Hukum Transplantasi Organ Babi ke Tubuh Manusia

transplantasi organ babi

Baru-baru ini media ramai mewartakan kesuksesan transplantasi organ babi ke tubuh manusia. Sementara babi adalah hewan najis, maka tidak boleh memakainya kecuali jika benar-benar diperlukan. Bagaimana hukum transplantasi organ babi ke tubuh manusia?

SEORANG tenaga medis bertanya kepada Mufti Agung Mesir Dr. Nashr Farid Washil, mengenai hukum transplantasi organ babi ke tubuh manusia. Maka, Dr. Nashr Farid Washil selaku pemimpin Darul Ifta Al Al Mishriyah pada 14 Januari 1987 menerbitkan fatwa dengan nomor 14484. Berikut isi fatwa tersebut:

Pertanyaan:

Diabetes melitus timbul karena kekurangan insulin dari kelenjar di perut yang disebut pankreas. Seiring waktu, penyakit ini menyebabkan banyak komplikasi bagi pasien, termasuk gagal ginjal, gagal jantung, kelumpuhan, kebutaan, dan sirkulasi darah yang lemah ujung -ujung anggota badan, yang mengakibatkan gangren (matinya sebagian dari jaringan tubuh) yang memerlukan amputasi salah satu kedua kaki, dan sebagian besar komplikasi ini sulit dicegah dengan metode pengobatan saat ini.

Sejumlah penderita diabetes berisiko meninggal jika tidak diobati dengan suntikan insulin. Dalam upaya mengobati penyakit ini, dokter hanya mampu menggunakan insulin yang diekstrak dari pankreas babi, karena sangat mirip dengan zat yang dibentuk oleh pankreas manusia, tidak seperti zat yang diekstraksi dari pankreas sapi.

Penggunaan zat ini selama beberapa tahun telah berkontribusi untuk meringankan penderitaan penderita diabetes, tetapi cara ini tidak memenuhi kebutuhan tubuh secara akurat. Dan sedang berlangsung penelitian untuk melakukan transplantasi pankreas dari pihak yang baru meninggal dan transplantasi pankreas dengan mentransfer sel-sel khusus dari pankreas yang memproduksi insulin. Percobaan tersebut telah dilakukan pada hewan dan memberikan hasil yang memuaskan yang dipresentasikan pada konferensi ilmiah internasional, dan kami mengatakan bahwa kami saat ini dapat mulai menerapkan metode ini kepada sukarelawan penderita diabetes setelah menginformasikan kepada mereka rincian metode pengobatan baru ini. Dalam merode itu sel-sel yang mengkhususkan diri dalam mensekresi insulin akan diambil dari pankreas babi karena kesesuaiannya dengan spesifikasi khusus yang diperlukan. Mohon disampaikan mengenai legalitas praktik medis ini, yang dapat berkontribusi untuk meringankan penderitaan ribuan pasien di Mesir dan dunia dari sudut pandang agama Islam.

Jawaban: Pengobatan dengan Apa yang Diharamkan

Pengobatan dengan hal-hal yang diharamkan, termasuk bagian dari babi, para ahli fikih berbeda pendapat tentang hal itu. Beberapa dari mereka melarangnya, dan beberapa mengizinkannya jika diperlukan, dengan dua syarat:

Pertama: Pengobatan dengan hal-hal yang diharamkan harus dilakukan dengan sepengetahuan seorang dokter Muslim yang ahli dalam profesi medis, yang dikenal karena kejujuran, amanah, dan takwanya.

Kedua: bahwa tidak ada obat selain yang haram sehingga perlu untuk menempuh pengobatan dengar hal-hal yang diharamkan, dan maksud dari pengobatan dengan yang diharamkan tidak bertujuan agar bisa mengkonsumsi hal-hal yang diharamkan, serta tidak melebihi batas kebutuhan, karena dasar kebolehan ini adalah kedaruratan, dan para ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala:

[البقرة: 173] ﴿فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Artinya: “Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa, bukan karena keinginannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS: Al-Baqarah: 173).

Dan berdasarkan kaidah “kedaruratan diperkirakan menurut ukurannya,” dan kami berpendapat bahwa tidak larangan menurut syari`at untuk itu jika ada kebutuhan mendesak dan kebutuhan mutlak untuk itu. Karena masalah dalam kondisi ini termasuk dalam firman Allah Ta`ala:

[ الأنعام: 119] ﴿وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

Artinya: “Dan Dia telah menjelaskan kepadamu secara rinci apa yang diharamkan bagimu, kecuali jika kalian dalam keadaan terpaksa.” (QS: Al-An’am: 119).

Transplantasi Organ

Mengenai transplantasi organ tubuh, mayoritas ulama berpendapat bahwa diperbolehkan untuk mentransplantasi organ dari orang yang telah meninggal atau hewan ke tubuh orang hidup, jika transplantasi ini membawa manfaat bagi orang tersebut, serta tidak ada alternatif lain, sedangkan dokter yang kompeten yang melakukan itu. Hal itu karena dokter adalah penguasa situasi dalam kasus-kasus seperti itu, dan mereka bertanggung jawab penuh di hadapan Allah Ta`la dan di hadapan orang-orang yang berhak meminta pertanggungjawaban atas tindakan mereka, baik medis atau hukum atau lainnya.

Pendapat inilah yang kami pilih, tetapi kami katakan bahwa itu diperbolehkan berdasarkan kaidah fikih yang terkenal, yaitu: “Kerugian yang lebih parah dihilangkan dengan kerusakan yang lebih ringan,” dan kerusakan yang lebih parah di sini diwakili dalam kelangsungan hidup orang yang hidup yang menderita penyakit parah dan kematian secara meyakinkan (menurut medis), dan bahaya yang lebih ringan di sini adalah mengambil sesuatu dari bagian-bagian orang mati atau hewan hidup untuk mengobati manusia yang hidup.

Hukum tranplantasi organ babi ke tubuh manusia boleh jika…

Berdasarkan hal itu dan pada pokok pertanyaan, yaitu mengambil bagian tertentu dari kelenjar pankreas babi dan memindahkannya ke manusia yang hidup, kami katakan:

Pertama: Melakukan percobaan ini pada pasien jika hal itu menyebabkan kematian mereka, maka tidak diperbolehkan untuk melakukannya pada mereka. Karena kehidupan bukan milik mereka, namun ia milik Allah Ta’ala.

Kedua: Jika mungkin untuk mengambil sel-sel ini dari hewan murni – seperti sapi yang disebutkan dalam pertanyaan atau lainnya – maka itu lebih baik. Karena hewan najis seperti babi, maka tidak boleh memakainya kecuali jika benar-benar diperlukan dan tidak boleh jika ada hal halal yang dibolehkan.

Ketiga: Jika mengambilnya dari babi adalah kebutuhan yang mendesak, maka itu adalah suatu keharusan dan diperbolehkan untuk melakukannya. Karena mentransplantasikan organ dari hewan seperti babi ke dalam tubuh seorang Muslim dianggap sebagai suatu keharusan ketika tidak ada hal yang halal, maka prinsip dasarnya adalah bahwa hal itu tidak boleh dilakukan kecuali dalam kondisi darurat, dan darurat itu ada ketentuannya, dengan mempertimbangkan kaidah “apa yang diperbolehkan untuk kedaruratan diperkirakan menurut ukurannya,” dan bahwa dokter Muslim yang dapat dipercaya memutuskan bahwa seperti yang telah dijelaskan.

Namun, muncul pertanyaan, “Bagaimana diperbolehkan memasukkan bagian yang najis ke dalam tubuh seorang Muslim?” Maka kami katakan,” Yang diharamkan syariat adalah membawa najis secara lahiriah (di luar tubuh), tetapi di dalam tubuh tidak ada hujjah untuk mencegahnya. Karena bagian dalam tubuh adalah tempat najis seperti darah, air seni dan kotoran. Dan seseorang yang berdoa, membaca Al-Qur’an, dan bertawaf di Baitullah sedangkan najis itu ada di perutnya maka ia tidak menjadi penghalang. Hukum najis tidak ada hubungannya dengan apa yang ada di dalam tubuh. Wallahu `alam bish shawab.*


Rep: Thoriq

No comments: