Inisiatif Dialog-Agama dari Kazakhstan
Kongres Keagamaan akan terus memainkan peran penghubung dalam dialog antaragama di masa depan.
HASANUL RIZQA
Sebagai negara dengan luas daratan 2,7 juta kilometer persegi, Kazakhstan memiliki jumlah penduduk yang “sedikit". Populasi negara di Asia Tengah itu mencapai 19 juta jiwa pada 2021. Dengan demikian, tingkat kepadatan di sana hanya tujuh orang per kilometer persegi.
Sejak lepas dari Uni Soviet pada 1991, Kazakhstan terus berdinamika. Secara politik, negara yang beribu kota di Nur-Sultan itu sempat mengalami stabilitas yang panjang selama tiga dekade dipimpin Nursultan Nazarbayev. Tokoh kelahiran tahun 1940 itu mengundurkan diri pada 2019 lalu meskipun hingga kini pengaruhnya masih terasa di tengah rakyat setempat.
Secara ekonomi, Kazakhstan cenderung mengandalkan kekayaan alamnya, terutama tambang emas dan minyak bumi. Selama bertahun-tahun, negara itu menikmati keuntungan dari naiknya harga minyak di pasaran dunia.
Namun, pada awal Januari 2022 kerusuhan sempat pecah di sejumlah kota Kazakhstan. Dalam berbagai aksi unjuk rasa pada masa itu umumnya massa memprotes kenaikan harga gas serta respons lamban pemerintah dalam mengatasi krisis.
Secara demografis, negeri yang beriklim sejuk itu dihuni mayoritas suku bangsa Kazakhs (68 persen), Russia (19 persen), dan Uzbek (tiga persen). Kebanyakan warga setempat memeluk Islam. Sebanyak 72 persen dari keseluruhan orang Kazakhstan merupakan Muslim.
Syiar Islam pertama kali memasuki wilayah Kazakhstan pada abad kedelapan, yakni kira-kira era Dinasti Umayyah hingga Abbasiyah. Ajaran tauhid tampaknya relatif mudah diterima berbagai etnik setempat yang kala itu masih hidup secara nomaden. Bahkan, sejarah mencatat pelbagai dinasti Islam memiliki leluhur yang berasal dari kawasan tersebut.
Memasuki abad ke-20, Kazakhstan jatuh ke dalam kendali Uni Soviet. Moskow selama kira-kira tujuh dekade memberlakukan kebijakan yang pro-komunisme di sana, termasuk metode-metode sosial antiagama. Rezim “merah” mengalami perpecahan jelang abad ke-21. Pada Desember 1991, Kazakhstan merdeka dan berdaulat penuh.
Walaupun mayoritas rakyatnya adalah Muslim, negara tersebut tidak otomatis menjadikan agama sebagai hukum-formal tertinggi. Konstitusi Kazakhstan 1995 memaklumkan negara ini sebagai republik demokrasi yang berdasarkan pada ideologi sekularisme.
Islam memang tidak mendapatkan tempat secara konstitusional di sana. Namun, pada faktanya perkembangan agama ini sangat pesat. Sebagai contoh, jumlah masjid yang merosot selama Kazakhstan menjadi bagian dari Uni Soviet kembali melonjak. Bahkan, pada 2010 tidak kurang dari 2.300 unit masjid di negara terbesar se-Asia Tengah itu.
Otoritas-pusat berupaya mengakomodasi kehidupan beragama. Khususnya bagi kaum Muslimin, dibentuklah Badan Mufti Kazakhstan. Di antara tugas dan fungsinya ialah menjamin tumbuhnya pemahaman keagamaan yang moderat. Dalam hal ini, negara bekerja sama dengan tokoh-tokoh umat Islam, terutama di bidang pendidikan dan kontra-ekstremisme.
Dialog kemajemukan
Kazakhstan terus berupaya meningkatkan peran dalam menjembatani dialog antarumat beragama. Sekretaris II Kedutaan Besar Republik Kazakhstan untuk RI, Bauyrzhan Zhaparov, mengatakan, negaranya sejak belasan tahun silam turut membuka ruang-ruang dialog yang merangkul tidak hanya unsur-unsur dalam, tetapi juga luar negeri.
Salah satu ruang itu ialah Kongres Keagamaan. Bermula pada September 2003, tutur Zhaparov, forum tersebut diselenggarakan dengan semangat untuk merawat kemajemukan dan perdamaian global.
“Acara ini merupakan bagian organik dan integral dari model pengembangan Kazakhstan. Fitur Kongres (Keagamaan) juga fakta bahwa tidak hanya pemimpin agama, tetapi juga politisi berkumpul di meja yang sama,” ujar dia kepada Republika beberapa waktu lalu.
Secara historis, gagasan awalnya acara tersebut ialah Konferensi Perdamaian dan Harmoni Internasional pada 13 Februari 2003 di Kazakhstan. Beberapa bulan kemudian, Kongres Keagamaan pun digelar sebagai langkah pertama untuk mempertemukan para pemimpin agama-agama dunia.
Hingga 2018, acara rutin tahunan itu telah digelar untuk keenam kalinya. Indonesia juga mengirimkan utusannya. Bahkan, pada Kongres Keagamaan V pada 10-11 Juni 2015 di Astana, Kazakhstan, RI didaulat menjadi tamu istimewa.
Kongres Keagamaan VII akan digelat pada 14-15 September 2022 mendatang di Nur-Sultan. Menurut Zhaparov, topik yang akan diangkat dalam momen itu ialah “Peran Pemimpin Dunia dan Agama Tradisional Dalam Perkembangan Sosial-spiritual Umat Manusia Pasca-pandemi".
“Kami yakin, Kongres (Keagamaan) akan terus memainkan peran penghubung dalam dialog antaragama di masa depan,” katanya menegaskan.
Kami yakin, Kongres (Keagamaan) akan terus memainkan peran penghubung dalam dialog antaragama di masa depan.Bagi Kazakhstan, peran sebagai tuan rumah sebuah forum dunia adalah sebuah kehormatan. Di samping itu, hal tersebut menandakan kuatnya kerukunan dan toleransi masyarakat serta pemerintah setempat. Dalam hal ini, Zhaparov mengatakan, negerinya belajar banyak dari Indonesia.
Seperti diketahui, RI merupakan negara mayoritas Muslim terbesar sedunia. Fakta itu tidak otomatis menjadikannya sebuah negara agama, melainkan negara demokratis yang berasaskan pada Pancasila. Ia mengaku kagum dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika". Frasa yang tercantum pada lambang negara itu berarti “Berbeda-beda, tetapi satu jua".
“Saya berharap, persahabatan Kazakhstan dan Indonesia akan terus erat dan selalu hangat. Kami belajar banyak dari Indonesia,” ucapnya.ROl
No comments:
Post a Comment