Salah Paham tentang Wali dan Karamah

wali dan karamah

Menurut KH Hasyim Asy’ary, seorang tidak dapat disebut wali jika ia meremehkan syariat, mengejek al-Qur’an, dan membela kesesatan. Wali adalah orang yang istiqamah dalam syariat Islam

Kholili Hasib

SAAT ini banyak terjadi salah paham tentang konsep kewalian dan karamah di tengah-tengah masyarakat. Pemahaman yang parsial tentang Islam berpengaruh terhadap kekeliruan dalam memahami wali Allah dan karamah nya.

Ada yang ekstrim tidak mempercayai sama sekali adanya wali Allah serta karamahnya. Sementara ada yang begitu ceroboh, sangat mudah memberi predikit kewalian kepada seseorang.

Kelompok pertama biasanya memahami agama terlampau “harfiyah”. Adapun kelompok kedua pemahaman tentang tasawuf, aspek batin, dan konsep kewalian terlalu “menggantung”. Tidak tuntas, sehingga salah paham dan memahami kewalian dan karamah secara dzahir. Pemikiran yang benar tidak seperti kedua jenis kelompok tersebut.

Dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Syeikh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan bahwa kewalian merupakan perkara sir (rahasia), sedangkan kenabian adalah perkara masyhur (umum). Maksudnya, kenabian dan kerasulan wajib diumumkan kepada manusia.

Seorang Nabi dan Rasul wajib mengkhabarkan kepada manusia bahwa ia seorang Nabi dan utusan Allah Swt yang diberi wahyu. Sementara kewalian tidak layak diumumkan. Seorang wali tidak memberitakan bahwa dirinya adalah wali Allah Swt kepada umat (lihat Tuhfatul Murid Syarh Jauharatu Tauhid).

Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari berpendapat, seorang waliyullah tidak akan memamerkan dirinya sebagai seorang wali. Justru seorang wali tidak menyukai popularitas. Mbah Hasyim mengatakan, “Jenis fitnah itu banyak sekali. Di antara yang banyak merusak seorang hamba adalah pengakuan seseorang menjadi guru tarekat dan wali. Bahkan sampai mengaku dirinya wali quthb, dan imam mahdi. Padahal mmereka bukan ahli syariat.” (KH. Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 1).

Dikatakan bahwa karakter seorang wali justru menyembunyikan kewalian dan mengedepankan tawadhu’. Ia mengatakan: “Wali itu tidak membuka jalan popularitas dan juga tidak melakukan pengakuan akan kewaliannya. Bahkan kalau bisa ia akan menyembunyikannnya. Karena itu orang yang ingin terkenal dalam hal tersebut, bukanlah ia seorang ahli tariqah yang benar.” (KH. Hasyim Asy’ari, Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 9).

Karena itu, seorang wali menjaga hak-hak Allah dan hak-hak seorang hamba Allah dengan cara mengikuti syariat Rasulullah ﷺ. Atas dasar ini, Syeikh Hasyim berpendapat bahwa syarat menjadi wali adalah mahfudz (terjaga dari kemaksiatan).

Artinya terjaga dari terus-menerus berada dalam kesalahan dan kekeliruan. Apabila terjatuh kepada kesalahan, ia segara bertaubat dan kembali kepada kebenaran.

Seorang tidak dapat disebut wali jika ia meremehkan syariat, mengejek al-Qur’an, membela kesesatan. Sifat pokok kewalian disebut oleh Syeikh Hasyim dengan “istiqamatu ‘ala adabi al-syari’ah al-Islammiyah” (istiqamah dalam adab syariat Islam).

Demikianlah Kiai Hasyim Asy’ari menjelaskan tentang konsep kewalian dan karamah. Beberapa keterangan para ulama juga menunjukkan bahwa kewalian ada yang masyhur (dikenal umum) dan yang mastur (tidak dikenal).

Wali yang masyhur tidak pernah mengumumkan diri kepada umat manusia bahwa dirinya adalah waliyullah. Seseorang dikenal kewaliannya melalui penjelasan ulama-ulama rabbani yang memang memahami betul rahasia ilmu kewalian.

Maka ada diktum menyatakan la ya’rifu wali illa wali (tidak lah seseorang mengenal wali kecual wali). Kemasyhuran seorang kekasih Allah Swt juga bisa dilacak melalui tanda-tanda dzahir.

Maknanya, ada kalanya Allah Swt membuat seorang kekasihnya itu dikenali tanda-tanda kewaliannya oleh orang lain. Setelah seorang ulama rabbani itu wafat, biasanya banyak dikenali tanda-tandanya.

Tanda-tanda ketinggian maqam seorang hamba sebenarnya dapat dilacak dari pengamalan syariatnya. Seseorang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Swt apabila ibadah syariahnya sampai pada tingkat ihsan.

Maka, tentu dipastikan jika ibadah syariahnya tidak sempurna apalagi menyimpang mustahil sampai pada tingkat ihsan. Tentu saja bukan wali. Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari menulis:

فمن الدعى الولاية بدون شاهد المتابعة فدعواه زور وبهتان

“Barangsiapa yang mengaku dirinya wali tanpa kesaksian bahwa dia mengikuti syariat Nabi Muhammad ﷺ, maka pengakuan tersebut dusta bohong.” (KH. Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 4).

Imam al-Qusyairi mengatakan: Orang yang merasa telah wushul (sampai) kepada tingkat tertentu kemudian meninggalkan aktivitas ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan berzina. Wali yang meninggalkan kewajiban syariat bukanlah wali tapi bodoh mengaku pintar. (Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, hal. 368).

Imam Junaid al-Baghdadi, berpendapat: “Tidak setiap orang yang memiliki kekhususan, itu sempurna keikhlasannya”.

Adapun yang mastur memang telah menjadi karakteristik konsep kewalian. Allah Swt menutup tanda-tanda kewaliannya pada manusia. Uwais al-Qarni yang kisahnya sangat kita dikenali adalah contohnya. Semasa hidup, tidak ada yang mempedulikan Uwais al-Qarni, bahkan tetangga-tetangga dekatnya sama sekali tidak ada dugaan ia seorang hamba Allah Swt yang sangat tinggi maqamnya di sisi Allah Swt.

Justru beliau dikenal kehabatannya setelah meninggal dunia. Hingga kini pun kisahnya dibaca banyak orang. Beliau mastur di masa hidupnyam tetapi masyhur dikala sudah wafat. Kemungkinan banyak hamba-hamba Allah Swt yang seperti ini.

Wali dan karamah: Hatinya terpaut dengan Allah

Wali dan karamah merupakan kemuliaan yang diberikan Allah Swt kepada hamba yang dikasihinya. Tetapi, seorang wali tentu tidak mengharapkan dalam ibadahnya itu mendapatkan karamah.

Waliyullah pasti totalitas dalam keikhlasan ibadahnya. Semata-mata ridha Allah Swt. Al-Qur’an telah banyak mengkhabarkan turunnya karamah-karamah yang diberikan kepada hambanya yang shalih.

Ibunda Nabi Isa alaihissalam ketika menyendiri ia diberi Allah Swt makanan dan buah-buahan yang sangat segar. Bahkan Nabi Zakaria pun dibuat heran darimana datangnya buah-buahan tersebut sementara tidak ada manusia yang mengirimkannya.

تَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ۖ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا ٱلْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَٰمَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS: Ali Imran: 37).

Maryam merupakan wanita shalihah, menurut akidah Ahlussunnah beliau seorang wali Allah Swt. Apa yang dialami Ashabul Kahfi, seperti juga diceritakan dalam al-Qur’an, juga merupakan karamah jenis ini.

Para sahabat Nabi ﷺ juga banyak mendapatkan karamah–karamah jenis ini. Syeikh Yusuf Nabhani menulis kitab Jami’ Karamati al-Auliya’ yang memuat banyak kisah-kisah karamah.

Tetapi, kemampuan melakukan sesuatu yang diluar kebiasaan manusia lain (khariq al-‘adah) tidak selalu berupa karamah. Ada berupa ma’unah dan ada pula berupa istidraj.

Karamah diberikan kepada para wali. Orang shalih mendapatkan maunah. Sedangkan ahli maksiat memperolah istidraj. Semua itu biasanya berbentuk hissiyah (dzahir).

Karamah ada yang berbentuk hissiyah dan ada yang berbentuk ma’nawiyah. karamah jenis hissiyah termasuk kategori pemberian Allah yang dianggap biasa-biasa, tidak terlalu istimewa.

Karena, para wali Allah itu merupakan orang yang hatinya terpaut hanya kepada Allah. Dan hal-hal yang sifatnya bendawi tidak dianggap keistimewaan.

Karena itu, para wali bahkan menginginkan karamah bendawi itu dicabut karena bisa menjadi cobaan yang bisa mengganggu hubungan dia dengan Allah. Bukan malah bangga dengan khariqul ‘adah-nya, tetapi takut dengan kemampuan yang demikian. Bisa saja terjadi ke-wali-annya dicabut oleh Allah karena dia tergoda oleh ‘ujub, sombong dan penyakit-penyakit hati lainnya.

Makanya, karamah ma’nawiyah merupakan karamah yang dianggap para wali sebagai karamah yang sesungguhnya. Karamah ma’nawiyah berupa kemampuan hebat dalam melaksanakan ibadah kepada Allah (istiqamah) yang belum tentu bisa dilakukan oleh orang pada umumnya.

Karamah berupa istiqamah beribadah itu diakui oleh pembesar-pembesar sufi seperti Abul Hasan al-Syadzili, Abul Abbas al-Mursi, Ibnu Athoillah al-Sakandari, Abu Yazid al-Busthomi, dan lain-lain.

Kisah-kisah kehebatan ulama dahulu dalam ilmu dan beribadah juga dikategorikan karamah. Imam Syafii memiliki kebiasaan membagi waktu malamnya menjadi tiga.

Malam pertama untuk menulis, malam kedua untuk ibadah (baca al-Qur’an, dzikir dan shalat) dan sepertiga malam akhir, untuk istirahat (Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala/10, hal 35). Di bulan Ramadhan beliau khatam al-Qur’an sebanyak 60 kali.

Berarti dalam sehari khatam al-Qur’an dua kali. Dalam satu kisah, ketika menginap di rumah imam Ahmad, muridnya, Imam Syafi’i dalam waktu hanya separuh malam mampu menyelesaikan 72 masalah dalam ilmu fikih.

Seorang tabi’in bernama Aswad bin Yazid pada bulan Ramadhan mengkhatamkan al-Qur’an setiap dua malam saja. Tidak pernah tidur, kecuali pada waktu antara Maghrib dan Isya’.

Wali dan karamah: Antara sihir, bisikan setan dan kemuliaan Allah

Para kekasih Allah zaman dahulu jarang yang tidur. Jika tidur, biasanya bukan sengaja memejamkan mata, tetapi tertidur. Ada pula kisah ulama yang shalat sehari semalam seribu rakaat.

Dalam ilmu, Imam Nawawi selama hidupnya telah menulis kitab sebanyak 46 judul. Ada beberapa judul kitab yang berjilid-jilid tebal, juga dikategorikan karamah.

Karamah seperti inilah yang didamba oleh para wali Allah. Karena itu, para ulama sufi mengingatkan agar berhati-hati dengan orang yang memiliki kemampuan luar biasa. Karena bisa saja itu dari setan, sihir atau yang lainnya.

Tukang sihir Fir’aun dikisahknya juga hebat-hebat, mengubah kayu jadi ular, mengubah batu jadi emas dan lain-lain. Tetapi kemampuan ini atas bantuan setan, bukan bentuk kemuliaan dari Allah.

Abu Yazid al-Busthomi ditanya oleh seseorang mengenai orang yang mampu berjalan dari Baghdad ke Makkah dalam sehari. Abu Yazid menjawab: “Setan pun bisa berjalan dari ujung timur bumi sampai ujung barat hanya dalam sekejap, tetapi ia (setan) tetap dalam laknat Allah.” (Muhammad bin Ibrahim al-Randi, Ghaits al-Mawahib al-‘Aliyyah fi Syarh al-Hikam al-‘Athoiyyah, hal. 214).

Dia juga pernah ditanya tentang orang yang mampu berjalan di atas air. Apa jawabnya? Dia tersenyum dan berkata: “Saya tidak terkejut. Karena ikan itu berenang di atas air, dan burung terbang di udara.”

Intinya, kewalian dan ketinggian maqam seseorang itu ditandai dengan istiqamah, bukan dikenali dengan sekedar khawariqul ‘adah, atau “kesaktian-kesaktian”. Justru dari penjelasan di atas, hamba Allah Swt yang mampu shalat sunnah ratusan rakaat, mengkhatamkan al-Quran berkali-kali, melahirkan karya-karya hebat, melakukan ibadah yang tidak mampu dilakukan orang biasa itu kesaktian yang sesungguhnya. Sakti ilmu dan ibadahnya. Itulah karamah mulia pada seorang wali.*

Penulis intelektual muda NU Bangil, dosen di Institut Islam Darullughah Wadda’wah (INI-Dalwa)

Rep: Ahmad
Editor: Bambang S

No comments: