Ismail Pasha; Potret Pemimpin Suka Utang dan Tergantung pada Negara Asing

 

Ismail Pasha; Potret Pemimpin Suka Utang dan Tergantung pada Negara Asing

Gara-gara terlibat utang asing, lembaga buatan Eropa –termasuk Inggris dan Prancis– akhirnya ikut campur pada segala urusan negara Mesir, yang akhirnya membuat Ismail Pasha diberhentikan

 APA jadinya jika pemimpin ketergantungan pada utang? Apalagi jika utang-utang itu adalah dari bantuan negara asing yang mengeksploitasinya?

Tulisan ini akan mengangkat sosok cukup terkenal dalam sejarah Republik Mesir yaitu Ismail Pasha (1830-1895). Ia merupakan anak dari Ibrahim Pasha (seorang pahlawan dan panglima pemberani) dan masih ada hubungan kekeluargaan dengan Said Pasha, pejabat istana yang berusaha mengembalikan Sultan Murad V (Sultan Turki Utsmani yang memerintah dari 30 Mei hingga 31 Agustus 1876) ke tampuk kekuasaan menggantikan Sultan Abd-ul-Hamid II.

Bagi yang ingin mengenal lebih jauh sosok beliau bisa dibaca dalam buku Tārīkh Mishr fī ‘Ahdi al-Khudaiwi Ismā’il Bāsyā (Ilyas Al-Ayyubi: 2013) Al-Khudaiwi atau Khedive (Gubernur) Ismail Pasha ini memimpin Mesir pada tahun 1867 sampai 1879. Pada masanya terjadi masalah serius dalam masalah keuangan. Ia diberhentikan dari kekuasaanya pada tahun 1879.

Dalam buku al-Mausū’ah al-Muyassarah fī at-Tārīkh al-Islāmy (II, 2007: 275, 276) diceritakan cukup lugas bagaimana kondisi Mesir pada masa kepemimpinannya. Waktu itu banyak terjadi penyimpangan yang begitu besar, urusan-urusan agama begitu diremehkan, membebek pada Barat dan yang tak kalah memilukan adalah utang negara menumpuk.

Sebelum lebih jauh membahas masalah ini, perlu diapresiasi terlebih dahulu bahwa pada masa kepemimpinan Ismail Pasha cukup besar andilnya dalam perluasan wilayah Mesir (Seperti: penggabungan wilayah Ethiopia, Somalia dan lain sebagainya). Pada eranya, lembah sungai Nil (dari sumbernya danau Victoria bisa disambungkan ke muaranya di laut Tegah) bisa disambungkan ke Mesir.

Di samping itu pencapaian lain dalam bidang politik dan kebudayaan cukup bisa diapresiasi. Banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi dibangun pada masanya baik di Mesir maupun Sudan.

Di antara fokusnya yang lain adalah membangun infrastruktur kota seperti rumah sakit dan lain-lain. Adapun masalah politik, dia membuat sistem yang akan menempatkan keluarganya dalam lingkar kekuasaannya di tingkat tinggi negara. Dengan sistem ini, ia tidak mau keluarga Muhammad Ali menjadi bagian kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan.

Sisi positif lainnya pada masa beliau adalah sistem pembatasan jumlah pasukan dihapus sehingga Mesir kala itu bisa menambah pasukan. Yang tak kalah penting, sistem kerja paksa juga dihapuskan.

Tidak seperti pada masa Sa’id sebelumnya, yang menerapkan kerja paksa pada rakyatnya saat membangun proyek pembukaan Terusan Suez tanpa gaji.

Adapun sisi negatifnya bisa diringkas dalam poin-poin berikut yang terkait dengan judul dalam tulisan, yaitu: pemborosan keuangan negara dan penumpukan utang. Sebagai contoh, untuk membangun Terusan Suez, harus mengeluarkan jutaan pound. Hal ini tentu disambut oleh raja-raja Eropa. Di antara bangunan lain yang menjadi perhatiannya: gedung opera, istana-istana dan taman-taman mewah.

Penjajahan Inggris dan Prancis

Dalam buku berjudul Mūjāzu Tārikh Mishr min al-‘Ashri al-Fir’auni ilā al-‘Ashri al-Jumhū (Muhammad ‘Armus, 421) dijelaskan bahwa Ismail ingin terlihat modern di hadapan raja-raja Eropa. Untuk mencapai target, ia rela berhutang ke bank-bank ribawi Eropa.

Mereka rela diakali Eropa demi tujuan sempit atas nama modernitas. Pada masanya, Ismail memang mulai membebek Barat dalam hal kebiasaan, etika, mode dan berbagai sisinya meskipun dia sebagai penguasa Muslim dan memimpin rakyat yang mayoritasnya Islam.

Di dalam buku ini juga dijelaskan bahwa dia merupakan orang yang pertama kali membuat patung pahlawan yang dipajang di jalan. Contohnya seperti patung ayahnya: Ibrahim Pasha.

Utang-utang tersebut tentunya dengan bunga yang sangat tinggi. Mirisnya, pada masanya saham Terusan Suez sampai dijual ke Inggris.

Pada tahun 1875, dalam keputusasaan, dia menjual satu investasinya yang tersisa, sekitar 44 persen sahamnya di Perusahaan Terusan Suez, kepada perdana menteri Inggris Disraeli seharga £4 juta.

Seiring dengan utang yang terus bertambah, Prancis dan Inggris membentuk Caisse de la Dette (Komisi Hutang Publik) pada tahun 1876 untuk memastikan pembayaran hutang Mesir. Ismail dipaksa untuk menyerahkan tahta kepada anaknya Tawfik, seorang pemimpinyang lemah dan mudah dipengaruhi, pada tahun 1879.

Akibatnya, Inggris memiliki kekuasaan lumayan besar di Mesir. Sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan bagi rakyat Mesir kala itu. Tak hanya itu, negara-negara Eropa lain yang sebelumnya menjadi donor utang Mesir masa Ismail, mulai menagih utang.

Dampak buruknya, lembaga buatan Eropa ini akhirnya ikut campur pada segala urusan negara Mesir. Sampai masalah penunjukan dan pemecatan menteri pun mereka juga turut andil hingga membuka jalan bagi pendudukan Inggris 3 tahun.

Akibat hasutan negara-negara Eropa yang merasa tersaingi atas penaklukan Ismail terhadap negara-negara Afrika, akhirnya mereka menghasut Khalifah Utsmani untuk memecatnya. Ismail pun diberhentikan Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1879, sebuah akhir yang cukup miris bagi penguasa yang suka utang da tergantung pada negara-negara asing.

Dalam Islam, utang pada asalnya dibolehkan jika memang butuh. Nabi sendiri juga pernah berhutang, demikian juga para sahabatnya, tapi itu dilakukan karena butuh.

Bahkan, ketika Nabi Muhammad wafat, baju perangnya tergadai dan belum bisa ditebus. Itu dalam kondisi yang memang butuh atau karena membantu orang lain.

Lain halnya jika hanya untuk gaya hidup atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak begitu diperlukan dan bukan pokok. Apalagi, kalau harus berhutang dengan jalan riba, maka kondisi seperti ini bukan menambah hidup lebih baik tapi malah sedih karena terlilit.

Tidak berlebihan jika suatu hari Umar bin Khattab pernah mengingatkan:

إِيَّاكُمْ وَالدَّيْنَ؛ فَإِنَّ أَوَّلَهُ هَمٌّ، وَآخِرَهُ حَرْبٌ

“Jauhilah oleh kalian hutang! Karena, sesungguhnya ia pada awalnya adalah resah (keluh kesah) dan akhirnya adalah perang.”

Senada dengan hal ini, sebelumnya Nabi pernah bersabda, sebagaimana riwayat Al-Qudha’i:

إِيَّاكُمْ وَالدَّيْنَ، فَإِنَّهُ هَمٌّ بِاللَّيْلِ وَمَذَلَّةٌ بِالنَّهَارِ

“Jauhilah hutang! Karena utang itu (membuat) keluh kesah di malam hari, dan (membuat) hina pada siang hari.”

Memang benar adanya. Faktanya, orang yang berhutang, apalagi sampai banyak dan melilit, hidupnya tidak bisa tenang.

Malamnya tidak bisa tidur, siang malas ke luar rumah dan merasa malu karena takut ditagih hutangnya. Apalagi kalau minjam ke orang yang meribakan uang. Hidupnya serasa semakin sempit saja.Bayangkan jika yang berhutang adalah selevel penguasa negara dan pemerintah.

Ditambah lagi pinjamannya dengan bunga riba yang begitu tinggi. Maka nasib yang sama akan dialami sebagaimana Ismail Pasha yang tergantung pada donor utang negara Barat.

Impiannya untuk tampil modern seperti tradisi Eropa, harus dibayar tinggi: tidak memiliki kendali penuh pada negara dan menghancurkan keuangannya. Kalau dilihat dari sejarah Daulah Utsmaniyah, di akhir-akhir kejatuhannya juga terlilit utang, sehingga berdampak buruk pada tatanan negaranya.

Dari kisah Ismail Pasha banyak pelajaran berharga. Pemimpin memang ada kurang dan lebihnya.

Orang bijak akan mengapresiasi kelebihan dan tak meniru kekurangannya. Kekurangan yang tidak perlu dicontoh dalam kasus ini, atas nama ambisi untuk terlihat seperti negara Barat, akhirnya harus berutang ribawi dengan bunga sangat tinggi, akibatnya negara asing memanfaatkannya dan mengruk manfaat dari kelalaiannya itu. Kalau kebijakan sudah skala negara, nanti yang turut menderita pada akhirnya rakyat juga.*/Mahmud B Setiawan

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: