5 Hakikat Puasa Ramadhan Menurut Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali membagi lima hakikat puasa bagi orang khusus (shaum al-khusus) yang patut kita cermati dan teladani dengan baik agar kualitas puasa kita mencapai derajat yang tinggi (al-darajat al-‘ula).
Dalam " Ihya’ Ulumuddin " Bab Asrar al-Shaum, Al-Ghazali mendefinisikan puasa khusus sebagai berikut: “Puasa yang dilakukan oleh seorang yang shalih di mana ia mempuasakan seluruh anggota badannya secara sempurna”.
Mempuasakan diri di sini adalah menahan diri dari segala perbuatan dan perkataan yang dibenci oleh Allah SWT walaupun secuil.
Pertama, menahan pandangan dari apa yang dibenci oleh-Nya atau yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat kepada-Nya.
Rasulullah SAW bersabda, “Pandangan merupakan panah beracun milik iblis la’natullah. Maka barang siapa yang menjaga pandangannya, karena takut kepada Allah semata, niscaya Dia akan memberikan keimanan yang manis yang berasal dari dalam hatinya”.
Diriwayatkan dari Jabir dari Anas dari Rasulullah SAW bersabda, “Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa, yaitu berbohong, ghibah (menggunjing), mengadu domba (fitnah), sumpah palsu dan memandang dengan pandangan penuh syahwat birahi (penuh nafsu)”.
Kedua, menjaga lisan dari perkataan tidak berfaedah, berdusta, mengumpat, fitnah, perkataan keji dan kasar serta memprovokasi.
Selanjutnya, menurut Al-Ghazali, menjaga lisan dari perkataan sia-sia, berdusta, menggunjing, memfitnah, berkata kotor (keji) dan kasar, serta menebar permusuhan. Lebih banyak berdiam diri (tidak berbicara yang tidak berfaedah), memperbanyak dzikir dan membaca Al-Qur'an. Inilah puasa lisan (shaum al-lisan).
Sederhananya, puasa Ramadan mengisyaratkan kepada kita untuk menjaga kalam dari perkataan yang buruk, baik kepada diri sendiri maupun orang lain (al-imsak ‘an al-kalam) sebagaimana disampaikan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya.
Ketiga, menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tidak terpuji. Mencukupkan (menjaga) pendengaran dari segala sesuatu yang dibenci oleh Allah karena sesungguhnya segala sesuatu yang dilarang untuk diucapkan berlaku pula untuk didengarkan.
Dalam hukum Allah, mendengar yang haram sama dengan memakan yang haram, seperti yang difirmankan-Nya: “Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tidak halal”. (QS al-Maidah [5]: 42).
Karenanya, orang yang berniat puasanya agar bernilai khusus, seyogyanya berdiam diri dan menjauhkan diri dari bergunjing. Allah SWT berfirman, “Jika engkau tetap duduk bersama mereka, sungguh engkaupun seperti mereka jua”. (QS al-Nisa [4]: 140). Hal ini diperkuat dengan hadis Nabi SAW, “Yang mengumpat dan pendengarnya, keduanya berserikat dalam dosa”. (HR al-Trimidzi)
Keempat, menurut Al-Ghazali, menjaga kesucian setiap anggota badan dari sesuatu yang syubhat (tidak jelas apakah ini haram atau halal).
Menjaga kesucian setiap anggota badan (tangan, kaki, perut, dll) dari perkara yang syubhat, terlebih yang haram. Misalnya, mencukupkan diri dari makanan yang halal saja dan meninggalkan yang haram.
Puasa menjadi tidak bernilai apa-apa jika menahan diri memakan yang halal namun tatkala berbuka dengan makanan yang haram-haram. Rasulullah SAW bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa namun mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan rasa lapar dan dahaga”. (HR al-Nasa’i dan Ibn Majah)
Puasa juga berarti menjaga seluruh anggota badan baik lahiriyah maupn batiniyah dari segala sesuatu yang tidak bermanfaat (hifdz al-jawarih al-dzahirah wa al-bathinah ‘an al-isystighal bima la ya’ni). Demikian kata Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid.
Kelima, tidak memakan makanan yang berlebihan. Tidak memperbanyak makanan yang berlebihan ketika berbuka. Sebab tidak ada sesuatu yang lebih dibenci Allah SWT selain perut yang disesaki (over capacity) dengan makanan halal. Di antara manfaat puasa adalah mengalahkan setan dan menaklukkan syahwat. Bagaimana semuanya itu akan tercapai, apabila jika berbuka perut kita diisi makanan secara berlebihan”.
Benar ia berpuasa tidak makan dan minum, namun ketika berbuka ia menjejali perutnya dengan segudang makanan. Tentu ini tidak baik, berpuasalah secara “benar” dan berbukalah juga secara “benar”. Benar di sini bermakna tidak hanya benar lahiriyah, namun secara batiniyah juga. Dalam konteks memakan makanan yang berlebihan, secara lahiriyah puasanya tetap sah, akan tetapi secara hakikat sesungguhnya ia tidak melakukan intisari dari puasa itu yaitu menahan (al-imsak).
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment