Ibnu Arabi Berkisah Saat Ayahnya Wafat: Cukup Lama Kami Ragu untuk Menguburnya
Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi at-Ta'i atau lebih dikenal sebagai Ibnu Arabi adalah seorang sufi terkenal. Tokoh ini lahir tahun 1165 Masehi (560 Hijriah) dalam sebuah kota benteng bernama Mursia, di timur Andalusia.
Ibnu Arabi berasal dari suku Arab yang terkenal dengan keluhuran dan budi pekertinya. Kakeknya dari garis ayah adalah Hatim Ath-Thai: lambang kemurahan hati dan keksatriaan Arab sebelum Islam. Kedermawanan Hatim menyebabkan masyarakat mengira bahwa dia adalah orang paling kaya di tanah Arab. Padahal Hatim hanyalah pedagang kelas teri.
Ayah Ibn Arabi, Ali, bekerja sebagai pegawai pemerintahan dinasti Almuwahhidun. Hidupnya bersahaja dan suka bergaul dengan kalangan cendikiawan. Salah satu teman dekatnya adalah filosof besar Islam, Ibn Rusyd. Kelak dia mempertemukan anaknya, Ibn Arabi, dengan Ibn Rusyd, untuk bertukar pikiran. Banyak orang di sekitarnya menganggap Ali sebagai wali Allah. Ibn Arabi sendiri memandangnya sebagai pesuluk yang telah mencerap ‘Napas Sang Maha Pengasih’ (an-nafas Ar-Rahmany).
Dalam salah satu karyanya, Ibn Arabi menuturkan kisah kematian sang ayah:
“Salah satu ciri orang yang sampai maqam (mencerap ‘Napas Sang Maha Pengasih’) ini ialah di saat matinya dia ditetapkan sebagai orang hidup… Saya menyaksikannya dalam diri almarhum Ayahanda. Cukup lama kami ragu untuk menguburnya. Airmukanya begitu mirip dengan orang hidup, sekalipun jantung dan nafasnya telah berhenti layaknya orang mati…
Di hari kematiannya, dia memang sakit parah. Dia bangun dari pembaringannya tanpa dibantu dan berkata, ‘Anakku, hari ini adalah hari keberangkatan dan pertemuan.’
Aku menyahut, ‘Semoga Allah menetapkan keselamatan bagi perjalananmu ini.’ Dia sangat gembira dengan kata-kataku dan berkata, ‘Semoga Allah memberimu pahala!’
“Lalu seberkas cahaya berpendar di dahinya—kontras dengan warna pucat di sekujur tubuhnya. Ayah juga menangkap cahaya terang itu. Perlahan cahaya itu menyebar ke seluruh wajahnya dan menyelimuti sekujur tubuhnya.
Aku memeluknya dan berkata, ‘Aku akan pergi ke Masjid Agung (untuk mengaji dan berdoa). Aku akan di sana sampai aku dengar kabar kepergianmu.’
Dia menjawab, ‘Iya, pergilah ke sana dan jangan biarkan siapa pun menjengukku.’
Persis tengah hari, kabar kematiannya kudengar. Aku balik ke rumah dan menemukannya dalam keadaan yang membuat siapa saja bingung apakah dia masih hidup atau benar-benar sudah mati. Dalam keadaan seperti itulah kami menyemayamkannya.”
Jauh sebelum babak kematian itu, Ibn Arabi telah menyaksikan ketinggian rohani ayahnya. Sewaktu berumur 12 tahun, Ibn Arabi pernah terserang penyakit mematikan. Dia koma untuk waktu yang lama. Banyak orang mengira dia telah mati.
Dalam keadaan itu, Ibn Arabi melihat beberapa sosok berwajah seram yang mencoba mengganggunya. Tiba-tiba dia melihat sosok yang tampan, gagah dan berbau harum membelanya dan berhasil mengalahkan mereka semua. “Siapa kau?” tanya Ibn Arabi.
Sosok itu menjawab, “Aku adalah surah Ya Sin; aku adalah penjagamu!”
Sesaat kemudian Ibn Arabi tersadar dan melihat ayahnya yang duduk di samping kasurnya baru saja kelar membaca surah Ya Sin sambil bercucuran airmata.
mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment