Kisah Abu Ayyub dan Istrinya Tinggal di Lantai 2 Sedangkan Rasulullah SAW di Bawahnya
Tatkala Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beliau tinggal di rumah Abu Ayyub al-Anshari selama 7 bulan. Kala itu, Rasulullah tinggal di lantai 1, sedangkan Abu Ayyub dan istrinya di lantai 2. Kondisi ini membuat Abu Ayyub serbasalah.
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya yang telah dialihbahasakan Mahyuddin Syaf dkk dengan judul "Karakteristik Perihidup 60 sahabat Rasulullah" memaparkan setibanya Rasulullah di Madinah, beliau disambut dengan hati terbuka oleh seluruh penduduk setempat.
Beliau disanjung dengan kemuliaan yang belum pernah diterima seorang tamu atau utusan manapun. Seluruh mata tertuju kepada beliau. Mereka membuka hati lebar-lebar untuk menerima kasih sayang Rasulullah.
Mereka buka pula pintu rumah masing-masing, supaya kekasih mulia yang dirindukan itu sudi bertempat tinggal di rumah mereka.
Para pemimpin Yatsrib berdiri sepanjang jalan yang akan dilalui beliau untuk kedatangannya. Masing-masing berebut meminta Rasulullah tinggal di rumahnya. Mereka menghadang dan memegang tali unta beliau untuk membawanya ke rumah mereka.
“Ya, Rasulullah! Sudilah Anda tinggal di rumah saya selama Anda menghendaki. Akomodasi dan keamanan Anda terjamin sepenuhnya,” kata mereka berharap.
Jawab Rasulullah, “Biàrkanlah unta itu berjalan ke mana dia mau, karena dia sudah mendapat perintah.”
Unta Rasulullah terus berjalan diikuti semua mata, dan diharap-harapkan seluruh hati. Bila untuk melewati sebuah rumah, terdengar keluhan putus asa pemiliknya, karena apa yang diangan-angankannya ternyata hampa.
Unta terus berjalan melenggang seenaknya. Orang banyak mengiringi di belakang. Mereka ingin tahu siapa yang beruntung rumahnya ditempati tamu dan kekasih yang mulia ini. Sampai di sebuah lapangan, yaitu di halaman depan rumah Abu Ayyub Al-Anshary unta itu berlutut.
Rasulullah tidak segera turun dan punggung unta. Unta itu disuruhnya berdiri dan berjalan kembali. Tetapi setelah berkeliling-keliling, untuk berlutut kembali di tempat semula.
Abu Ayyub mengucapkan takbir karena sangat gembira. Dia segera mendekati Rasulullah dan melapangkan jalan bagi beliau. Diangkatnya barang-barang beliau dengan kedua tangannya, bagaikan mengangkat seluruh perbendaharaan dunia. Lalu dibawanya ke rumahnya.
Rumah Abu Ayyub bertingkat. Bagian atas dikosongkan dan dibersihkannya untuk tempat tinggal Rasulullah. Tetapi Rasuluulah lebih suka tinggal di bawah. Abu Ayyub menurut saja di mana beliau senang.
Setelah malam tiba, Rasulullah masuk ke kamar tidur. Abu Ayyub dan isterinya naik ke lantai atas. Ketika suami isteri itu menutup pintu, Abu Ayyup sepertinya ragu. “Celaka..! Mengapa kita sebodoh ini. Pantaskah Rasulullah bertempat di bawah, sedangkan kita berada lebih tinggi dari beliau,” seru Abu Ayyub kepada isterinya. “Pantaskah kita berjalan di atas beliau? Pantaskah kita mengalingi antara Nabi dan Wahyu? Niscaya kita celaka!” serunya lagi.
Pasangan suami isteri itu bingung. Tidak tahu apa yang harus diperbuat. Tidak berapa lama berdiam diri, akhirnya mereka memilih kamar yang tidak di atas persis dengan kamar Rasulullah. Mereka berjalan benjingjit-jingjit untuk menghindarkan suara telapak kaki mereka.
Setelah hari subuh, Abu Ayyub berkata kepada Rasulullah. “Mata kami tidak bisa terpejam sekejap pun malam ini.”
“Mengapa begitu?” tanya Rasulullah.
“Aku ingat, kami berada di atas sedangkan Rasulullah yang kami muliakan berada di bawah. Apabila bergerak sedikit saja, abu berjatuhan mengenai Rasulullah. Di samping itu kami mengalingi Rasulullah dengan wahyu,” ujar Abu Ayyub.
“Tenang sajalah, hai Abu Ayyub. Saya lebih suka bertempat tinggal di bawah, karena akan banyak tamu yang datang berkunjung,” hibur Rasulullah.
Akhirnya Abu Ayyub mengikuti kemauan Rasulullah. Pada suatu malam yang dingin, bejana pecah di tingkat atas, sehingga airnya tumpah. Kain lap hanya ada sehelai, terpaksalah air dikeringkan baju. “Kami sangat khawatir kalau air mengalir ke tempat Rasulullah. Saya dan istri bekerja keras mengeringkan air sampai habis,” tutur Abu Ayyub berkisah.
Setelah hari subuh, ia pergi menemui Rasulullah. “Sungguh mati, saya segan bertempat tinggal di atas, sedangkan Rasulullah tinggal di bawah,” ujarnya kepada Rasulullah.
Kemudian Abu Ayyub menceritakan kepada beliau perihal bejana yang pecah itu. Mendengar cerita itu, akhirnya Rasulullah memperkenankan pasangan suami istri ini pindah ke bawah dan beliau pindah ke atas.
Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub kurang lebih tujuh bulan. Setelah masjid Rasulullah selesai dibangun, beliau pindah ke kamar-kamar yang dibuatkan untuk beliau dan para isteri beliau di sekitar masjid.
Sejak pindah, Rasulullah menjadi tetangga dekat bagi Abu Ayyub. Rasulullah sangat menghargai suami isteri ini sebagai tetangga yang baik. Abu Ayyub mencintai Rasulullah sepenuh hati. Sebaliknya beliau mencintainya pula, sehingga mereka saling membantu setiap kesusahan masing-masing.
Mencari Makanan
Rasulullah memandang rumah Abu Ayyub seperti rumah sendiri. Pada suatu hari di tengah hari yang amat panas, Abu Bakar pergi ke masjid, lalu bertemu dengan ‘ Umar bin Khattab . “Hai, Abu Bakar! Mengapa Anda keluar di saat panas begini?” tanya Umar.
“Saya lapar!” jawab Abu Bakar.
“Demi Allah! Saya juga lapar,” sambut Umar pula.
Ketika mereka sedang berbincang begitu, tiba-tiba Rasulullah muncul. “Hendak ke mana kalian di saat panas begini?” tanya Rasulullah.
“Demi Allah! Kami mencari makanan karena lapar,” jawab mereka.
“Demi Allah yang jiwaku di tangan Nya! Saya juga lapar. Nah! Marilah ikut saya,” ujar Rasulullah kemudian.
Mereka bertiga berjalan bersama-sama ke rumah Abu Ayyub Al-Anshary. Biasanya Abu Ayyub selalu menyediakan makanan setiap hari untuk Rasulullah. Bila beliau terlambat atau tidak datang, makanan itu dihabiskan oleh keluarga Abu Ayyub.
Setelah mereka tiba di pintu, Ibu Ayyub keluar menyongsong mereka. “Selamat datang, ya Rasulullah dan kawan-kawan!” sambutnya.
“Ke mana Abu Ayyub?” tanya Rasulullah. Ketika itu Abu Ayyub sedang bekerja di kebun kurma dekat rumah. Mendengar suara Rasulullah, dia bergegas menemui beliau. “Selamat datang, ya Nabiyallah dan kawan-kawan!” kata Abu Ayyub.
Abu Ayyub langsung menyambung bicaranya, “Ya, Nabiyallah! Tidak biasanya Anda datang pada waktu seperti sekarang.
“Betul, hai Abu Ayyub!” jawab Rasulullah.
Abu Ayyub kembali pergi ke kebun, lalu dipotongnya setandan kurma. Dalam setandan itu terdapat kurma yang sudah kering, yang basah, dan yang setengah masak. Kata Rasulullah, “Saya tidak menghendaki engkau memotong kurma setandan begini. Alangkah baiknya jika engkau petik saja yang sudah kering.”
“Ya, Rasulullah! Saya senang jika Anda suka mencicipi buah kering, yang basah, dan yang setengah masak. Sementara itu saya sembelih kambing untuk Anda bertiga,” jawab Abu Ayyub,
“Jika engkau menyembelih, jangan disembelih kambing yang sedang menyusui,” nasihat Rasulullah.
Abu Ayyub lalu menangkap seekor kambing, lalu disembelihnya. Dia meminta kepada istrinya untuk membuat adonan roti. “Engkau lebih pintar membuat roti,” katanya.
Abu Ayyub membagi dua sembelihannya. Separuh digulainya dan separuh lagi dipanggangnya. Setelah masak, maka dihidangkannya ke hadapan Rasulullah dan sahabat beliau.
Rasulullah mengambil sepotong gulai kambing, kemudian diletakkannya di atas sebuah roti yang belum dipotong. Kata beliau, “Hai Abu Ayyub! Tolong antarkan ini kepada Fatimah. Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat makanan seperti ini.”
Selesai makan, dengan air mata beliau yang mengalir ke pipi. “Roti, daging, kurma kering, kurma basah, dan kurma setengah masak,” ujar Rasulullah. “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya! Sesungguhnya beginilah nikmat yang kalian minta nanti di hari kiamat. Maka apabila kalian memperoleh yang seperti in bacalah ‘basmalah’ lebih dahulu sebelum kalian makan. Bila sudah kenyang, baca tahmid, ‘segala puji bagi Allah yang telah mengenyangkan kami dan memberi kami nikmat’.”
Kemudian Rasulullah SAW bangkit hendak pulang. Beliau berkata kepada Abu Ayyub, ‘Datanglah besok ke rumah kami!”
Sudah menjadi kebiasaan bagi Rasulullah, apabila seseorang berbuat baik kepadanya, beliau segera membalas dengan yang lebih baik. Tetapi Abu Ayyub tidak mendengar perkataan Rasulullah kepadanya.
Lalu Umar menjelaskan, “Rasulullah menyuruh Anda datang besok ke rumahnya.”
“Ya, saya patuhi setiap perintah Rasulullah,” jawab Abu Ayyub.
Keesokan harinya Abu Ayyub datang ke rumah Rasulullah. Beliau memberi Abu Ayyub seorang gadis kecil untuk pembantu rumah tangga. “Perlakukanlah anak ini dengan baik, hai Abu Ayyub! Selama dia di tangan kami, saya lihat anak ini baik,” ujar Kata Rasulullah.
Abu Ayyub pulang ke rumahnya membawa seorang gadis kecil. “Untuk siapa ini?” tanya istrinya.
“Untuk kita. Anak kita diberikan Rasulullah kepada kita,” jawab Abu Ayyub.
“Hargailah pemberian Rasulullah. Perlakukan anak ini lebih daripada sekadar suatu pemberian,“ kata sang istri.
“Memang! Rasulullah berpesan supaya kita bersikap baik terhadap anak ini,” kata Abu Ayyub.
“Bagaimana selayaknya sikap kita terhadap anak ini, supaya pesan beliau terlaksana?” tanya istrinya.
“Demi Allah! Saya tidak melihat sikap yang lebih baik, melainkan memerdekakannya,” jawab Abu Ayyub.
Sang istri pun memuji suaminya. “Engkau benar-benar mendapat hidayah Allah,” ujarnya. Mereka pun merdekakan gadis kecil itu.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment