Dosa-Dosa Media terhadap Palestina
Di tengah upaya mem-blow up peristiwa di Palestina, media mengalami titik kritis karena laporannya dianggap terlalu bias dan tidak utuh: menempatkan Israel sebagai korban dan Palestina sebagai pelaku
Pizaro Gozali Idrus
Penjajahan dan kekerasan struktural yang dilakukan Israel terhadap Palestina terus menjadi perhatian masyarakat internasional, termasuk pemerintah Indonesia. Berbagai kecaman dan kutukan telah dilancarkan komunitas global untuk menghentikan pelanggaran HAM yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi sudah menegaskan bahwa Indonesia tidak akan berhenti membantu perjuangan rakyat Palestina mencapai kemerdekaan, dan dukungan bagi perjuangan rakyat Palestinya menjadi salah satu prioritas dalam politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Menurut Retno, perjuangan Palestina selalu ada di jantung politik luar negeri Indonesia. Setiap helaan napas diplomasi Indonesia, di situ ada Palestina.
Di tengah upaya itu, media memiliki tempat sangat penting dalam menyuarakan perjuangan bangsa Palestina. Media juga telah ditasbihkan sebagai pilar keempat dalam demokrasi dan menyuarakan aspirasi bagi mereka yang tidak dapat bersuara (voice of voiceless).
Namun di tengah upaya mem-blow up peristiwa di Palestina, media juga mengalami titik kritis karena laporannya dianggap terlalu bias dan tidak utuh: menempatkan Israel sebagai korban dan Palestina sebagai pelaku.
Empat puluh tahun yang lalu, sarjana Palestina Amerika Edward Said sudah menyesalkan bagaimana media arus utama AS telah mengabaikan laporan UNESCO, yang mendokumentasikan kejahatan perang Israel terhadap komunitas sipil, termasuk sekolah, rumah sakit, dan kamp pengungsi.
Mantan diplomat Israel Ilan Baruch berpendapat Israel telah mendominasi narasi media Barat selama konflik 73 tahun. Menurut Baruch, Israel sangat sukses menawarkan narasi ke barat tanpa penilaian objektif (Al-Jazeera, 2021).
Bias Media dan Manipulasi Bahasa
Di dalam diskursus ini, penulis Denijal Jegic (2021) menyoroti bagaimana bias media-media –yang disebutnya sebagai bias kolonial – terjadi dalam peristiwa perampasan rumah dan pengusiran paksa bangsa Palestina di Sheikh Jarrah pada Meil 2018 lalu.
Alih-alih memberikan konteks historis dan politik dalam peristiwa itu, beberapa media lebih dominan menggunakan kata-kata metaporik seperti “clash”, “tension”, “night of chaos,” atau “bouts.” Seolah-olah pengusiran yag dilakukan Israel terjadi akibat bentrokan di antara kedua pihak. Meski fakta yang terjadi adalah perampasan hak sah tanah komunitas Palestina
Banyak berita utama media-media juga lebih memilih untuk menulis “bentrokan antara warga Palestina dan polisi Israel”.
Berita-berita ini mengaburkan akar kekerasan Israel yang seolah-olah peristiwa ini hanya insiden sementara dan bukan kekerasan structural dan sistematis. Alih-alih “bentrokan”, kebrutalan Israel adalah realisasi dari kelanjutan Nakba yang terus menggerus tanah bangsa Palestina.
Meskipun kekerasan Israel berhasil didokumentasikan oleh media, faktanya: warga Palestina masih diletakkan sebagai “pelaku” daripada “korban”. Saat, pasukan Israel menyerbu Masjid Al-Aqsha selama shalat tarawih, BBC, misalnya, mengklaim bahwa pengunjuk rasa “melemparkan batu ke arah polisi” dan petugas Israel “merespons dengan granat, peluru karet dan gas air mata.”
Berita ini seolah-seolah menempatkan bangsa Palestina sebagai pemicu kerusuhan tanpameletakkan konteks penjajahan struktural yang dilakukan zionis kepada Baitul Maqdis.
Eufimisme yang dilakukan media-media atas penjajahan Israel telah menciptakan situasi yang buruk bagi Palestina. Alih-alih menghadirkan realitas atas kondisi Palestina, bias media telah mengaburkan fakta-fakta penjajahan oleh Israel yang kian menjauhkan upaya Palestina untuk merdeka.
Sam Hamad (2021) menggarisbawahi bahwa selama beberapa dekade, banyak pihak fokus pada perdebatan dikotomi antara solusi satu negara dan dua negara. Namun yang ssebenarnya terjadi di lapangan adalah solusi ‘tanpa negara’ di mana Israel terus menentang pembentukan negara Palestina.
Dan hal ini bukanlah sesuatu yang baru sebab langkah Israel menjegal kemerdekaan Palestina sudah sejak lama, sebagaimana dikatakan Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan pada tahun 1970: “kita harus memberi tahu orang-orang Palestina, bahwa kita tidak punya solusi, Anda akan terus hidup seperti anjing, dan siapa pun yang mau, dapat pergi.”
Hamad juga mengatakan meskipun media, para pengamat dan politisi terus menyajikan apa yang terjadi di Palestina dan Israel sebagai ‘konflik’, bahasa ini tetap harus diubah.
Istilah konflik untuk menyebut penjajahan Israel atas Palestina tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Israel adalah negara adidaya di kawasan yang maju secara teknologi, kaya secara ekonomi, memiliki senjata nuklir dan mendapatkan dukungan dari AS dan negara-negara barat. Hal ini tentu tidak seimbang dengan perlawanan faksi-faksi Palestina yang tidak menimbulkan ancaman riil bagi Israel.
Israel menuduh musuh-musuhnya tidak mengakui ‘haknya untuk eksis’. Tetapi hal itu tidak lebi dari propaganda zionis untuk menyembunyikan fakta bahwa Israel lah yang tidak mengakui hak orang-orang Palestina untuk eksi dan berdaulat.
Sementara itu dalam kasus yang lain, penyematan istilah “perdamaian” juga banyak menimbulkan ruang untuk dikritisi. Kita lihat saja, saat Israel berhenti melakukan serangan, media banyak menyebut langkah itu sebagai “perdamaian”.
Saat itu terjadi, segala penindasan struktural, diskriminasi, perluasan pemukiman seolah-olah lenyap utnuk terus ditindaklanjuti dalam straight news maupun indepth-story. Apa konsekuensi dari hal ini? Media berubah menjadi platform yang “menjual” tiras di atas penderitaan bangsa Palestina, tanpa mau secara intensif memecahkan akar masalah dan kekerasan structural yang terjadi terhadap bangsa Palestina.
Ilmuwan politik Shanto Iyengar (1991) berpendapat taktik mengedepankan “a context of no context” umumnya digunakan oleh media untuk mencegah pembaca untuk menghubungkan titik-titik dari akar masalah yang terjadi. Dengan demikian, para pembaca akan abai untuk memahami akar penyebab konflik.
Penghancuran Israel terhadap gedung perkantoran di Gaza, yang menampung lebih dari belasan media internasional dan lokal bukanlah suatu kebetulan. Ini adalah upaya intimidasi langsung terhadap kerja-kerja pers yang peduli terhadap Palestina.
Serangan itu juga terjadi bersamaan dengan keterlibatan perusahaan media-media sosial yang menghapus konten ratusan akun pro-Palestina. Tujuannya adalah untuk membungkam suara-suara oposisi dan menawarkan liputan pro-Israel.
Palestina dan tantangan New Media
Selain persoalan di atas, tantangan bagi praktisi media adalah menyesuaikan apa yang disebut dengan teknologi media baru atau new media. Mc Quail (2011) mendefinikasikan media baru sebagai sejumlah perangkat teknologi komunikasi yang mendorong digitalisasi sebagai alat komunikasi.
Dalam hal ini, pola media tidak lagi konvensional dan cenderung meninggalkan televisi, radio, dan koran, serta berganti dengan saluran media sosial dan konten digital, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Podcast, streaming file video dan audio, televisi digital. Dll.
Menurut Friedman dan Friedman (2008) lima karakteristik yang penting dari teknologi media baru yakni komunikasi, kolaborasi, komunitas, kreativitas, dan konvergensi. Dari paparan di atas, maka pola-pola perjuangan bangsa Palestina di media perlu diperluas –tanpa juga meninggalkan pola media tradisional karena mereka tetap memiliki segmentasi khusus- sudah harus menyesukan dengan pendekatan media baru yang lebih dinamis.
Mahmood Monshipouri (2018), guru besar Hubungan Internasional dari San Fransisco State University, menyampaikan aktivisme digital kini menjadi tren bagi aktivisme modern dalam menyuaraikan aspirasi politik.
Dalam konteks Palestina, Monshipouri menyebut nama Janaa Jihad sebagai contoh utama. Pada 2015, saat perempuan Palestina itu berusia 10 tahun, Janaa berkontribusi besar dalam mendokumentasikan peningkatan kekerasan pada tahun 2015.
Janaa Jihad mengambil berperan sebagai jurnalis independen dan menggunakan camcorder untuk merekam dan mengunggah video yang menggambarkan realitas kehidupan Palestina sehari-hari di tanah. Video-videonya yang menggambarkan taktik tangan besi Tentara Israel (IDF) dan penindasan sistemik di Palestina.
Selain jurnalisme warga, media sosial juga menarik seniman dan aktivis untuk menyuarakan keprihatinan mereka tentang penindasan politik Israel di Palestina. Aktivis, musisi, dan rapper Mohammad Assaf membuat video music yang diunggah ke YouTube berjudul Dami Falasteeni. Video ini telah dilihat lebih dari empat juta kali saat kekerasan Israel memuncak pada 2015.
Pola-pola ini kedepan akan banyak mewarnai trend media dalam menyuarakan keadilan di Palestina. Tentunya terobosan ini perlu menjadi perhatian para aktivis dan praktisi media pro Palestina.
Dosen Media dan Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia. Aktivis Forum Media Palestina Indonesia
Referensi:
Denijal Jegic, Sheikh Jarrah: Western media outlets are whitewashing Israeli colonialism, TRT World: 2021. https://www.trtworld.com/opinion/sheikh-jarrah-western-media-outlets-are-whitewashing-israeli-colonialism-46593
Al Jazeera, Why the media fails to cover Palestine with accuracy and empathy, 2019. https://www.aljazeera.com/features/2019/3/17/why-the-media-fails-to-cover-palestine-with-accuracy-and-empathy
Sam Ahmad, What’s happening in Palestine is not conflict, it’s conquest, TRT World: 2021. https://www.trtworld.com/opinion/what-s-happening-in-palestine-is-not-conflict-it-s-conquest-46800
Tarek Cherkaoui, ANALYSIS – Holy Land, unholy reporting, Anadolu Agency: 2021. https://www.aa.com.tr/en/analysis/analysis-holy-land-unholy-reporting/2245671
BBC, Jerusalem: Many injured on second night of clashes, 2021. https://www.bbc.com/news/world-middle-east-57044000
Denis McQuail, Mass Communication Theory, SAGE: London, 2011
Linda Weiser Friedman and Hershey H. Friedman, The New
Media Technologies: Overview and Research Framework, SSRN
Electronic Journal · April 2008
Mahmood Monshipouri, Digital Activism in Perspective: Palestinian Resistance via Social Media, International Studies Journal (ISJ) / Vol. 14 / No. 4 / Spring 2018 / pp.37-57
Rep: Admin Hidcom
Editor: Insan Kamil
No comments:
Post a Comment