Kisah Amir bin Abdillah: Diusir Khalifah Utsman dari Bashrah karena Tidak Menikah
Amir bin Abdillah At-Tamimi adalah tabiin yang zuhud , murid sahabat Nabi Muhammad SAW Abu Musa Al-Asy’ari . Beliau tidak menikah, tidak makan daging dan keju. Gara-gara ini beliau menjadi korban hasutan. Akibatnya, beliau dipindahkan dari Bashrah ke Syam oleh Khalifah Utsman bin Affan .
Jauh sebelum Amir bin Abdillah diusir dari Bashrah, beliau membagi hidupnya menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah untuk halaqah zikir di masjid Bashrah yang di sana dibacakan dan diajarkan Al-Qur’an kepada manusia.
Kedua, beliau pergunakan untuk mengenyam manisnya ibadah, beliau pancangkan kedua kakinya berdiri di hadapan Allah hingga letih kedua telapak kakinya.
Ketiga, untuk terjun ke medan jihad, beliau menghunus pedangnya untuk berperang di jalan Allah. Seluruh umurnya tidak pernah absen sedikitpun dari tiga kesibukan tersebut, sehingga beliau dikenal sebagai abid (ahli ibadahnya) dan ahli zuhudnya penduduk Bashrah.
Dalam buku "Mereka adalah Para Tabiin" karya Dr Abdurrahman Ra'fat Basya diceritakan bahwa ahli ibadah ini tidak terhindar hasutan dan gangguan manusia.
"Beliau menghadapi risiko seperti yang biasa dialami oleh orang yang lantang menyuarakan kebenaran, mencegah kemungkaran dan berusaha untuk menghilangkannya," tutur Dr Abdurrahman Ra'fat Basya dalam buku yang berjudul asli "Shuwaru min Hayati At-Tabi'in" .
Peristiwa yang melatarbelakangi beliau mendapatkan hasutan tersebut bermula ketika beliau melihat salah seorang anak buah dan kepala polisi Bashrah sedang memegang leher seorang ahli dzimmah dan menariknya.
Sementara orang dzimmi tersebut berteriak meminta tolong kepada manusia: “Tolonglah aku semoga Allah menolong kalian! Tolonglah ahli dzimmah (yang dilindungi) Nabi kalian wahai kaum muslimin!”
Maka Amir bin Abdillah menghampininya dan bertanya: “Kamu sudah menunaikan jizyah yang menjadi kewajibanmu?”
Ahli dzimmah itu menjawab: "Ya, aku sudah menunaikannya.”
Amir menoleh kepada orang yang memegang leher ahli dzimmah tersebut dan bertanya: “Apa yang Anda inginkan darinya?"
Dia menjawab: “Aku ingin dia pergi bersamaku untuk membersihkan kebun milik kepala polisi.”
Amir bertanya kepada si dzimmi: “Anda berhasrat untuk kerja di tempat tesebut?”
Si dzimmi menjawab: “Tidak, karena tugas itu akan memeras tenagaku dan aku tidak bisa mencari makan untuk keluargaku!”
Lalu Amir menoleh lagi kepada laki-laki yang memegang leher dzimmi tersebut: “Lepaskan dia!”
Ia menjawab: “Aku tidak akan melepaskannya.”
Maka tidak ada pilihan bagi Amir selain menyelamatkan orang dzimmi tersebut sembari berkata: “Demi Allah, tidak boleh perjanjian orang dzimmi (untuk dilindungi) dengan Nabi Muhammad dibatalkan selagi saya masih hidup.”
Kemudian berkumpullah manusia dan turut membantu Amir mengalahkan polisi itu dan akhirnya selamatlah orang dzimmi tersebut. Sebagai pelampiasannya teman-teman petugas polisi tersebut menuduh Amir sebagai orang yang tidak taat pemerintah dan keluar dan ahlus sunnah wal jama’ah.
Mereka berkata: “Dia tidak mau menikah dengan wanita, tidak mau makan daging hewan dan susunya. Tidak mau menghadiri pertemuan yang diadakan pemerintah..” Dan mereka mengadukan persoalan tersebut kepada amirul mukminin Utsman bin Affan.
Khalifah memerintahkan wali Bashrah untuk memanggil Amir bin Abdillah dan meminta keterangan kepadanya perihal tuduhan yang ditujukan atasnya, lalu hasilnya agar dilaporkan kepada khalifah. Maka wali Bashrah memanggil Amir dan berkata: "Sesungguhnya amirul mukminin telah menyuruhku bertanya kepadamu perihal perkara-perkara yang dituduhkan kepada Anda.”
Amir menjawab: “Silakan Anda bertanya sesuai dengan yang diinginkan amirul mukminin.”
Lalu wali Bashrah bertanya: "Mengapa Anda menjauhi sunnah Rasulullah dan tidak mau menikah?”
Beliau menjawab: “Aku tidak menikah bukan karena ingin menyimpang dan sunnah Rasulullah karena aku tahu bahwa tidak ada kerahiban (hidup membujang untuk beribadah) dalam Islam. Namun aku hanya memiliki satu jiwa saja, maka aku jadikan ia untuk Allah dan aku hawatir jika istriku kelak akan niengalahkan hal itu.”
Wali berkata: “Lalu mengapa Anda tidak mau makan daging?”
Beliau menjawab: “Aku bersedia memakannya bila aku berselera dan aku mendapatkannya. Namun apabila aku tidak berselera atau aku berselera namun tidak mendapatkannya maka aku tidak memakannya.”
Beliau ditanya lagi: “Mengapa Anda tidak mau makan keju?”
Beliau menjawab: “Sesungguhnya di daerah saya banyak tinggal orang-orang Majusi yang membuat keju, mereka adalah suatu kaum yang tidak membedakan antara bangkai dengan hewan yang disembelih, sehingga saya khawatir jika minyak yang merupakan satu bagian dari bahan pembuat keju berasal dari hewan yang tidak disembelih. Jika telah ada dua orang muslim yang melihat bahwa keju tersebut dibuat dari minyak hewan yang disembelih, tentulah aku akan memakannya.”
Beliau ditanya: “Apa yang menghalangi Anda untuk mendatangi pertemuan yang diadakan pemerintah dan menyaksikannya?”
Beliau menjawab: “Sesungguhnya di depan pintu kalian begitu banyak orang yang ingin dipenuhi hajatnya, maka undanglah mereka ke tempat kalian dan cukupilah kebutuhan mereka dengan apa yang kalian punya, dan biarkanlah orang yang tidak meminta kebutuhan kepada kalian.”
Usai pertemuan tersebut, jawaban Amir bin Abdillah ini dilaporkan pada amirul mukminin Utsman bin Affan dan khalifah memandang tidak ada indikasi menyimpang dan ketaatan atau keluar dari ahlus sunnah wal jama’ah pada diri Amir.
Hanya saja api kejahatan belum padam sampai di situ, isu yang membicarakan keburukan Amir bin Abdillah makin gencar, hingga nyaris saja terjadi fitnah antara pembela beliau dengan orang-orang yang menjadi saingannya, lalu Utsman bin Affan memerintahkan beliau untuk berpindah ke negeri Syam dan menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggalnya.
Khalifah mewasiatkan wali kota Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk menyambut baik kedatangan dan menjaga kehormatannya.
Sampailah hari di mana Amir bin Abdillah memutuskan untuk pindah dari Bashrah. Para sahabat dan murid-murid beliau keluar untuk mengucapkan perpisahan dengan beliau.
Mereka mengantar beliau hingga sampai di Marbad, setibanya di sana beliau berkata kepada mereka: “Sesungguhnya saya adalah penyeru maka jagalah seruanku.”
Lalu orang-orang melongok agar dapat melihat beliau dan mereka tenang tak bergerak dan mata mereka tertuju kepada beliau, sementara beliau mengangkat kedua tangannya dan berdo’a: "Ya Allah, orang yang telah menghasut dan mendustaiku serta menjadi sebab terusirnya aku dan negeriku, memisahkan antara diriku dengan para sahabatku, ya Allah sesungguhnya aku telah memaafkannya, maka maafkanlah dia. Berilah ia karunia kesehatan dalam agama dan dunianya. Limpahkanlah aku, dia dan juga seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, ampunan-Mu dan kebaikan-Mu wahai Yang Paling pengasih” kemudian beliau mengarahkan kendaraannya menuju Syam.
Amir bin Abdillah memutuskan hidup di negeri Syam untuk mengisi sisa-sisa umurnya. Beliau memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal dan beliau mendapatkan perlakuan baik dan pemimpin Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dihormati dan dihargai.
Akhir Hayat
Tatkala beliau sakit menjelang wafatnya, para sahabat beliau menjenguknya dan mereka mendapatkan beliau sedang menangis. Mereka bertanya: “Apa yang menyebabkan Anda menangis, padahal Anda memiliki keutamaan ini dan itu?”
Beliau menjawab: "Demi Allah aku menangis bukan karena ingin hidup lama di dunia atau takut menghadapi kematian, akan tetapi aku menangis karena jauhnya perjalanan dan alangkah sedikitnya bekal. Sungguh, aku berada di antara tebing dan jurang… bisa jadi ke jannah bisa jadi pula tergelincir ke neraka, aku tidak tahu di mana aku akan sampai...”
Kemudian beliau menghela nafas pelan sedang lisannya basah dengan zikrullah. Di sana, di kiblat yang pertama, Haramain yang ketiga, tempat Rasul melakukan isra’ Amir bin Abdilah At-Tamimi berdiam diri.
Jauh sebelum Amir bin Abdillah diusir dari Bashrah, beliau membagi hidupnya menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah untuk halaqah zikir di masjid Bashrah yang di sana dibacakan dan diajarkan Al-Qur’an kepada manusia.
Kedua, beliau pergunakan untuk mengenyam manisnya ibadah, beliau pancangkan kedua kakinya berdiri di hadapan Allah hingga letih kedua telapak kakinya.
Ketiga, untuk terjun ke medan jihad, beliau menghunus pedangnya untuk berperang di jalan Allah. Seluruh umurnya tidak pernah absen sedikitpun dari tiga kesibukan tersebut, sehingga beliau dikenal sebagai abid (ahli ibadahnya) dan ahli zuhudnya penduduk Bashrah.
Dalam buku "Mereka adalah Para Tabiin" karya Dr Abdurrahman Ra'fat Basya diceritakan bahwa ahli ibadah ini tidak terhindar hasutan dan gangguan manusia.
"Beliau menghadapi risiko seperti yang biasa dialami oleh orang yang lantang menyuarakan kebenaran, mencegah kemungkaran dan berusaha untuk menghilangkannya," tutur Dr Abdurrahman Ra'fat Basya dalam buku yang berjudul asli "Shuwaru min Hayati At-Tabi'in" .
Peristiwa yang melatarbelakangi beliau mendapatkan hasutan tersebut bermula ketika beliau melihat salah seorang anak buah dan kepala polisi Bashrah sedang memegang leher seorang ahli dzimmah dan menariknya.
Sementara orang dzimmi tersebut berteriak meminta tolong kepada manusia: “Tolonglah aku semoga Allah menolong kalian! Tolonglah ahli dzimmah (yang dilindungi) Nabi kalian wahai kaum muslimin!”
Maka Amir bin Abdillah menghampininya dan bertanya: “Kamu sudah menunaikan jizyah yang menjadi kewajibanmu?”
Ahli dzimmah itu menjawab: "Ya, aku sudah menunaikannya.”
Amir menoleh kepada orang yang memegang leher ahli dzimmah tersebut dan bertanya: “Apa yang Anda inginkan darinya?"
Dia menjawab: “Aku ingin dia pergi bersamaku untuk membersihkan kebun milik kepala polisi.”
Amir bertanya kepada si dzimmi: “Anda berhasrat untuk kerja di tempat tesebut?”
Si dzimmi menjawab: “Tidak, karena tugas itu akan memeras tenagaku dan aku tidak bisa mencari makan untuk keluargaku!”
Lalu Amir menoleh lagi kepada laki-laki yang memegang leher dzimmi tersebut: “Lepaskan dia!”
Ia menjawab: “Aku tidak akan melepaskannya.”
Maka tidak ada pilihan bagi Amir selain menyelamatkan orang dzimmi tersebut sembari berkata: “Demi Allah, tidak boleh perjanjian orang dzimmi (untuk dilindungi) dengan Nabi Muhammad dibatalkan selagi saya masih hidup.”
Kemudian berkumpullah manusia dan turut membantu Amir mengalahkan polisi itu dan akhirnya selamatlah orang dzimmi tersebut. Sebagai pelampiasannya teman-teman petugas polisi tersebut menuduh Amir sebagai orang yang tidak taat pemerintah dan keluar dan ahlus sunnah wal jama’ah.
Mereka berkata: “Dia tidak mau menikah dengan wanita, tidak mau makan daging hewan dan susunya. Tidak mau menghadiri pertemuan yang diadakan pemerintah..” Dan mereka mengadukan persoalan tersebut kepada amirul mukminin Utsman bin Affan.
Khalifah memerintahkan wali Bashrah untuk memanggil Amir bin Abdillah dan meminta keterangan kepadanya perihal tuduhan yang ditujukan atasnya, lalu hasilnya agar dilaporkan kepada khalifah. Maka wali Bashrah memanggil Amir dan berkata: "Sesungguhnya amirul mukminin telah menyuruhku bertanya kepadamu perihal perkara-perkara yang dituduhkan kepada Anda.”
Amir menjawab: “Silakan Anda bertanya sesuai dengan yang diinginkan amirul mukminin.”
Lalu wali Bashrah bertanya: "Mengapa Anda menjauhi sunnah Rasulullah dan tidak mau menikah?”
Beliau menjawab: “Aku tidak menikah bukan karena ingin menyimpang dan sunnah Rasulullah karena aku tahu bahwa tidak ada kerahiban (hidup membujang untuk beribadah) dalam Islam. Namun aku hanya memiliki satu jiwa saja, maka aku jadikan ia untuk Allah dan aku hawatir jika istriku kelak akan niengalahkan hal itu.”
Wali berkata: “Lalu mengapa Anda tidak mau makan daging?”
Beliau menjawab: “Aku bersedia memakannya bila aku berselera dan aku mendapatkannya. Namun apabila aku tidak berselera atau aku berselera namun tidak mendapatkannya maka aku tidak memakannya.”
Beliau ditanya lagi: “Mengapa Anda tidak mau makan keju?”
Beliau menjawab: “Sesungguhnya di daerah saya banyak tinggal orang-orang Majusi yang membuat keju, mereka adalah suatu kaum yang tidak membedakan antara bangkai dengan hewan yang disembelih, sehingga saya khawatir jika minyak yang merupakan satu bagian dari bahan pembuat keju berasal dari hewan yang tidak disembelih. Jika telah ada dua orang muslim yang melihat bahwa keju tersebut dibuat dari minyak hewan yang disembelih, tentulah aku akan memakannya.”
Beliau ditanya: “Apa yang menghalangi Anda untuk mendatangi pertemuan yang diadakan pemerintah dan menyaksikannya?”
Beliau menjawab: “Sesungguhnya di depan pintu kalian begitu banyak orang yang ingin dipenuhi hajatnya, maka undanglah mereka ke tempat kalian dan cukupilah kebutuhan mereka dengan apa yang kalian punya, dan biarkanlah orang yang tidak meminta kebutuhan kepada kalian.”
Usai pertemuan tersebut, jawaban Amir bin Abdillah ini dilaporkan pada amirul mukminin Utsman bin Affan dan khalifah memandang tidak ada indikasi menyimpang dan ketaatan atau keluar dari ahlus sunnah wal jama’ah pada diri Amir.
Hanya saja api kejahatan belum padam sampai di situ, isu yang membicarakan keburukan Amir bin Abdillah makin gencar, hingga nyaris saja terjadi fitnah antara pembela beliau dengan orang-orang yang menjadi saingannya, lalu Utsman bin Affan memerintahkan beliau untuk berpindah ke negeri Syam dan menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggalnya.
Khalifah mewasiatkan wali kota Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk menyambut baik kedatangan dan menjaga kehormatannya.
Sampailah hari di mana Amir bin Abdillah memutuskan untuk pindah dari Bashrah. Para sahabat dan murid-murid beliau keluar untuk mengucapkan perpisahan dengan beliau.
Mereka mengantar beliau hingga sampai di Marbad, setibanya di sana beliau berkata kepada mereka: “Sesungguhnya saya adalah penyeru maka jagalah seruanku.”
Lalu orang-orang melongok agar dapat melihat beliau dan mereka tenang tak bergerak dan mata mereka tertuju kepada beliau, sementara beliau mengangkat kedua tangannya dan berdo’a: "Ya Allah, orang yang telah menghasut dan mendustaiku serta menjadi sebab terusirnya aku dan negeriku, memisahkan antara diriku dengan para sahabatku, ya Allah sesungguhnya aku telah memaafkannya, maka maafkanlah dia. Berilah ia karunia kesehatan dalam agama dan dunianya. Limpahkanlah aku, dia dan juga seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, ampunan-Mu dan kebaikan-Mu wahai Yang Paling pengasih” kemudian beliau mengarahkan kendaraannya menuju Syam.
Amir bin Abdillah memutuskan hidup di negeri Syam untuk mengisi sisa-sisa umurnya. Beliau memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal dan beliau mendapatkan perlakuan baik dan pemimpin Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dihormati dan dihargai.
Akhir Hayat
Tatkala beliau sakit menjelang wafatnya, para sahabat beliau menjenguknya dan mereka mendapatkan beliau sedang menangis. Mereka bertanya: “Apa yang menyebabkan Anda menangis, padahal Anda memiliki keutamaan ini dan itu?”
Beliau menjawab: "Demi Allah aku menangis bukan karena ingin hidup lama di dunia atau takut menghadapi kematian, akan tetapi aku menangis karena jauhnya perjalanan dan alangkah sedikitnya bekal. Sungguh, aku berada di antara tebing dan jurang… bisa jadi ke jannah bisa jadi pula tergelincir ke neraka, aku tidak tahu di mana aku akan sampai...”
Kemudian beliau menghela nafas pelan sedang lisannya basah dengan zikrullah. Di sana, di kiblat yang pertama, Haramain yang ketiga, tempat Rasul melakukan isra’ Amir bin Abdilah At-Tamimi berdiam diri.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment