Abdullah bin Zubair, Penguasa Mekkah dan Madinah yang Berakhir Tragis

Abdullah bin Zubair, Penguasa Mekkah dan Madinah yang Berakhir Tragis
Abdullah bin Zubair adalah sahabat Nabi SAW, cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq (Foto/Ilustrasi: Ist)
Pascatragedi Karbala, Abdullah bin Zubair atau Ibnu Zubair menyatakan dirinya sebagai khalifah yang sebenarnya. Pemerintahannya berpusat di Hejaz. Cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq ini sempat berkuasa beberapa tahun namun berakhir tragis.

Pada awalnya, Ibnu Zubair adalah pendukung kekhalifahan Muawiyah namun menolak penunjukan Yazid sebagai khalifah. Menurut pandangannya, Yazid bin Mu'awiyah bin Abi Sufyan itu adalah laki-laki yang terakhir kali dapat menjadi khalifah Muslimin, seandainya memang dapat.

Pandangannya ini memang beralasan, karena dalam soal apa pun juga, Yazid tidak becus! Tidak satu pun kebaikan dapat menghapus dosa-dosanya yang diceritakan sejarah kepada kita, maka Ibnu Zubair pun menolak membai'at Yazid.

Kata-kata penolakannya terhadap Mu'awiyah amat keras dan tegas. Dan apa pula katanya kepada Yazid yang telah naik menjadi khalifah dan mengirim utusannya kepada Ibnu Zubair mengancamnya dengan nasib jelek apabila ia tidak membai'at pada Yazid. Ketika itu Ibnu Zubair memberikan jawabannya: "Kapan pun, aku tidak akan bai'at kepada si pemabok”.

Kemudian katanya berpantun: "Terhadap hal bathil tiada tempat berlunak lembut kecuali bila geraham dapat mengunyah batu menjadi lembut "

O Hashem dalam "Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail" memaparkan selain Hijaz, Ibnu Zubair juga memantapkan keuasaannya di Iraq, Selatan Arabia dan bagian terbesar Syam, serta sebagian Mesir.

Ibnu Zubair memperoleh keberuntungan yang besar karena ketidakpuasan rakyat terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Salah seorang pendukungnya adalah Muslim bin Syihab, ayah dari Ibnu Syihab al-Zuhri yang kemudian menjadi cendekiawan muslim terkenal.

Yazid bin Muawiyah mencoba menghentikan pemberontakan Ibnu Zubair dengan mengirim pasukan ke Mekkah. Muslim bin Uqbah, pasca-menumpas pemberontakan warga Madinah, berencana menyerang Abdullah bin Zubair di Mekkah. Namun di tengah perjalanan wafat, sehingga kepemimpinan pasukan diambil alih oleh Al-Hushain bin Numair As-Sakuni.

Pada 26 Muharram 64 H (24 September 683 M), pasukan Al-Hushain bin Numair As-Sakun mengepung Abdullah bin Az-Zubair selama 64 hari. Terjadi saling serang dengan menggunakan Manjaniq ke Kakbah dari Gunung Qubais, sampai-sampai menimbulkan kebakaran di Masjidil Haram.

Pada 14 Rabi’ul Awwal 64 H (31 Oktober 683 M) Yazid wafat. Al-Hushain bin Numair meminta Abdullah bin Az-Zubair untuk berdialog. Al-Hushain bersedia membaiat Abdullah dan memintanya untuk datang ke Syam seraya berdamai pasca bentrokan, tapi Abdullah menolak.

Pada saat pengepungan berhenti, Ibnu Zubair pun membangun kembali Kakbah yang berantakan karena serbuan pasukan Umayyah. Kematian Yazid yang tiba-tiba ini mengakibatkan pula makin berantakannya kekuasaan Bani Umayyah dan perang saudara antar Bani Umayyah.

Tiga Peta Kekuatan
Kala Muawiyah bin Yazid, pengganti Yazid menjadi khalifah di Damaskus, terdapat tiga peta kekuatan besar di dunia Islam. Selain kekuatan politik Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, ada Ibnu Zubair yang mendapat dukungan dari Hijaz (Mekkah dan Madinah) dan Mesir. Ketiga, kekuatan politik Syiah atau pendukung anak keturunan Nabi Muhammad SAW yang ketika itu tersebar di Basrah, Kufah dan Iran (Persia).

Setelah Muawiyah II mangkat, maka Abdullah bin Zubair nyaris tanpa pesaing. Meski Bani Umayyah secara umum menolak memberikan baiatnya kepada Abdullah bin Zubair, namun kepala keluarga Bani Umayyah kala itu, Marwan bin Hakam, justru memberikan baiatnya secara pribadi kepada Abdullah.

Bagi Abdullah bin Zubair, secara politis, pemberian baiat ini dianggapnya sebagai hal yang menjamin bahwa kekuatan Bani Umayyah tidaklah terlalu berbahaya untuk saat itu, meskipun yang lain masih menahan baiatnya.

Maka fokus Ibnu Zubair waktu itu lebih ke kawasan Persia, yaitu bagaimana menarik baiat dari para pendukung keluarga Nabi SAW. Salah satu hal lain yang penting adalah, Persia wilayah yang kaya. Masyarakatnya sangat kretif dan dinamis. Ilmu pengetahuan berkembang pesat, dan produktivitas masyarakatnya sangat tinggi, sehingga modal yang berputarpun sangat besar.

Sedangkan di Mekkah dan Madinah, pusat kekuatan Abdullah bin Zubair, perekonomiannya tidak sebaik Persia dan Damaskus. Di antara ketiga peta kekuatan yang ada pada masa itu, hanya wilayah Hijaz yang secara ekonomi sangat minim. Maka wajar bila Abdullah bin Zubair demikian gencar ingin menundukkan wilayah Persia.

Kala itu, kawasan Persia, khususnya Kufah, dikuasai Mukhtar Tsaqafi. Di bawah kepemimpinan Mukhtar Tsaqafi semua pendukung keluarga Rasulullah SAW bergabung. Mereka menuntut balas atas semua kekejaman yang menimpa Husein bin Ali di Karbala.

Semua yang terlibat dalam peristiwa tersebut diseret ke pengadilan, atau diperangi sampai binasa. Termasuk di antara mereka yang terbunuh dalam perburuan tersebut adalah tokoh-tokoh kunci seperti Umar bin Sa’ad dan Ubaidillah bin Ziyad. Namun akhirnya gerakan ini berhasil dikalahkan oleh Abdullah bin Zubair, yang akhirnya berkuasa di kawasan Persia dalam waktu yang juga tidak lama.

Marwan bin Hakam
Sayangnya Abdullah bin Az-Zubair hanya puas dengan menerima kedatangan utusan dari beberapa daerah yang sukarela membaiatnya sambil tetap berada di Mekkah.

Para tokoh Bani Umayyah yang ada di Madinah yakni Marwan bin Al-Hakam dan putranya Abdul Malik diusir Ibnu Zubair sehingga membuka ruang konsolidasi bagi Bani Umayyah.

Di Damaskus, setelah beberapa bulan terjadi kekosongan kepemimpinan, Bani Umayyah akhirnya mendaulat Marwan bin Hakam menjadi pemimpin mereka. Dengan pengangkatan ini, Marwan yang sebelumnya bermaksud menyerahkan baiatnya pada Abdullah bin Zubair, mencabut kembali baiatnya dan berbalik melawan Abdullah.

Khalifah Marwan bin Hakam hanya berkuasa kurang dari satu tahun. Dia berhasil merebut wilayah Syam dan Mesir dari tangan pendukung Abdullah bin Zubair. Saat Marwan wafat, digantikan oleh putranya, Abdul Malik.

Di masa Abdul Malik inilah upaya menundukkan Abdullah bin Zubair menjadi target utama. Taktik Abdul Malik cukup jitu. Ia tidak langsung menyerang pusat kekuatan Abdullah bin Zubair yang berada di Mekkah dan Madinah, tapi melumpuhkan dulu Persia (Irak, Iran, Khurasan dan Bukhara) yang menjadi lumbung perekonomian Bani Zubair.

Setelah menjinakkan Persia, maka babak akhir penaklukanpun dilangsungkan. Sebuah pasukan terdiri dari 2000 personil yang dipimpin oleh Hajjaj bin Yusuf diberangkatkan ke Mekkah dari Damaskus.

Terkait pemilihan Hajjaj bin Yusuf ini, Ath-Thabari mengatakan bahwa Hajjaj sendiri yang memintah kepada Abdul Malik. Ia mengatakan pada Abdul Malik bahwa ia bermimpi mengalahkan Abdullah bin Zubair dan mengulitinya. Abdul Malik kemudian berpesan pada Hajjaj bin Yusuf bahwa ia diperbolehkan melakukan apapun yang dianggapnya baik. Atau dengan kata lain, Hajjaj diberikan wewenang penuh atas misi ini.

Hajjaj bin Yusuf lalu berangkat menuju Mekkah, namun ia tidak melalui jalur biasa, melainkan menggunakan jalur ke Irak lalu memutar ke arah Mekkah. Dan pada bulan Sya’ban 72 H, dia tiba di Tha’if.

Pada kesempatan yang sama, sisa kekuatan Abdullah bin Zubair yang semula sudah bersiap menyambut serangan ini di Madinah, harus berkemas dan bergerak menunju Tha’if. Di Thaif perangpun tak dapat dihindarkan. Dalam pertempuran ini, armada yang merupakan kekuatan terakhir Abdulah bin Zubair hancur. Sedang di sisi lain, Hajjaj bin Yusuf juga mengalami kerugian yang besar.

Setelah pertempuran ini, Hajjaj bin Yusuf mengirim laporan kepada Abdul Malik tentang kemenangan dan juga kerugian yang dialaminya. Mendapat laporan ini, Abdul Malik pun mengirimkan pasukan tambahan sebanyak 5000 personil dari Damaskus untuk menggandakan kekuatan Hajjaj bin Yusuf.

Pasukan ini baru tiba pada bulan Zulqaidah atau hanya satu bulan sebelum bulan haji. Mereka langsung bergabung dengan pasukan sebelumnya dan membombardir kota Mekkah dengan ketapel. Menurut beberapa laporan, mereka hanya menghentikan penyerangan hanya pada musim haji, itupun atas permohonan Abdullah bin Umar.

Salama proses haji berlangsung, pasukan Hajjaj bin Yusuf tidak mengenakan ihram dan berkeliling kota Mekkah dengan menghunus pedang. Pada tahun 73 H, akhirnya pasukan Damaskus berhasil membunuh Abdullah bin Zubair. Cucu khalifah Abu Bakar ini ditusuk dengan pedang dan kepalanya dipenggal.

Cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abdullah bin Az-Zubair adalah cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kunyahnya, Abdullah bin Az-Zubair bin Al-Awwam bin Khuwailid Al-Asadi. Ibunya Asma’ binti Abu Bakar As-Shiddiq . Ibnu Zubair merupakan keponakan dari istri pertama Nabi Muhammad SAW, Siti Khadijah.

Ibnu Zubair lahir tatkala sang bunda, Asma binti Abu Bakar, dalam perjalanan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Setibanya di Quba, suatu dusun di luar kota Madinah, ia dilahirkan. Asma dengan jabang bayinya sampai ke bumi Madinah bersamaan waktunya dengan masuknya kaum muhajirin lainnya dari sahabat-sahabat Rasulullah SAW.

Bayi yang pertama kali lahir pada saat hijrah itu dibawa kepada Rasulullah SAW di rumahnya di Madinah. Rasulullah pun mencium kedua pipinya dan dikecupnya mulutnya, hingga yang mula pertama masuk ke rongga perut Abdullah bin Zubeir itu ialah air selera Rasulullah SAW.

Kaum muslimin berkumpul dan beramai-ramai membawa bayi yang dalam gendongan itu berkeliling kota sambil membaca tahlil dan takbir. Upacara ini dilakukan ada latar belakangnya.

Tatkala Rasulullah SAW dan para sahabatnya tinggal menetap di Madinah, orang-orang Yahudi merasa terpukul dan iri hati, lalu melakukan perang urat saraf terhadap kaum muslimin. Mereka sebarkan berita bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir kaum muslimin dan membuat mereka jadi mandul, hingga di Madinah tak seorang pun akan mempunyai bayi dari kalangan mereka.

Maka tatkala Abdullah bin Zubair lahir, hal itu merupakan suatu kenyataan yang digunakan takdir untuk menolak kebohongan orang-orang Yahudi di Madinah dan mematahkan tipu muslihat mereka.

Di masa hayat Rasulullah SAW, Abdullah belum mencapai usia dewasa. Tetapi lingkungan hidup dan hubungannya yang akrab dengan Rasulullah SAW telah membentuk kerangka kepahlawanan dan prinsip hidupnya, sehingga darma baktinya dalam menempuh kehidupan di dunia ini menjadi buah bibir orang dan tercatat dalam sejarah dunia.

Anak kecil itu tumbuh dengan amat cepatnya dan menunjukkan hal-hal yang luar biasa dalam kegairahan, kecerdasan dan keteguhan pendirian. Masa mudanya dilaluinya tanpa noda, seorang yang suci, tekun beribadat, hidup sederhana dan perwira tidak terkira.

Demikianlah hari-hari dan peruntungan itu dijalaninya dengan tabi'atnya yang tidak berubah dan semangat yang tak pernah kendor. la benar-benar seorang laki-laki yang mengenal tujuannya dan menempuhnya dengan kemauan yang keras membaja dan keimanan teguh luar biasa.

Sewaktu pembebasan Afrika, Andalusia dan Konstantinopel, ia yang waktu itu belum melebihi usia tujuh belas tahun, tampak sebagai salah seorang pahlawan yang namanya terlukis sepanjang masa. Dalam pertempuran di Afrika sendiri, kaum muslimin yang jumlahnya hanya duapuluh ribu tentara, pernah menghadapi musuh yang berkekuatan sebanyak 120.000 ribu orang.

Pertempuran berkecamuk, dan pihak Islam terancam bahaya besar! Abdullah bin Zubair melayangkan pandangannya meninjau kekuatan musuh hingga segeralah diketahuinya di mana letak kekuatan mereka. Sumber kekuatan itu tidak lain dari raja Barbar yang menjadi panglima tentaranya sendiri.

Tak putus-putusnya raja itu berseru terhadap tentaranya dan membangkitkan semangat mereka dengan cara istimewa yang mendorong mereka untuk menyongsong maut tanpa rasa takut.

Abdullah maklum bahwa pasukan yang gagah perkasa ini tak mungkin ditaklukkan kecuali dengan jatuhnya panglima yang menakutkan ini. Tetapi betapa caranya untuk menemuinya, padahal untuk sampai kepadanya terhalang oleh tembok kukuh dari tentara musuh yang bertempur laksana angin puyuh. Tetapi semangat dan keberanian Ibnu Zubair tak perlu diragukan lagi.

Dipanggilnya sebagian kawan-kawannya, lalu katanya: "Lindungi punggungku dan mari menyerbu bersamaku.”

Dan tak ubah bagai anak panah lepas dari busurnya, dibelahnya barisan yang berlapis itu menuju raja musuh, dan demi sampai di hadapannya, dipukulnya sekali pukul, hingga raja itu jatuh tersungkur.

Kemudian secepatnya bersama kawan-kawannya, ia mengepung tentara yang berada di sekeiiling raja dan menghancurkan mereka. “Allahuakbar …” pekiknya.

Begitu kaum muslimin melihat bendera mereka berkibar di sana, yakni di tempat panglima Barbar berdiri menyampaikan perintah dan mengatur siasat, tahulah mereka bahwa kemenangan telah tercapai.

Abdullah bin Abi Sarah, panglima tentara Islam, mengetahui peranan penting yang telah dilakukan oleh Ibnu Zubair. Maka sebagai imbalannya disuruhnya ia menyampaikan sendiri berita kemenangan itu ke Madinah terutama kepada khalifah Utsman bin Affan.

Ibnu Zubeir dikenal tekun beribadah. Kedudukan atau harta bendanya, keberanian atau kekuatannya, semua itu tidak mampu untuk menghalangi Abdullah bin Zubair untuk menjadi seorang laki-laki 'abid yang berpuasa di siang hari, bangun malam beribadat kepada Allah dengan hati yang khusyuk niat yang suci.

Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz mengatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah: "Cobalah ceritakan kepada kami kepribadian Abdullah bin Zubeir!" Maka ujarnya: "Demi Allah! Tak pernah kulihat jiwa yang tersusun dalam rongga tubuhnya itu seperti jiwanya! la tekun melakukan sholat, dan mengakhiri segala sesuatu dengannya. la ruku' dan sujud sedemikian rupa, hingga karena amat lamanya, maka burung-burung gereja yang bertengger di atas bahunya atau punggungnya, menyangkanya dinding tembok atau kain yang tergantung.

Dan pernah peluru meriam batu lewat antara janggut dan dadanya sementara ia sholat, tetapi demi Allah, ia tidak peduli dan tidak goncang, tidak pula memutus bacaan atau mempercepat waktu rukuknya.

Berita-berita sebenarnya yang diceritakan orang tentang ibadat Ibnu Zubair, hampir merupakan dongeng. Maka di dalam shaum dan sholat, dalam menunaikan haji dan serta zakat, ketinggian cita serta kemuliaan diri dalam bertenggang di waktu malam - sepanjang hayatnya - untuk bersujud dan beribadat, dalam menahan lapar di waktu siang, - juga sepanjang usianya - untuk shaum dan jihadun nafs, dan dalam keimanannya yang teguh kepada Allah. Dalam semua itu ia adalah tokoh satu-satunya tak ada duanya.

Pada suatu kali Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu ditanyai orang mengenai Ibnu Zubair. Maka walaupun di antara kedua orang ini terdapat perselisihan paham, Ibnu Abbas berkata: "la adalah seorang pembaca Kitabullah, dan pengikut sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam, tekun beribadat kepada-Nya dan shaum di siang hari karena takut kepada-Nya.”

Seorang putera dari pembela Rasulullah SAW, dan ibunya ialah Asma puteri Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia juga sangat mencintai Khalifah Utsman bin Affan. Dalam pembelaannya kepada Utsman, ia berkata, "Demi Allah, aku tak sudi meminta bantuan dalam menghadapi musuhku kepada orang-orang yang membenci Utsman.”
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: