Bolehkah Mengaku Wali Malamatiyyah dan Apa Itu Thariqah Malamatiyyah?
Tg DR Miftah el-Banjary MA
Pakar Ilmu Linguistik Arab,
Pimpinan Majelis Dalail Khairat Indonesia-Malaysia
Wali Malamatiyyah, mungkin penamaan istilah ini tidak populer dan jarang terdengar, namun dalam dunia thariqah memang tidaklah terlalu asing. Kelompok ini muncul pada abad kedua hijriyah di daerah Naisabur, Khurasan.
Menurut Syekh Abdul Wahhab Al-Sya'rani di dalam kitab "Lawaqih Al-Anwar fi Tabaqat al-Akhyar" jilid I, pendiri Thariqah Malamatiyyah ini adalah Hamdun Bin Ahmad Al-qashhar Al-Naisaburi, seorang faqih dari kalangan Madzhab Al-Tsauri. Beliau wafat pada Tahun 271 H, dan dikebumikan di pusara Al-Haidah.
Apa itu Thariqah Malamatiyyah? Kelompok ini disebut dengan Malamatiyyah atau Mulamatiyyah dan Malamiyyah, yang kesemuanya bermakna celaan (derivasi dari terma Laum).
Menurut Abu Al-Ala’ Al-Afifi, di dalam Kitab "Al-Malamatiyyah Wa Al-Sufiyyah Wa Ahl Al-Futuwwah" bahwa kelompok ini disebut golongan Malamatiyyah, disebabkan mereka mencela diri mereka sendiri atau dicela orang lain, namun mereka tidak mencela dunia dan penduduknya.
Maksud dari mencela diri sendiri adalah bahwasanya mereka menganggap dirinya bukan apa-apa, sehingga wali dari golongan Malamatiyyah meyakini bahwa diri tidak memiliki bagian apapun di dunia ini secara mutlak, mereka merasa tenang dan bahagia ketika dicela karena mereka berkeyakinan bahwa dirinya sangat jelek.
Hal ini dilakukan untuk melawan tabiat nafsu yaitu suka pamer (riya) dan berlaku sombong. Yang dimaksud dengan dicela orang lain adalah karena mereka menyembunyikan pergaulannya dengan Allah, mereka tidak ingin hubungannya dengan Allah diketahui oleh orang lain.
Bahkan mereka sangat merahasiakan ini, ketika ia bersama sesama hamba, ia akan menyembunyikan bagaimana hubungannya dengan Allah. Ketika hubungannya diketahui dengan orang lain, semisal ia mulai dianggap wali, maka ia akan sengaja melakukan sesuatu agar orang lain mencela atau menghinanya.
Mudahnya, kelompok ini tidak mau terlihat baik dalam segi sosial, spiritual dan intelektual, namun juga berusaha untuk tidak punya keburukan baik dalam relasi dengan Allah maupun hamba-Nya.
Ketika status atau maqam mereka diketahui, niscaya akan menganulir framing khalayak dengan melakukan sesuatu yang berpotensi dicela orang lain. Jika umumnya orang ingin agar tidak dicela orang lain, beda halnya dengan kelompok Malamatiyyah ini. Justru ketika mereka merasa berpotensi untuk dipuji, lantas mereka akan melakukan sesuatu agar tidak jadi dipuji oleh orang.
Ibnu Hajar Al-Haitami mengisahkan terkait malamatiyyah:
وَهُوَ مَا يَقع للملامتية وهم قوم طابت نُفُوسهم مَعَ الله فَلم يودوا أَن أحدا يطلع على أَعْمَالهم غَيره فَإِذا رأى أحد مِنْهُم أَن أحدا اعْتقد فِيهِ خرب أَي ارْتكب مَا يذم بِهِ ظَاهره من فعل وَقَول كسرقة بعض الْأَوْلِيَاء وَهُوَ إِبْرَاهِيم الْخَواص نفع الله بِهِ وناهيك بِهِ علما وَمَعْرِفَة لما رأى أهل بَلَده يعتقدونه سرق ثيابًا من الْحمام لِابْنِ الْملك وَخرج يتبختر بهَا حَتَّى أدْرك فَضرب وَأخذت مِنْهُ وسمى لص الْحمام فَقَالَ الْآن طابت الْإِقَامَة فِي هَذِه الْبَلَد
"Wali Malamatiyyah adalah kelompok thariqat yang selalu menjaga kebaikan hatinya untuk Allah semata, mereka tidak menyukai orang lain melihat amalnya-amalnya.
Bahkan ketika seseorang mengetahui kebaikannya, maka mereka segera merusak amal-amal tersebut yaitu dengan melakukan perbuatan atau perkataan yang kelihatannya tercela seperti yang dilakukan sebagian Auliya’ yaitu Ibrahim Al-Khawas.
Ketika beliau mulai dikenal baik, maka beliau mencuri. kejadian ini cukup untuk dipetik sebagai ilmu pengetahuan saja, bukan untuk dicontoh.Ketika itu penduduk kampungnya menganggap Ibrahim Al-Khawaas mencuri beberapa potong baju kepunyaan pangeran dari sebuah pemandian air hangat, mereka menjumpai Ibrahim dengan bangga keluar dari pemandian.
Kemudian ditangkap ramai-ramai oleh penduduk, dipukul dan baju-baju itu diambil kembali. Kemudian beliau mendapat julukan "pencuri pemandian air hangat".
Setelah kejadian itu, Ibrahim pun berucap, sekarang aku bisa nyaman berdiam di kampung ini.
فَإِن قلت مَا تَأْوِيله فِي لبس ثِيَاب الْغَيْر قلت يحْتَمل أَنه علم عَتبه وَرضَاهُ بل أرضاه وَإِن لم يعلم قلبه نظرا إِلَى الْغَالِب لِأَن من اطلع على بَاطِن عبد أَنه فِي غَايَة الصّلاح وَأَن لبسه هَذَا الزَّمن الْيَسِير ليطهر نَفسه من النّظر إِلَى الْخلق رضى لَهُ بذلك قطعا وَقد صرح الشَّافِعِي رَضِي الله عَنهُ بِأَنَّهُ يجوز أَخذ خلال وخلالين من مَال الْغَيْر نظرا إِلَى أَن ذَلِك مِمَّا يتَسَامَح بِهِ عَادَة ومسئلتنا أولى من ذَلِك لِأَن أَكثر النَّاس مجبولون على محبَّة هَذِه الطَّائِفَة بل كلهم منقادون إِلَى الصَّادِقين من أَهلهَا.
"Jika kamu bertanya, apa sebaiknya alasan yang tepat untuk diperbolehkan memakai pakaian orang lain (dalam peristiwa ini), maka saya katakan bahwa kemungkinan Ibrahim Al-Khawas telah mengetahui kadar kemarahan dan kerelaan pemiliknya,bahkan kejadian itu bisa menyebabkan kerelaannya, meskipun hatinya tidk mengethui secara pasti.
Namun hal itu bisa berdasar pada kebiasaan, karena jika si Pangeran tadi mengetahui kebaikan Syekh Ibrahim yang memakai pakaiannya dalam waktu sebentar, dengan tujuan membersihkan hati supaya tidak dipandang simpati oleh para mahluk, niscaya ia akan merelakannya.
Sungguh Imam as-Syafi'i telah menerangkan bahwa diperbolehkan mengambil 1 atau 2 cukil gigi (sedikit) dari harta orang lain, karena pada umumnya kejadian seperti ini bisa dimaafkan.
Sementara itu masalah yang sedang kita bicarakan ini lebih penting dari pada hanya sekedar mengambil cukil gigi, lagi pula kebanyakan manusia sangat menyukai kaum sufi atau bahkan menjadi pengikut setia dari kelompok mereka, jadi seakan mereka pasti rela akan yang dilakukan sufi. Berdasarkan apa yang tertulis dalam Al-Fatawa Al-Haditsiyyah.
Wali Malamatiyyah ini beragama dengan Aqallul Wajib yaitu hanya melakukan kewajiban saja. Maknanya, mereka tidak melaksanakan sholat sunnah qabliyah dan ba’diyah, sebab mereka berkebutuhan untuk merepresentasikan ajaran Islam yang normal kepada orang awam, sehingga mereka tidak keberatan dalam beragama.
Bahkan di antara mereka ada yang hanya memakai kaos oblong dan celana pendek saja (aqallul wajib fi al-aurat), guna menyesuaikan dengan masyarakat yang hendak didakwahi, serta menutupi kewaliannya.
Terkait Wali Malamatiyyyah ini, Abul Hasan Al-Syadzili pun pernah dibuat merasa heran dan janggal oleh perilaku wali ini, namun atas kekasyafannya, beliau diberi penjelasan oleh wali Malamatiyyah, sehingga lmam as-Syadzili tidak lagi meningkarinya.
Jadi, Wali Malamatiyyah itu tidak melanggar syariat, hanya saja mereka memframing diri dengan seadanya, agar tidak dikira seorang wali.
Nah, lantas siapakah yang berhak mengetahui kewalian dari golongan Malamatiyyah ini?
Menurut Ibn Araby di dalam kitab "الفتوحات المكية" bahwa maqam kewalian golongan Malamatiyyah ini tidaklah diketahui, melainkan oleh pimpinan Wali yang berada di atas maqam di atasnya.
Jumlah Wali-wali Malamatiyyah ini pun tidaklah diketahui secara pasti berapa banyaknya, sebab jumlah mereka menurut Ibn Arabi bisa bertambah dan bisa juga berkurang.
Jadi jelasnya, bahwa Wali Malamatiyyah itu adalah Wali yang tidak mungkin mendakwakan atau mengakui diri mereka sebagai seorang wali. Justru, maqam kewalian ini memiliki spesifikasi sebagai wali yang senang bersembunyi di bumi "Khumul" (menyembunyikan kedudukan), tidak menyenangi "Syuhrah" (populiritas) dan senang dalam keadaan "Mastur".
Bahkan, mereka senang membuat perilaku yang dicela orang bilamana diketahui atau muncul karomah-karomah mereka. Dengan demikian, tidak mungkin ada di antara golongan Malamatiyyah yang mengklaim dirinya sebagai sebagai Wali Malamatiyyah, sebab mereka salah satu golongan para Wali Allah yang disembunyikan Allah.
Para wali pada hakikatnya kata Ibn Arabi wajib menyembunyikan kewalian dan karomahnya. Berbeda dengan para Nabi dan Rasul yang wajib menyatakan serta menampakkan kenabian dan kerasulan mereka serta mukjizat yang mereka miliki sebagai bukti kebenaran risalah yang mereka bawa.
Jadi, adakah Wali Malamatiyyah yang mendakwakan atau mengaku dirinya sebagai wali?
Wallahu A'lam
(rhs)
No comments:
Post a Comment