Kisah Khalifah Sulaiman Menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai Penggantinya

Kisah Khalifah Sulaiman Menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai Penggantinya
Khalifah Sulaiman dianggap sebagai pembawa kebaikan. (Foto/Ilustrasi: Ist)
Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan naik menjadi khalifah pada Dinasti Umayyah menggantikan kakaknya, Al Walid bin Abdul Malik pada tahun 96 H. Usianya hanya terpaut empat tahun dengan Al Walid. Masa jabatannya hanya dua tahun, namun cukup banyak perubahan yang dilakukannya. Khususnya dalam masalah politik.

Pada mulanya, kenaikan Sulaiman ke kursi Khalifah tidak dikehendaki oleh Al-Walid. Al-Walid ingin anaknya yang menggantikannya. Namun Sulaiman adalah kebalikan dari Al-Walid. Ia adalah seorang yang cerdik, ahli strategi dan juga fasih berpidato.

Semua rencana Al-Walid dan pendukungnya kandas untuk menjegal langkah Sulaiman ke tampuk khalifah. Maka sudah bisa ditebak hal-hal apa saja yang dilakukan Sulaiman ketika pertama kali menjabat sebagai khalifah.

Sulaiman segera mengganti hampir semua posisi gubernur yang sebelumnya ditempati oleh orang-orang yang setia pada Al-Walid. Para gubernur ini adalah orang-orang yang sudah berjasa besar dalam memantapkan pondasi kekuasaan Dinasti Umayyah, di antaranya Hajjaj bin Yusuf dan Qutaibah bin Muslim yang memenangkan banyak wilayah di sebelah Timur, serta Musa bin Nushair dan Tariq bin Ziyad, yang sudah menaklukkan kawasan barat hingga daratan Eropa.

Semua orang ini jabatannya dicopot pada masa pemerintahan Sulaiman. Mereka adalah orang-orang yang menyambut dengan suka cita rencana Al Walid untuk mewariskan tahtanya kepada Abdul Aziz bin Al Walid, putra pertama Al Walid. Tapi begitu rencana itu gagal, angin politik tiba-tiba berbalik. Mereka semua berada dalam ketidakpastian akan nasib mereka.

Tapi sebaliknya, Umar bin Abdul Aziz yang pada masa Al-Walid dipecat sebagai gubernur Madinah atas usulan dari Hajjaj bin Yusuf, justru dijadikan sebagai tangan kanan Sulaiman selama masa pemerintahnnya.

Adapun ‘Uthman bin Hayyan dan Khalid bin ‘Abdullah yang menggantikan Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur di Madinah dan Mekkah, dicopot jabatannya.

Salah satu yang juga mengagetkan adalah pencopotan posisi Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad ditempatkan di wilayah barat. Musa bin Nushair, penakluk Spanyol dan Portugal, tiba di Damaskus tiga hari sebelum Walid bin Abdul Malik wafat. Tanpa alasan yang bisa diterima, Musa bin Nushair diberhentikan dan dibuang ke Madinah. Dua tahun kemudian, tokoh ini wafat.

Di kawasan Afrika Utara hingga ke Spanyol, Musa bin Nushair sudah seperti mendirikan dinasti. Ia menempatkan anak dan keluarganya untuk menduduki wilayah-wilayah koloni di kawasan ini. Ketika Sulaiman naik tahta, putra Musa bin Nushair, Abdul Malik bin Musa yang menjabat gubernur wilayah Afrika di Kairawan juga diberhentikan. Sebagai penggantinya diangkatlah Muhammad bin Yazid.

Sedangkan Abdul Azis bin Musa, putra Musa bin Nushair yang menjabat gubernur di wilayah Andalusia yang berkedudukan di Toledo, dikudeta oleh pasukannya sendiri dan gugur dalam sebuah peperangan. Sebagai penggantinya, Sulaiman bin Abdul Malik mengangkat Abdurrahman Ats-Tsaqafi.

Di kawasan Timur juga tak luput dari rencana restrukturisasi yang dicanangkan Sulaiman. Beruntung Hajjaj bin Yusuf. Ia meninggal beberapa bulan sebelum Sulaiman naik tahta. Tapi Qutaibah bin Muslim yang ketika itu sedang menjabat gubernur Khurasan menjadi salah tingkah. Ia khawatir Sulaiman akan mengganti posisinya dengan Yazid bin Muhallab.

Kekhawatirannya ini disebabkan ia dan Hajjaj bin Yusuf adalah dua aktor penting yang berusaha menggeser posisi Sulaiman dari posisi sebagai putra mahkota. Ketika Al-Walid meminta pendapat gubernurnya tentang rencananya menggangkat Abdul Aziz bin Al Walid untuk menjadi khalifah setelahnya, Qutaibah dan Hajjaj lah yang paling bersemangat mendukung rencana tersebut.

Menurut ath-Thabari, untuk meyakinkan anggapannya, Qutaibah lalu mengirim tiga pucuk surat kepada Sulaiman. Surat pertama yang intinya mengucapkan selamat kepada Sulaiman atas terpilihnya sebagai khalifah. Ia mengurai bagaimana prestasinya dan kesetiaannya pada dinasti Umayyah selama masa pemerintahan Al Walid. Dan ia menjanjikan akan memberikan kesetiaan yang serupa apabila Sulaiman tetap mempertahankan kedudukannya sebagai gubernur di Khurasan.

Kemudian ia menulis lagi surat kedua yang isinya membeberkan betapa ia adalah sosok yang tangguh dan mengingatkan tentang keganasannya terhadap musuh.

Dalam surat kedua ini juga ia memberikan ancaman kepada Sulaiman, bahwa bila Yazid bin Muhallab diangkat menjadi gubernur menggantikannya, dia akan melepaskan kesetiaannya pada Sulaiman.

Terakhir, ia menulis surat ketiga yang isinya penjelasan tetang apabila ia meninggalkan kesetiaan kepada Sulaiman.

Qutaibah lalu menitipkan tiga pucuk surat tersebut kepada seseorang dari suku Bahilah. Ia berpesan pada kurir tersebut, “Berikan surat pertama kepada khalifah, jika Yazid bin Al- Muhallab hadir dan khalifah membacanya lalu menyerahkannya pada Yazid, berikan dia surat kedua. Jika khalifah membacanya dan memberikannya ke Yazid, berikan dia huruf ketiga. Tapi kalau khalifah membaca surat pertama dan tidak memberikannya pada Yazid, simpanlah dua lainnya.“

Dan tibalah utusan ke Qutaibah ke hadapan Sulaiman. Ia menyerahkan surat pertama, setelah membacanya lalu khalifah memberikan surat tersebut pada Yazid bin Muhallab. Lalu utusan tersebut memberikan surat kedua. Dan lagi, khalifah memberikan surat tersebut pada Yazid. Akhirnya utusan tersebut memberikan surat ketiga, dan wajah Sulaiman langsung berubah total ketika membacanya. Ia lalu memerintahkan untuk menyegel surat-surat tersebut seperti sedia kala, kemudian menyimpannya.

Menurut Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al Muthanna yang diriwayatkan oleh Thabari, surat ketiga itu berisi pernyataan sebagai berikut; “Jika anda tidak mengkonfirmasi saya dalam posisi saya sekarang (sebagai gubernur Khurasan) dan jika anda tidak memberi saya perintah untuk melakukan tindakan yang aman, saya akan mencampakan kesetiaan saya kepada anda secepat saya melepaskan sebuah sepatu, dan saya akan mengisi bumi di sekitar anda dengan pasukan kuda dan pasukan infantry.”

Setelah membaca surat ketiga, Sulaiman tidak bereaksi apapun pada isi surat tersebut. Ia hanya diam, tanpa berkomentar dan memerintahkan anak buahnya untuk melayani utusan Qutaibah dengan baik.

Di Khurasan, Qutaibah menjadi hilang akal sehatnya. Ia tidak kuat dihantui oleh prasangkanya sendiri. Ia menggalang kekuatannya dan berencana melancarkan pemberontakan pada Sulaiman. Namun prajuritnya menolak, sebab alasan untuk melakukan hal yang berbahaya seperti itu tidak cukup kuat. Semua hanya karena ketakutan dalam pikiran Qutaibah sendiri.

Mendapat penolakan dari anak buahnya, Qutaibah naik pitam. Ia mencaci maki mereka, dan ini melahirkan benih pemberontakan terhadap Qutaibah. Lambat laun benih pemberontakan semakin nyata, anak buah Qutaibah mulai mencampakkan kesetiaannya.

Di Damaskus, setelah merenungi beberapa hari, Sulaiman mendatangi utusan Qutaibah. Ia memberikan imbalan berupa uang yang banyak kepada utusan tersebut, dan menitipkan juga pada utusan tersebut surat pengangkatan Qutaibah untuk tetap memimpin di kawasan Khurasan. Maka kembalilah utusan tersebut dengan membawa surat pengangkatan untuk Qutaibah. Tapi setibanya ia di daerah yang bernama Hulwan, ia mendengar orang-orang berkata bahwa Qutaibah sudah mencampakkan kesetiaanya pada khalifah dan memprovokasi pasukannya untuk memberontak.

Mendengar ini, utusan tersebut segera mempercepat langkahnya. Tapi apa mau dikata, di tengah jalan ia mendengar kabar duka tentang terbunuhnya Qutaibah di tangan pasukannya sendiri.

Posisinya sebagai gubernur Khurasan digantikan oleh Wakki At-Tamimi, pemimpinan pasukan yang memberontak pada Qutaibah. Setelah berhasil mengalahkan Qutaibah dan membunuhnya, Wakki mengirimkan kepalanya kepada Sulaiman. Sedangkan jabatan Hajjaj bin Yusuf tak pernah diisi lagi.

Khalifah Sulaiman menunjuk Yazid bin Muhallib sebagai gubernur wilayah Irak dan Iran. Karena kemampuannya, Yazid bin Muhallab diangkat menjadi gubernur wilayah Khurasan menggantikan Wakki At-Tamimi. Selanjutnya, gubernur Yazid melebarkan sayap kekuasaannya ke daerah Tabaristan dan Jurjan.

Kemunduran?
Sebagaimana layaknya sebuah peristiwa, sejarah menyajikan banyak perspektif. Dalam konteks Sulaiman bin Abdul Malik, setidaknya tersaji dua perspektif yang bisa dikatakan saling bertentangan terkait kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Sulaiman.

Perspektif pertama menilai, bahwa kebijakan Sulaiman yang mengganti hampir semua gubernur yang sebelumnya setia pada Al Walid adalah awal mula kemunduran Dinasti Umayyah. Bagaimanapun, para gubernur ini adalah orang-orang yang sukses meluaskan wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah, dan memberikan kontribusi materiil yang besar selama masa pemerintahan Al Walid yang disebut sebagai puncak masa keemasan Dinasti Umayyah. Ditambah lagi, pada periode ini, Sulaiman mengeluarkan kebijakan untuk melepaskan semua tahanan politik di Irak dan Iran yang umumnya adalah para pendukung Ahl Bait Rasulullah SAW.

Pada masa pemerintahan Hajjaj bin Yusuf mereka diringkus dan diperlakukan tidak adil hanya karena kekhawatiran bahwa mereka akan memberontak pada Dinasti Umayyah. Sebagian masyarakat Irak dan Iran yang berhasil meloloskan diri, mendapat perlindungan dari Umar bin Abdul Aziz di Madinah. Tapi atas usulan dari Hajjaj, Umar bin Abdul Aziz dipecat dari posisinya karena berlaku lemah pada musuh-musuh bani Umayyah.

Pada masa pemerintahan Sulaiman, Umar bin Abdul Aziz justru dijadikan tangan kanannya dan penasehat utama Sulaiman. Hal-hal inilah yang oleh sebagian perspektif dianggap titik kelemahan Sulaiman bin Abdul Malik, dan dianggap sebagai titik balik yang menandai awal kemunduran Dinasti Umayyah.

Kunci Kebaikan
Tapi berbanding terbalik dengan perspektif pertama, perspektif kedua justru menganggap “Sulaiman sebagai kunci kebaikan”. Alasannya adalah fakta sejarah yang sama dengan sebelumnya, Sulaiman membebaskan para tahanan politik dan memperlakukan mereka dengan baik, serta mengangkat Umar bin Abdul Aziz – seorang negarawan yang saleh – sebagai penasehat utamanya.

Beberapa sosok pengganti para gubernur Al Walid juga merupakan orang-orang yang lebih akomodatif dengan aspirasi masyarakat, salah satunya adalah Wakki At-Tamimi – yang sebelumnya membunuh Qutaibah – keterpilihannya memang diingini oleh masyarakat di Khurasan.

Akbar Shah Najeebabadi dalam bukunya berjudul "The History Of Islam" memaparkan sejumlah kebijakan Khalifah Sulaiman ini sempat membalikkan persepsi masyarakat tentang tabiat Dinasti Umayyah yang sebelumnya rusak, menjadi mulai diterima di berbagai kawasan.

Dalam hal peribadatan, para pejabat di lingkungan Dinasti Umayyah dikenal sebagai orang-orang yang suka mengakhirkan sholat. Tapi oleh Sulaiman itu semua dibalik, ia menetapkan kebijakan untuk mengerjakan sholat di awal waktu – yang memang sudah seharusnya seperti itu.

Tapi dari semua penilaian para sejawanan tentang Sulaiman bin Abdul Malik, semua sependapat bahwa keputusannya untuk mewariskan kekuasaan Dinasti Umayyah kepada Umar bin Abdul Aziz adalah keputusan yang tepat. Ini juga yang menjadikan ia dianggap sebagai “kunci kebaikan”.

Suksesi
Dikisahkan oleh ath-Thabari, bahwa ketika menjelang wafatnya Sulaiman sempat mempertimbangkan untuk mengangkat putranya yang masih kecil sebagai khalifah untuk menggantikannya. Ia bertanya tentang perkara ini pada penasehatnya bernama Raja’ bin Haywah, dan Raja’ tidak sependapat dengan usulan tersebut.

Kemudian Sulaiman bertanya lagi, “bagaimana dengan Dawud bin Sulaiman?” – putranya yang saat itu sedang mengemban misi melakukan ekspedisi militer ke Kontantinopel. Raja’ juga tidak sepakat, karena tidak ada yang tahu nasibnya, apakah ketika itu Dawud masih hidup ataukah sudah mati.

Akhirnya Sulaiman meminta pendapat Raja’ tentang Umar bin Abdul Aziz. Kemudian Raja’ mengatakan bahwa Umar adalah sosok yang sangat tepat. Tapi Sulaiman sempat ragu, karena Umar bukan berasal dari keturunan Abdul Malik. Dikhawatirkan keputusan tersebut akan menuai protes dari keluarga Abdul Malik, mengingat saat itu masih ada putra Abdul Malik lainnya, yaitu Hisham bin Abdul Malik dan Yazid bin Abdul Malik. Kedua-duanya sedang harap-harap cemas menunggu giliran menduduki kursi khalifah dinasti Umayyah.

Akhirnya Sulaiman membuat trik yang cukup terkenal dalam sejarah. Ia menulis dua buah nama yang ditulis masing-masing dalam amplop yang tertutup rapat. Di hadapan keluarga besar Bani Umayyah ia menyerahkan surat tersebut pada Raja’ bin Haywah. Ia mengatakan bahwa di dalam amplop tersebut terdapat nama-nama orang yang akan menjadi khalifah menggantikannya.

Ia meminta sumpah dari mereka semua untuk mematuhi nama siapapun yang keluar dari amplop tersebut. Menentang perintah ini bisa diartikan sebagai penghianatan, dan itu berarti kematian bagi pelakunya. Akhirnya semua mematuhi dan mengaku setia pada semua keputusan yang sudah ditetapkan oleh khalifah Sulaiman.

Namun menurut pengakuan Raja’, tak lama berselang datanglah Hisham bin Abdul Malik kepadanya dan berkata, “tolong beritahuan padaku isi surat tersebut, aku khawatir khalifah memasukkan namaku di dalamnya. Sehingga aku bisa membuat perencanaan matang sebelumnya”.

Raja’ menjawab bahwa ia tidak mengetahui apapun tentang isi surat tersebut, dan ia tidak berani membukanya. Setelah itu Hisham berlalu.

Kemudian datanglah Umar bin Abdul Aziz, dia berkata, “izinkan aku mengetahui isi surat tersebut, aku khawatir namaku ada di dalamnya, biar aku bisa mengelak dari keputusan tersebut sebelum terlambat.”

Jawaban Raja’ sama dengan jawabannya pada Hisham. Dan Umarpun berlalu. Keduanya, baik Hisham maupun Umar ingin mengetahui isi surat tersebut, tapi dengan dua motif yang berbeda. Yang satu berharap menjadi khalifah, sedang yang satunya ingin menghindar dari tanggungjawab tersebut.

Pada hari Jumat, bulan Safar 99 H, Sulaiman bin Abdul Malik wafat. Tepat seminggu sebelumnya ia sibuk memilih-milih pakaian. Berbagai jenis jubah ia kenakan namun tak ada yang memuaskan hatinya. Hingga ia melihat sebuah jubah hijau yang dikirimkan oleh Yazid bin Muhallab dari Irak, dan mengenakannya.

Ia begitu senang setelah mengenakannya. Ketika itu ia segera menghadap ke cermin dan mulai mengagumi dirinya dengan berkata, “Demi Tuhan, aku adalah raja di puncak kejantannya”. Setelah itu ia melaksanakan sholat Jumat. Sepulangnya dari sholat, ia langsung jatuh sakit, dan seminggu kemudian meninggal dunia.

Ketika menjelang wafat, ia hanya didamping oleh Raja’ bin Haywah. Raja’ menuntunnya mengucapkan dua kalimah syahadat, kemudian menyelimutinya dengan jubah hijau kesayangannya.

Raja' masih merahasiakan tentang berita kematian Sulaiman pada semua orang, termasuk istri khalifah, sampai ia mengumpulkan semua keluarga besar bani Umayyah.

Setelah semua berkumpul, dia lalu meminta sumpah sekali lagi dari semua yang hadir agar mematuhi nama siapapun yang keluar dari surat wasiat khalifah. Sebagian ada yang menolak, namun Raja’ tetap bersikeras agar semua yang hadir mengucapkan kembali sumpah setia mereka, dan akhirnya semua kembali bersumpah setia.

Setelah yakin dengan sumpah yang mereka ucapkan, Raja’ mulai mengabarkan, bahwa saat ini khalifah Sulaiman sudah wafat, dan ia mulai membacakan isi surat wasiat Sulaiman,

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Ini adalah surat dari hamba Allah, Sulaiman pemimpin kaum Muslimin, kepada Umar bin Abdul Aziz. Aku sudah menunjuk anda sebagai penggantiku untuk menjadi khalifah, dan anda akan digantikan oleh Yazid bin Abdul Malik. Wahai manusia, dengarkanlah dia dan patuhilah; takutlah pada Allah dan hindari perselisihan, agar musuh tidak mengambil keuntungan dari kalian.”

Mendengar ini, secara bersamaan Umar bin Abdul Aziz dan Hisham bin Abdul Malik mengucapkan, “Innalillahi wa innailaihi rajiun”. Satu ucapan yang sama, tapi dengan dua alasan yang berbeda.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: