Hukum Nikah Beda Agama dalam Islam yang Wajib Diketahui Muslimah
Pernikahan beda agama kembali menjadi perbincangan di masyarakat, setelah beberapa waktu lalu viral seorang muslimah berhijab menikah dengan lelaki non-muslim di sebuah gereja. Sebenarnya bagaimana hukum nikah beda agama tersebut dalam Islam? Benarkah tidak sah dan termasuk zina?
Pimpinan Pondok Pesantren Al Bahjah Cirebon KH Yahya Zainul Maarif atau populer disapa Buya Yahya dalam salah satu tayangannya di kanal Youtube Al Bahjah TV ketika menjawab pertanyaan jamaah menjelaskannya sebagai berikut:
"Hukum pernikahan berbeda agama , jika pihak wanitanya muslimah tidak sah. Adapun pernikahan silang berbeda agama, jika seorang wanitanya adalah muslimah, maka mutlak kesepakatan ulama ijma' tidak sah," ujarnya.
Bahkan menurut Buya Yahya, hukum pernikahannya dikatakan tidak sah, bahkan dapat dikatakan zina, jika wanitanya seorang muslimah. "Menikah dengan siapapun dengan laki-laki yang tidak beragama islam. Di syariat tidak sah dan hukumnya adalah zina. Jika wanitanya muslimah dan laki-lakinya non-muslim,"katanya.
Namun, ada seseorang yang tidak mengetahui hal tersebut. Bahkan, terdapat seorang perempuan yang mengadu pada Buya Yahya. Perempuan tersebut telah terlanjur menikah dengan non-muslim. Buya Yahya mengatakan untuk tidak mencaci dan menasehati dengan halus.
"Cuma kita harus perhatikan keadaan. Ada yang mengadu pada kami, seorang wanita muslimah. Dia menikah dengan non-muslim, dia tidak mengerti. Tapi, tidak boleh kita caci berzina. Kita perlu menariknya dengan halus,"jelasnya.
Sementara itu, hukum seorang lelaki muslim yang menikah dengan wanita non-muslim pada Madzhab Imam Maliki dikatakan sah.
"Seorang lelaki muslim dan wanita non-muslim pernikahannya sah, namun wanita yang non-muslim harus memiliki asal usul agama Nasrani yang benar,"ujar Buya Yahya.
Sedangkan menurut Madzhab Imam Syafi'i tidak sah. Meskipun begitu, pada Madzhab Imam Maliki yang mengatakan sah terdapat pula ketentuan yang diperhatikan. "Namun, dalam imam Syafi'i tidak sah. Menurut mazhab Maliki, asalkan menisbatkan agamanya kepada Nasrani dan yahudi, maka pernikahannya sah,"tuturnya.
Selain itu, Buya menegaskan bahwa makna sah hanya dalam pernikahan, namun perlu diingat pula akan pertanggung jawaban nantinya.
"Makna sah ini hanya sah dalam pernikahan, namum, ada pertanggung jawaban di hadapan Allah,"jelasnya.
Perlu Dibedakan
Dalam pernikahan beda agama ini, perlu dibedakan antara pernikahan lelaki Muslim dengan wanita non-Muslim dan pernikahan wanita Muslimah dengan lelaki non-Muslim. Dikutip dari tulisan Ustadz Yulian Purnama seperti dilansir muslimah.or.id, berikut penjelasannya:
1. Wanita Muslimah tidak boleh menikahi lelaki non-Muslim
Seorang wanita Muslimah tidak boleh menikah dengan lelaki non Muslim, baik Yahudi, Nasrani ataupun selain mereka. Bahkan pernikahan tersebut tidak sah dalam pandangan syari’at. Dan jika melakukan hubungan intim teranggap sebagai zina, wal ‘iyyadzu billah.
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir” (QS. Mumtahanah: 10).
Allah Ta’ala juga berfirman:
لاَ هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Tidaklah mereka wanita mukminah halal bagi lelaki musyrik, dan lelaki musyrik halal bagi wanita mukminah” (QS. Al Mumtahanah: 10).
Dan ulama ijma (sepakat) akan hal ini, tidak ada khilafiyah. Al Qurthubi mengatakan:
وأجمعت الأمة على أن المشرك لا يطأ المؤمنة بوجه لما في ذلك من الغضاضة على الإسلام
“Ulama sepakat bahwa lelaki musyrik tidak boleh menikahi wanita mukminah karena ini termasuk merendahkan Islam” (Tafsir Al Qurthubi, 3/72).
2. Lelaki Muslim tidak boleh menikahi wanita non-Muslim selain ahlul kitab
Wanita yang non-Muslim selain ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), yaitu yang beragama Hindu, Budha, Konghucu, Majusi, atheis dan lainnya, tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Tidak boleh menikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman. Dan sungguh budak-budak wanita yang beriman lebih baik dari wanita musyrik walaupun mereka mengagumkan kalian” (QS. Al Baqarah: 221).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini: “Dalam ayat ini Allah azza wa jalla mengharamkan para lelaki Mukmin untuk menikahi wanita-wanita musyrik dari kalangan penyembah berhala. Walaupun bentuk kalimat dalam ayat ini umum, mencakup seluruh wanita musyrik baik ahlul kitab atau penyembah berhala, namun telah dikhususkan kebolehannya terhadap wanita ahlul kitab dalam ayat lain” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/474).
3. Lelaki Muslim boleh menikahi wanita ahlul kitab
Berbeda lagi dengan pernikahan lelaki Muslim dengan wanita ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani), maka ini sah dan dibolehkan. Allah Ta’ala berfirman:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
“(dan dihalalkan menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik” (QS. Al-Maidah : 5).
Namun tidak boleh sebaliknya, wanita Muslimah menikahi lelaki Yahudi atau Nasrani. Ini tidak diperbolehkan. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
“Para ulama tafsir dan ulama secara umum, berbeda pendapat dalam menafsirkan makna [wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu]. Apakah ini berlaku umum untuk semua wanita Ahlul Kitab yang menjaga kehormatan? Baik wanita merdeka atau budak wanita? Ibnu Jarir menukil dari sebagian salaf bahwa mereka menafsirkan muhshanat di sini adalah semua wanita Ahlul Kitab yang menjaga kehormatan. Sebagian salaf menafsirkan bahwa muhshanat di sini adalah Israiliyyat, dan ini adalah pendapat madzhab Syafi’i. Dan sebagian ulama yang lain berpendapat muhshanat di sini adalah Ahlul Kitab yang dzimmi bukan yang harbi” (Tafsir Al Qur’anil Azhim, juz 3 hal. 42).
Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Sebagian sahabat Nabi juga menikahi para wanita Nasrani, mereka tidak melarang hal tersebut. Mereka berdalil dengan ayat (yang artinya) : “(dan dihalalkan menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu” (QS. Al Maidah: 5). Dan mereka menganggap ayat ini adalah takh-shish (pengecualian) terhadap ayat dalam surat Al Baqarah (yang artinya) : “janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman” (QS. Al Baqarah: 221)” (Tafsir Al Qur’anil Azhim, juz 3 hal. 42).
Maka jelaslah tentang bolehnya lelaki Muslim untuk menikahi wanita Yahudi atau Nasrani. Terutama jika dengan menikahi mereka, dapat menjadi jalan hidayah agar mereka mentauhidkan Allah dan memeluk Islam.
Namun, tentu saja menikahi wanita Muslimah yang shalihah itu lebih utama secara umum. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa orang yang akan bahagia dan beruntung dalam pernikahannyaa adalah orang yang memilih wanita shalihah untuk menjadi istrinya. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمالِها ولِحَسَبِها وجَمالِها ولِدِينِها، فاظْفَرْ بذاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَداكَ
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari no.5090, Muslim no.1466).
Wallahu a’lam.
(wid)
Widaningsih
No comments:
Post a Comment