Jejak Khalifah
Dengan menelaah sejarah para khalifah, ada banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik.
Semasa hidupnya, Nabi Muhammad SAW berjuang untuk menyebarkan risalah Islam. Terutama sejak hijrah ke Madinah al-Munawwarah, Rasulullah SAW berperan sebagai pemimpin agama sekaligus pemerintahan.
Rakyat kota tersebut mengangkatnya sebagai penguasa berdasarkan Perjanjian Aqabah I dan II serta Piagam Madinah. Dokumen yang tersebut akhir itu bahkan diakui luas para sejarawan modern sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia.
Nabi SAW berpulang ke rahmatullah dalam usia 63 tahun. Dengan wafatnya beliau, umat Islam sempat dilanda sedikit gesekan, yakni antara kaum Muhajirin dan Anshar, dalam perdebatan di Saqifah Bani Sa’idah. Forum itu mempersoalkan, siapa yang akan menjadi pemimpin sesudah Rasulullah SAW.
Satu persoalan ialah, Nabi SAW sebelumnya tidak menunjuk dengan gamblang siapa pun di antara para sahabat untuk menjadi penerusnya dalam memimpin umat. Di balai pertemuan milik Bani Sa’idah itu, golongan Anshar menghendaki Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin.
Keinginan mereka kemudian direspons Umar bin Khattab sehingga terjadilah selisih pendapat. Pada akhirnya, jalan tengah muncul setelah al-Faruq mengusulkan nama Abu Bakar. Maka luluhlah hati kelompok Anshar. Mereka rela berbaiat kepada sahabat senior yang bergelar ash-Shiddiq itu.
Pada akhirnya, jalan tengah muncul setelah al-Faruq mengusulkan nama Abu Bakar. Maka luluhlah hati kelompok Anshar.
Momen itu menjadi awal dari rangkaian panjang bangun dan jatuhnya daulah-daulah Islam di sepanjang sejarah. Buku karya Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, merangkum para tokoh yang turut menggerakkan dinasti-dinasti Islam.
Kitab yang diterbitkan Pustaka al-Kautsar itu tidak hanya membicarakan suksesi kepemimpinan pasca-Nabi SAW, yakni empat sahabat utama. Dengan begitu runtut dan bernas, buku setebal 405 halaman itu juga mengulas biografi para penguasa Muslim yang pernah mengukir sejarah.
Ada empat kekhalifahan yang dibahas di sini, yaitu Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Secara ringkas dan padat, Andi Bastoni menuturkan profil setiap pemimpin dari masing-masing era.
Sebagai contoh, penjelasannya tentang sosok Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Keempat sahabat itu merupakan penguasa pada masa sesudah wafatnya Nabi SAW.
Dalam menjelaskan karakteristik para pemimpin dalam era Umayyah dan Abbasiyah, penulis kitab ini membedakannya ke dalam dua bagian. Hal itu berdasarkan pusat kekuasaan dari masing-masing era. Misalnya, Kekhalifahan Umayyah dibaginya ke dalam zaman pada saat ibu kota masih di Damaskus dan ketika bertahan di Kordoba, Andalusia (Spanyol).
Begitu pula dengan penuturan tentang Abbasiyah. Kekhalifahan itu tidak hanya berpusat di Baghdad. Ada masanya, para khalifah memerintah dari Mesir, khususnya setelah Kota Seribu Satu Malam itu luluh lantak diserbu pasukan Mongol pada 1258.
Ada kira-kira seratusan tokoh pemimpin Islam yang diulas dalam Sejarah Para Khalifah. Beberapa di antaranya merupakan nama-nama yang cukup familiar bagi publik masa kini. Sebut saja, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah, Harun al-Rasyid dari Abbasiyah, atau Sultan Abdul Hamid II yang merupakan pemimpin Utsmaniyah pada abad ke-20.
Dengan apik, Andi Bastoni menceritakan nyaris semua pemimpin dalam masing-masing dinasti tersebut. Alhasil, pembaca dapat mengenal lebih dekat karakteristik dan perjalanan kehidupan mereka.
Dengan menelaah sejarah para khalifah, ada banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik, khususnya mengenai tata cara bernegara dan berpolitik.Dalam kalam pembuka, penulis mengatakan pentingnya generasi Muslimin masa kini untuk mendaras biografi para pemimpin dari masa lalu. Menurut dia, dengan menelaah sejarah para khalifah, ada banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik, khususnya mengenai tata cara bernegara dan berpolitik.
Berbeda dengan fenomena yang marak dijumpai saat ini, percaturan politik pada masa kejayaan Islam tidak melulu buruk. Beberapa kali sejarah menyaksikan munculnya para pemimpin Muslim yang lebih suka menyibukkan diri dalam kebangkitan peradaban, alih-alih strategi mempertahankan kekuasaan. Mereka juga gigih dalam menegakkan syariat di muka bumi.
Menukil pendapat Philip K Hitti dalam karya monumental, History of the Arabs, peradaban Islam mencapai kegemilangan pada masa Sultan Harun al-Rasyid. Ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah saat itu, Baghdad, benar-benar menjadi permata dunia.
Pada masanya, itulah kota dengan nuansa kosmopolitan. Berduyun-duyun kaum terpelajar datang ke sana untuk saling belajar, mengadakan riset, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Aktivitas mereka sepenuhnya didukung penguasa, baik secara regulasi, pendanaan, maupun keamanan.
Sebaliknya, peradaban Eropa Barat mengalami stagnan pada masa itu. Andi Bastoni menceritakan, pada suatu ketika Harun al-Rasyid mengirimkan dutanya ke hadapan raja Frank (Prancis), Charlemagne.
Utusan Abbasiyah tersebut lalu menyerahkan hadiah jam kepada penguasa yang beragama Kristen itu. Rupanya, sang raja tidak tahu mekanisme kerja benda tersebut yang berdenting setiap satu jam. Charlemagne sampai-sampai mengira bahwa di dalam instrumen tersebut ada jin.
Charlemagne sampai-sampai mengira bahwa di dalam instrumen tersebut ada jin.Ada sisi terang, ada pula gelap. Terbit dan tenggelamnya dinasti-dinasti Islam menyisakan noktah sejarah. Sebagai misal, ada politik kedendaman yang dipraktikkan beberapa penguasa terhadap lawan politiknya. Sebut saja, kejadian yang dialami penguasa terakhir Umayyah yang tidak berhasil mengatasi Revolusi Abbasiyah.
Para pendukung revolusi tersebut, begitu berhasil menguasai Damaskus, langsung melakukan perburuan. Para keturunan ataupun bangsawan Umayyah menjadi target. Banyak di antaranya yang mati dibantai. Tidak sedikit pula yang disiksa.
Ajaibnya, ada satu tokoh Umayyah yang kemudian berhasil menyelamatkan diri. Dialah Abdurrahman ad-Dakhil. Dari Syam, putra Muawiyah bin Hisyam itu bertolak ke Mesir, lalu Afrika Utara, begitu mendengar kabar kemenangan para simpatisan Abbasiyah. Dari Maghribi (Maroko), ia menyeberangi selat sehingga sampai di Andalusia.
Dalam buku ini, Andi Bastoni menggelari Abdurrahman ad-Dakhil sebagai “Pembuka Andalusia". Sebab, pemimpin yang masih muda tatkala berlabuh di Spanyol itu sukses mengubah wajah Islam di Semenanjung Iberia menjadi lebih maju dan beradab. Sebelum kedatangannya, Andalusia marak diwarnai perselisihan antartokoh politik. Alhasil, kesejahteraan rakyat menjadi terabaikan.
Bastoni menulis, “Pada zamannya (Abdurrahman ad-Dakhil) pula, Andalusia mencapai pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi, dan perkembangan peradaban yang sangat pesat. Tampaknya dia telah menyiapkan hal itu dalam masa yang cukup lama. Suatu kemajuan yang belum pernah dicapai oleh Spanyol sebelum itu.”
Pada zamannya, Andalusia mencapai pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi, dan perkembangan peradaban yang sangat pesat.Selama 32 tahun berkuasa, Kordoba diubahnya menjadi negeri yang makmur. Visinya memang menyaingi pamor Abbasiyah sebagai mercusuar peradaban. Maka dunia Islam pada masa itu memiliki sekurang-kurangnya dua permata, yakni Baghdad di timur dan Kordoba di barat.
Kordoba dikenal sebagai Permata Dunia. Tiga tahun sebelum ad-Dakhil meninggal dunia, pelbagai bangunan penting direnovasi. Termasuk di antaranya adalah Masjid Kordoba.
Atapnya disangga tiang-tiang besar yang jumlahnya 1.293 buah. Kompleks tempat ibadah itu bagaikan istana nan megah. Hingga kini, masjid tersebut masih menjadi destinasi wisata yang paling banyak dikunjungi setelah Istana al-Hamra di Spanyol.
Dengan membaca Sejarah Para Khalifah, kita diingatkan kembali tentang peristiwa-peristiwa krusial yang mengubah kondisi umat Islam. Misalnya, kejatuhan Ustmaniyah pada abad ke-20. Untuk memahami bagaimana hal itu bisa terjadi, biografi tentang para sultan Turki sejak Mahmud II hingga Abdul Majid II dapat dipelajari.
Pada akhirnya, buku ini dapat menjadi pilihan, khususnya bagi para penggemar dan pembelajar ilmu sejarah. Di dalamnya, penulis merangkum tokoh-tokoh politik yang berpengaruh dalam memimpin daulah-daulah Islam. Ada yang memerintah pada masa kejayaan. Tidak sedikit pula yang bertahan dalam situasi penuh krisis dan kegentingan.
Dengan merenungi masa lalu, harapannya kaum Muslimin tidak salah melangkah di masa kini dan mendatang. Salah satu ibrah dari buku ini, barangkali, ialah bahwa kekuasaan hanyalah alat, bukan tujuan itu sendiri. Alat untuk mewujudkan tujuan yang lebih luhur: ridha Allah SWT.
Barangsiapa yang menyangka sebaliknya, maka ia akan terjebak pada sengkarut kepentingan serta lalai dalam menunaikan tugas utama Muslim: menebar rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin).
DATA BUKU
Judul: Sejarah Para Khalifah
Penulis: Hepi Andi Bastoni
Penerbit: Pustaka al-Kautsar
Tebal: 405 halaman
No comments:
Post a Comment