Kisah Salman Al-Farisi: Ahlul Bait yang Bergelar Luqmanul Hakim
Salman Al-Farisi adalah anak seorang bangsawan, bupati, di daerah kelahirannya, Persia. Ia sempat tertipu di tengah perjalanannya mencari kebenaran Illahi. Ia diperjualbelikan sebagai budak. Beliau terdampar di Madinah, menjadi budak orang Yahudi . Beliau masuk Islam dan Allah membebaskan dirinya.
Sebagaimana lelaki normal lainnya, pria bertubuh tegap ini pun sempat jatuh cinta. Sayang, cintanya bertepuk sebelah tangan.
Hati Salman kepincut perempuan Anshar. Yakni perempuan asli kelahiran Madinah. Di kalangan kaum Anshar , Salman sejatinya dianggap sebagai keluarga mereka. Demikian juga kaum Muhajirin . Pendatang dari Mekkah ini juga menganggap Salman bagian dari kaum mereka.
Pada waktu perang Khandaq, saat Salman menelorkan ide cerdas membangun parit untuk menahan pasukan kafir Quraish, kaum Anshar mengklaim Salman sebagai kaum mereka. “Salman dari golongan kami,” ujar kaum Anshar.
Pernyataan kaum Anshar ini direspon kaum Muhajirin. Mereka berdiri dan berkata, “Tidak. ia dari golongan kami!”
Rasulullah SAW pun akhirnya memanggil mereka yang bersengketa itu, “Salman adalah golongan kami, Ahlul Bait. Dan memang selayaknyalah jika Salman mendapat kehormatan seperti itu,” ujar Rasulullah SAW.
Ali bin Abi Thalib memberi gelar Salman dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya: “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering”.
Dalam kalbu para sahabat umumnya, pribadi Salman telah mendapat kedudukan mulia dan derajat utama.
Kedudukan Salman yang tinggi itu tidak serta merta menjadi magnet bagi perempuan. Dan itu yang tidak diketahui Salman.
Cintanya Ditolak
Pada suatu ketika, Salman Al Farisi bermaksud melamar gadis pujaan hatinya itu. Dia mengajak sahabatnya, Abu Darda, untuk menemaninya. Abu Darda merasa tersanjung dengan ajakan Salman itu. Ia pun memeluk Salman Al Farisi dan bersedia membantu.
Setelah segala sesuatunya dianggap beres, keduanya pun mendatangi rumah sang gadis. Selama perjalanan, mereka tampak gembira. Setiba di tujuan, keduanya diterima dengan tangan terbuka oleh kedua orang tua wanita Anshar tersebut.
Abu Darda menjadi juru bicara. Ia memperkenalkan dirinya dan juga Salman Al Farisi. Ia menceritakan mengenai Salman Al Farisi yang berasal dari Persia. Abu Darda juga menceritakan mengenai kedekatan Salman Al Farisi yang tak lain adalah sahabat Rasulullah SAW. Dan terakhir adalah maksudnya untuk mewakili sahabatnya itu untuk melamar.
Mendengar maksud mereka melamar putrinya, membuat tuan rumah merasa sangat terhormat. Mereka senang akan kedatangan dua orang sahabat Rasulullah. Hanya saja, sang ayah tidak serta merta menerima lamaran itu. Sebagaimana diajarkan Rasulullah, sang ayah harus bertanya dulu bagaimana pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Karena jawaban itu adalah hak dari putrinya secara penuh.
Sang ayah pun lalu memberikan isyarat kepada istri dan juga putrinya yang berada di balik hijabnya. Ternyata sang putri telah mendengar percakapan sang ayah dengan Abu Darda. Gadis ini juga telah memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya.
Berdebarlah jantung Salman Al Farisi saat menunggu jawaban dari balik tambatan hatinya. Abu Darda pun menatap gelisah pada wajah ayah si gadis. Dan tak begitu lama semua menjadi jelas ketika terdengar suara lemah lembut keibuan sang bunda yang mewakili putrinya untuk menjawab pinangan Salman Al Farisi.
“Mohon maaf kami perlu berterus terang,” kalimat itu membuat Salman Al Farisi dan Abu Darda berdebar tak sabar. Perasaan tegang dan gelisah pun menyeruak dalam diri mereka berdua.
“Karena kalian berdua yang datang dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda juga memiliki keinginan yang sama seperti keinginan Salman Al Farisi,” katanya.
Jelas, jawaban itu sangat mengagetkan. Gadis yang diidam-idamkan untuk menjadi istri Salman Al Farisi, justru kepincut dengan Abu Darda. Takdir Allah berkehendak lain. Cinta Salman bertepuk sebelah tangan. Tetapi itulah ketetapan Allah menjadi rahasia-Nya, yang tidak pernah diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah.
Salman Al Farisi tampak tegar. Salman adalah pria saleh, taat, dan juga seorang mulia dari kalangan sahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa ia justru memekik: Allahu Akbar!
Salman Al Farisi girang. Bahkan ia justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Salman ikhlas memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu, termasuk mahar, kepada Abu Darda. Ia juga akan menjadi saksi pernikahan sahabatnya itu. Salman menerima kenyataan itu dengan lapang dada.
Tentang Abu Darda
Salman dan Abu Darda adalah karib. Mereka berdua dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW. Abu Darda memiliki kebiasaan luar biasa terhadap para sahabatnya. Beliau selalu mendoakan saudara-saudara dan sahabat-sahabatnya ketika ia sedang bersujud. Ia sebut nama-nama para sahabatnya satu persatu di saat berdoa.
Ada yang menyebut nama asli Abu Darda adalah Uwaimir bin Malik al-Khazraji. Beliau termasuk sahabat yang akhir masuk Islam. Akan tetapi, beliau termasuk sahabat yang bagus keislamannya, seorang faqih, pandai dan bijaksana.
Abu Darda RA memilih hidup zuhud. Tatkala suatu kali tamu-tamunya bertanya ke mana perginya kekayaannya selama ini, Abu Darda menjawab, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap kali memperoleh harta, langsung kami kirim ke sana. Jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki sehingga kami sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”
Suatu ketika Salman RA mengunjungi Abu Darda RA. Dia melihat Ummu Darda memakai pakaian kerja dan tidak mengenakan pakaian yang bagus. “Wahai Ummu Darda, kenapa engkau berpakaian seperti itu?” Salman bertanya keheranan.
“Saudaramu Abu Darda sedikit pun tidak perhatian terhadap istrinya. Di siang hari dia berpuasa dan di malam hari dia selalu salat malam,” jawab Ummu Darda.
Lantas datanglah Abu Darda dan menghidangkan makanan kepadanya. “Makanlah (wahai saudaraku), sesungguhnya aku sedang berpuasa,” ujar Abu Darda kemudian.
“Aku tidak akan makan hingga engkau makan,” sambut Salman.
Lantas Abu Darda pun ikut makan. Tatkala malam telah tiba, Abu Darda pergi untuk mengerjakan salat. Akan tetapi, Salman menegurnya dengan mengatakan, “tidurlah”. Maka Abu Darda pun menurut. Dia pun tidur.
Tak lama kemudian dia bangun lagi dan hendak salat, dan Salman menyuruhnya tidur lagi.
Ketika malam sudah lewat Salman membangunkan Abu Darda. Keduanya mengerjakan salat. Selesai shalat, Salman berkata kepada Abu Darda. “Wahai Abu Darda, sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu. Badanmu mempunyai hak atas dirimu dan keluargamu (istrimu) juga mempunyai hak atas dirimu. Maka, tunaikanlah hak mereka.”
Selanjutnya Abu Darda mendatangi Rasulullâh SAW dan menceritakan kejadian tersebut kepadanya. Nabi SAW menjawab, “Salman benar".
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment