Ibrahim bin Walid, 70 Malam Menjadi Khalifah Dinasti Umayyah

Ibrahim bin Walid, 70 Malam Menjadi Khalifah Dinasti Umayyah
Ibrahim bin Walid menjadi khalifah menggantikan Yazid III. Kekuasaannya hanya berumur 70 hari. (Foto/Ilustrasi: Ist)
Ibrahim bin Al-Walid ialah Khalifah Bani Umayyah yang memerintah dalam waktu singkat pada tahun 744 M. Ia turun tahta dan bersembunyi karena ketakutan terhadap lawan-lawan politiknya.

Ibrahim naik tahta menggantikan Yazid III. Imam Suyuthi menceritakan sebenarnya Yazid III menolak memberi wasiat untuk mengangkat Ibrahim sebagai penggantinya.

Kabarnya saat Yazid III pingsan menjelang wafatnya, Qathn menulis surat wasiat atas nama Yazid III yang berisikan pengangkatan Ibrahim sebagai khalifah. Jadi, ini semacam fait accompli.

Tapi kedudukan Ibrahim nyaris tidak diakui oleh sejarawan. Dalam buku The History of al-Tabari disebutkan, terjadi proses delegitimasi yang intens terhadap kedudukannya – hanya seminggu menjabat sebagai khalifah, kekuasaannya menyusut menjadi hanya sekadar Amir, dan hanya seminggu kemudian, iapun seakan hilang dari orbit kekuasaan, bukan khalifah, bukan pula seorang Amir.

Menurut Abu Hashim Mukhallad bin Muhammad, masa pemerintahan Ibrahim bin Walid hanya berlangsung 70 malam. Ini agak lebih lama dari durasi kekuasaan Muawiyah bin Yazid (Muawiyah II) yang hanya menjabat 40 hari saja.

Ketika mendapuk dirinya sebagai khalifah, banyak pihak yang enggan memberi bai’at kepada Ibrahim bin Walid.

Marwan bin Muhammad – gubernur Armenia dan sosok yang sangat mencintai Walid II – begitu mendengar kabar tentang kematian Yazid III, langsung bergerak bersama 80.000 pasukannya menuju Damaskus.

Ketika memasuki wilayah Hims, Marwan melihat ada yang janggal dengan situasi di sana. Ternyata sebelumnya sudah datang Sulaiman bin Hisham yang diutus oleh Ibrahim untuk mengambil baiat dari masyarakat Hims, tapi masyarakatnya menolak. Sehingga Sulaiman bin Hisham mengepung wilayah ini dengan 120.000 pasukan.

Begitu pasukan Marwan bin Muhammad tiba, maka pertempuran tidak bisa dihindari. Hasil akhirnya, Sulaiman kalah telak dan kehilangan lebih dari 17.000 prajuritnya. Ia lari ke Damaskus dan lebih memilih bertahan di sana.

Setelah pasukan Sulaiman pergi, masyarakat Hims langsung berbai’at pada Marwan bin Muhammad. Namun Marwan mengatakan bahwa ia datang untuk memenuhi amanat Walid II, yang telah mewasiatkan kekuasaan pada kedua putranya, Utsman dan Hakam yang ketika itu sedang ditahan oleh Ibrahim. Dengan demikian, bai’at masyarakat ditujukan untuk Hakam dan Utsman.

Di Damaskus, begitu mendengar kabar tentang kedatangan Marwan bin Muhammad, Ibrahim panik. Ia lalu membunuh kedua putra Walid II yang masih kecil.

Akbar Shah Najeebabadi dalam bukunya berjudul "The History Of Islam" mengatakan bala tentara Ibrahim sebenarnya banyak, tapi kesetiaannya begitu rendah.

Dengan mudah Marwan memasuki kota Damaskus layaknya seorang penakluk. Ibrahim dan Sulaiman pun lari meninggalkan kota bersembunyi ke Tadmur, sebuah kota tua di Selatan Syiria. Di kemudian hari, Ibrahim memberikan baiatnya pada Marwan dan ia diampuni.

Begitu memasuki Istana Damaskus, hal pertama yang dicari Marwan adalah Hakam dan Utsman, putra-putra Walid II, yang ternyata telah tewas dibunuh.

Menurut Tabari, adalah Abu Muhammad al-Sufyani sosok yang pertama kali mengusulkan Marwan diangkat sebagai khalifah terakhir Bani Umayyah.

Dikisahkan, bahwa Abu Muhammad dibawa ke hadapan Marwan dalam keadaan terikat, lalu ia secara tiba-tiba menunduk dan berbaiat pada Marwan bin Muhammad.

Melihat kejanggalan ini, Marwan kebingungan dan bertanya alasannya melakukan hal tersebut. Meski ia salah satu sosok paling berpengaruh pada masa itu, tapi menjadi khalifah bukanlah sesuatu yang dibayangkan oleh Marwan.

Ia hanya datang ke Damaskus demi hak orang yang dicintainya, Walid II, dan putra-putranya yang merupakan keponakan kesayangannya yang sekarang semuanya sudah tiada.

Abu Muhammad lantas menyampaikan padanya bahwa pesan terakhir putra Walid II, Hakam ingin Marwan yang menggantikan dirinya menjabat sebagai khalifah.

Abu Muhammad lantas mengulurkan sebuah puisi yang ditulis oleh Hakam di dalam penjara, yang hal tersebut menyiratkan amanat pada Marwan untuk menjabat sebagai khalifah.

Dengan perasaan yang bercampur aduk, akhirnya Marwan menerimanya. Ia dilantik sebagai khalifah pada akhir tahun 126 H, dan lebih dikenal dengan sebutan Marwan II, untuk membedakannya dari kakeknya, Marwan bin Hakam.

Kembali ke Ibrahim bin Al-Walid, pada masa pemerintahan pendek itu telah dilakukan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini mengakibatkan lahirnya golongan Mutakalimin, seperti Mu'tazilah, Jabariah, Ahlus Sunnah, dan sebagainya. Ibrahim wafat pada 25 Januari 750 M.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: