Abdurrahman Bin Auf, Pedagang Handal yang Ahli Ibadah

Abdurrahman Bin Auf, Pedagang Handal yang Ahli Ibadah
Perdagangan di Arab tempo dulu. Saat hijrah ke Madinah, Abdurrahman bin Auf bertanya lokasi pasar. Foto/Ilustrasi: Ist
Jika kita bertanya tentang bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap harta, teladan para sahabat Nabi bisa menjadi jawabannya. Bukan saja mampu hidup dalam kesederhanaan, tetapi jauh daripada itu mereka mampu menempatkan harta bukan sebagai tujuan hidupnya, melainkan seperti sebuah kendaraan yang mengantarkan mereka mencapai tujuan mulia.

Tidak jarang mereka adalah para pemimpin besar yang sebenarnya bisa saja hidup dalam kemewahan, bergelimang harta dan menurunkannya sebagai warisan kepada keluarga. Namun ternyata bukan hal itu yang dipilih oleh para sahabat Nabi. Pilihan hidup yang mungkin sangat sulit ditemui pada manusia-manusia di zaman modern saat ini.

Salah satu di antara para sahabat nabi yang mampu memberikan teladan dalam bersikap para harta adalah Abdurrahman Bin Auf . Beliau adalah sahabat Nabi yang termasuk asabiqunal awallun atau sahabat-sahabat yang masuk Islam pertama kali.

Dengan loyalitasnya terhadap Islam, Abdurrahman bin Auf mampu menunjukkan bahwa dengan harta bukan berarti kita akan diperbudak olehnya, justru harta dapat membesarkan Islam dan meraih kemuliaan yang tinggi. Berikut adalah kisah teladan dari Abdurrahman bin Auf.

Ahli Berdagang
Abdurrahman bin Auf adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang ikut berhijrah ke Madinah. Karena persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar saat itu sangat erat, mereka pun saling membantu dan berbagi harta pada sahabat Nabi dan umat Islam yang saat itu baru saja ikut berhijrah.

Suatu hari ada salah satu kaum Anshar bernama Sa’ad yang menawarkan harta pada Abdurrahman bin Auf. Sa’ad terkenal dengan kekayaannya di Madinah. Akan tetapi, saat itu Abdurrahman menolak harta darinya. Abdurrahman malah bertanya lokasi pasar yang ada di Madinah saat itu.

Setelah ia mencari tahu, ternyata harga sewa pasar di Madinah sangat mahal, padahal ia mengetahui bahwa masih banyak orang-orang yang ingin berdagang namun tidak ada modal besar untuk menyewa tempat. Dengan peluang dan inisiatifnya tersebut, ia pun bekerja sama dengan Sa’ad untuk membeli tanah dan menjadikannya sebagai kavling-kavling pasar.

Kavling-kavling tersebut ia bangun dan digunakan oleh pedagang muslim tanpa membayar sewa. Ia menerapkan sistem bagi hasil yang lebih adil, sehingga tidak memberatkan dan mencekik para pedagang yang masih merintis.

Dengan strategi tersebut, tidak salah jika Abdurrahman bisa menjadi seorang yang kaya raya, bahkan terkaya di zamannya. Sebenarnya masih ada banyak lagi bisnis dari Abdurrahman bin Auf yang ia lakukan saat itu.

Keberhasilannya dalam bisnis membuat ia dijuluki sebagai tangan emas, karena apapun yang ia kerjakan selalu sukses dan membuahkan hasil yang besar.

Korbankan Harta untuk Islam
Sepanjang hidup Abdurrahman bin Auf, kekayaannya tak pernah menjadikannya sombong atau memperbudak dirinya sendiri dengan harta. Ia pernah memberikan 200 uqiyah emas (1 uqiyah setara dengan kurang lebih 31 gram) untuk memenuhi kebutuhan logistik selama perang Tabuk.

Saat ada seruan untuk berinfak dari Rasulullah SAW, ia tak pernah berpikir panjang dan ragu-ragu. Begitupun saat perang Badar yang jumlahnya mencapai 100 orang, ia pun memberikan santunan 400 dinar kepada masing-masing veteran. Ia juga menyumbangkan 40 ribu dinar, 500 ekor kuda, dan 1.500 unta untuk para pejuang.

Abdurrahman bin Auf juga pernah menyumbangkan para pedagang Madinah dengan 700 ekor unta yang ia miliki. Tentu apa yang ia berikan bukan jumlah yang sedikit. Ia bukan saja memberikan sebagian hartanya, tapi lebih dari seluruh hartanya dan berkorban dengan harta tersebut untuk Islam.

Pengorbanan Abdurrahman bin Auf tidak berhenti hanya pada memberikan hartanya untuk Islam. Sepanjang hidupnya ia pun juga ikut berjuang bersama dengan Rasulullah SAW, seperti dalam berbagai peperangan mulai dari Perang Uhud hingga Badar. Ia pun juga terlibat dalam berbagai misi dakwah Islam.

Saat perang Uhud, ia pun mendapatkan 211 luka dan di antaranya ada yang menyebabkan kakinya pincang serta 2 giginya tanggal. Tidak heran jika ia menjadi salah satu sahabat terbaik Nabi dan tokoh teladan Islam hingga akhir zaman.

Menjelang wafat, Abdurrahman bin Auf sempat menangis. Ia khawatir akan apa yang ia miliki saat ini tak mampu menyelamatkannya kelak di akhirat. Ia pun pernah berkata, "Sesungguhnya, Mush'ab bin Umair lebih baik dariku. Ia meninggal di masa Rasulullah dan ia tidak memiliki apa pun untuk dikafani. Hamzah bin Abdul Muthalib juga lebih baik dariku. Kami tidak mendapatkan kafan untuknya. Sesungguhnya, aku takut bila aku menjadi seseorang yang dipercepat kebaikannya di kehidupan dunia. Aku takut ditahan dari sahabat-sahabatku karena banyak hartaku," tutur Abdurrahman.

Baginya, warisan terbaik yang ia tinggalkan pada keluarganya saat meninggal bukanlah harta atau kekayaanya melainkan ajaran Islam dan teladan dari Rasulullah SAW. Memang tak mudah menjadi seorang Abdurrahman bin Auf, tapi dengan keyakinan dan istiqomah di jalan Islam semoga kita bisa meneladaninya hingga akhir hayat. (Ali Bastoni, Ketua Ramadan 1443 H Dompet Dhuafa)

=============
(mhy)

No comments: