam yang mendahului Magna Charta (1215) dan Piagam Atlantik dikeluarkan oleh Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill dan Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt pada tanggal 14 Agustus 1941 (1941).

Selain itu, dalam konstitusi ini juga ditegaskan adanya kewajiban umum seluruh warga, yaitu; keharusan untuk berpartisipasi aktif dalam usaha bela negara; terutama dalam mempertahankan keamanan bersama ketika menghadapi musuh dari luar. Jadi, seluruh warga negara tanpa membedakan agama yang dianutnya memikul tanggung jawab bersama dalam membela negara dari berbagai ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

Latar Belakang Timbulnya Piagam Madinah

Sebagaimana sudah diketahui, Islam tidak dapat dipisahkan dari politik. Batas antara ajaran Islam dengan persoalan politik sangat tipis.

Sebab ajaran Islam mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk persoalan politik dan masalah ketata-negaraan. Peristiwa hijrah Nabi ke Yasrib merupakan permulaan berdirinya pranata sosial politik dalam sejarah perkembangan Islam.

Kedudukan Nabi di Yasrib bukan saja sebagai pemimpin agama, tetapi juga kepala negara dan pemimpin pemerintahan. Kota Yasrib dihuni oleh masyarakat yang multi etnis dengan keyakinan agama yang beragam.

Peta sosiologis masyarakat Madinah itu secara garis besarnya terdiri atas: 1) Orang-orang Muhajirin, yaitu kaum Muslimin yang hijrah dari Makkah ke Madinah; 2) Kaum Anshâr, orang-orang Islam pribumi Madinah; 3) Orang-orang Yahudi yang secara garis besarnya terdiri atas beberapa kelompok suku seperti: Bani Qunaiqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah; dan 4) Pemeluk “tradisi nenek moyang”, yakni penganut paganisme atau penyembah berhala.

Pluralitas masyarakat Madinah tersebut tidak luput dari pengamatan Nabi. Beliau menyadari, tanpa adanya acuan bersama yang mengatur pola hidup masyarakat yang majemuk itu, konflikkonflik di antara berbagai golongan itu akan menjadi konflik terbuka dan pada gilirannya akan mengancam integritas persatuan dan kesatuan kota “Madinah al-Munawwarah” itu.

Di kota ini sering terjadi kerusuhan etnis, bahkan perang antar suku. Akibatnya, ketertiban umum dan stabilitas keamanan sering terganggu.

Kepindahan Nabi ke Yasrib pun diundang oleh sesepuh kota ini agar menjadi tokoh integratif yang dapat menyatukan mereka yang berselisih dan menjadi pemimpin yang diterima oleh semua golongan. Nabi memenuhi undangan dan permintaan para sesepuh Yasrib dan segera berhijrah ke kota harapan itu.

Akhirnya, secara demokratis Nabi terpilih menjadi pemimpin seluruh warga Madinah. Piagam ini disusun dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin pemerintahan di Madinah.

Pokok-pokok Pikiran dalam Piagam Madinah

Menurut penilaian sarjana Muslim maupun bukan Muslim, piagam ini adalah otentik. Sumber utamanya tercatat di dalam Sîrah al-Nabi, karya Ibn Hisyam.

Piagam ini setelah diteliti secara cermat dan dikelompokkan berdasarkan tema-tema utamanya terdiri atas 47 pasal. Mukadimahnya berbunyi: Piagam Madinah. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Ini adalah dokumen dari Muhammad ﷺ yang mengatur hubungan antar orang-orang beriman dan kaum Muslimin yang berasal dari suku Quraisy dan Yasrib, dan orang-orang yang mengikuti, mempersatukan diri, dan berjuang bersama mereka.”

Sedangkan pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamya dapat diringkaskan sebagai berikut :

Pertama, masyarakat pendukung piagam ini adalah masyarakat majemuk, baik ditinjau dari asal keturunan, budaya, maupun agama yang dianutnya. Tali pengikat yang mempersatukan mereka adalah ideologi politik dalam rangka mencapai cita-cita bersama; (Pasal 17, 23 dan 24);

Kedua, masyarakat pendukung piagam ini yang semula terpecah-pecah dapat dikelompokan ke dalam dua katagori, Muslim dan bukan Muslim. Tali pengikat sesama Muslim adalah persaudaran agama atau “ukhuwah Islamiyah” (Pasal 15) Di antara mereka harus tertanam rasa solidaritas sesama Muslim yang tinggi; (Pasal 14; 19; dan 21);

Ketiga, negara mengakui dan melindungi kebebasan menjalankan ibadah bagi orang-orang yang bukan Muslim, terutama kaum Yahudi. (Pasal 25; dan 33);

Keempat, semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat; wajib saling membantu dan tidak boleh seorang pun diperlakukan secara buruk ; (Pasal 16) bahkan orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu (Pasal 11);

Kelima, semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara (Pasal 24; 36; 37; dan 41;) Demikian juga tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;

Keenam, semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum; (Pasal 34; 40; 46;);

Ketujuh, hukum adat (kebiasaan pada masa silam) dengan berpedoman kepada keadilan dan kebenaran tetap diberlakukan; (Pasal 2; 10);

Kedelapan, hukum harus ditegakkan. Siapa pun tidak boleh melindungi kejahatan, apalagi berpihak kepada orang-orang yang melakukan kejahatan. Demi tegaknya keadilan dan kebenaran siapa pun pelaku kejahatan tanpa pandang bulu harus dihukum (Pasal 13; 22, dan 43);

Kesembilan, perdamaian adalah tujuan utama; namun, dalam mengusahakan perdamaian tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran; (Pasal 45;)

Kesepuluh, hak semua orang harus dihormati; (Pasal 12);

Kesebelas, pengakuan atas hak milik individu (Pasal 47).

Sistem pemerintahan Negara Madinah secara keseleuruhan dengan konstitusinya menganut faham desentralisasi. Masalah intern kelompok diselesaikan oleh kelompok masing-masing, sedangkan jika menyangkut kelompok lain, maka penyelesaiannya diserahkan kepada Nabi selaku pemimpin tertinggi. Konstitusi tertulis pertama di dunia, yang mengagumkan ini, ditutup dengan kalimat: “Sesungguhnya Allah melindungi orang-orang yang baik dan takwa. Dan Muhammad adalah Rasul Allah.”

Negara Madinah yang didirikan oleh Nabi dengan Piagam Madinah ini merupakan inti pertama negara Islam. Dari luar tampak seakan-akan merupakan sebuah negara kota (polis) sebagaimana yang terdapat di kawasan Yunani kuna; tetapi jika diamati lebih cermat terdapat suatu perbedaan yang sangat menonjol, bahkan bagaikan langit dan bumi.

Polis Yunani membentuk suatu kota yang mandiri dan sangat tertutup dari luar, sedangkan Negara Madinah justru ibarat sebuah biji benih yang akan berkembang menjadi sebuah pohon yang rindang; pohonnya menjadi tempat bersandar bagi hamba yang kelelahan; daunnya yang rimbun tempat bernaung bagi musafir yang berdatangan, dan buahnya menjadi makanan yang lezat bagi manusia yang membutuhkannya.

Semua golongan di dalam Negara Madinah yang majemuk itu dapat menerima “Piagam Madinah” dengan lega. Mereka dapat menerima kepemimpinan Nabi. Tiap-tiap kelompok mengambil bagian kegiatan sesuai dengan tugas dan kewajiban masing-masing.

Seluruh warga negara terlibat di dalam menjaga ketertiban umum dan keamanan bersama. Mereka pun bahu membahu di dalam usaha membela negara dari berbagai ancaman dan serangan musuh yang mungkin datang dari luar.

Penghianatan Yahudi

Sayangnya, kondisi sosial politik dan keamanan yang stabil ini tidak berlangsung lama, karena ternodai oleh ulah Yahudi. Mereka mengkhianati ”Piagam Madinah”. Golongan ini bekerja sama dengan kekuatan musuh dari luar untuk menyerang kaum Muslimin. Padahal mereka telah terikat oleh “Piagam Madinah”.

Karena pengkhianatan ini berbahaya bagi persatuan dan kesatuan Negara Madinah yang landasannya sudah dibangun bersama; maka para pengkhianat itu mendapat hukuman yang setimpal. Sebagian dipersilahkan meninggalkan Madinah dengan leluasa; sebagian lagi diusir dengan paksa; dan sebagian lagi kekuatan militernya dihancurkan.

Maka sejak itu kondisi sosial politik masyarakat Madinah berkembang ke arah yang lebih homogen. Homogenitas sosial politik di Madinah itu kemudian diperkuat oleh kebijaksanaan Khalifah Umar bin Khattab yang tidak mengizinkan adanya masyarakat yang bukan Muslim, tidak saja di Makkah dan Madinah, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Rupanya Khalifah Umar bin Khattab memandang penting menciptakan “home buse” yang tangguh untuk melancarkan operasi-operasi pembebasan lebih lanjut.* (Ensiklopedi Mini, Sejarah & Kebudayaan Islam, Logos Wacana Ilmu, 1996)

Rep: Ahmad
Editor: -

No comments: