Kisah Mush’ab bin Umair: Bapak Tauhid yang Sukses Membuka Jalan Hijrah Nabi Muhammad SAW

Kisah Mush’ab bin Umair: Bapak Tauhid yang Sukses Membuka Jalan Hijrah Nabi Muhammad SAW
Mushab bin Umar adalah duta Islam pertama di Madinah. Beliau syahid dalam perang Uhud. Foto/Ilustrasi: Ist
Pada suatu ketika Rasulullah SAW memilih Mush’ab bin Umair untuk melakukan suatu tugas mahapenting. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasulullah di bukit ‘Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut Agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai peristiwa besar.

Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya yang telah dialihbahasakan Mahyuddin Syaf dkk dengan judul "Karakteristik Perihidup 60 sahabat Rasulullah" menyebutkan sebenarnya, di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah SAW daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah SAW menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik”.

Rasulullah bukannya tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tepatan atau kota hijrah, pusat para dai dan dakwah, tempat berhimpunnya penyebar agama dan pembela al-Islam.

Sesampainya di Madinah, Mush’ab mendapati kaum Muslimin di sana tidak lebih dari 12 orang, yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit ‘Aqabah. Hanya dalam beberapa bulan saja, sejak kedatangan Mush’ab, jumlah itu meningkat pesat.

Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat kitab suci dari Allah, menyampaikan kalimattullah “bahwa Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati.

Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta sahabatnya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiba tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah.

Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Usaid murka menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan Yang Maha Esa.

Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan takut. Tetapi Mush’ab tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah.

Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan As’ad bin Zararah, sembari berteriak: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!”

Mush’ab menyambut kemarahan Usaid dengan senyum. Katanya: “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”

Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berpikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengar dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyarakat mereka untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.

“Sekarang saya insaf,” ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan.

Mush’ab pun membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dan menguraikannya. Dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya, Usaid berseru kepadanya dan kepada sahabatnya: “Alangkah indah dan benarnya ucapan itu! Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini?”

Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab: “Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah”.

Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.

Secepatnya berita itu pun tersiar. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. Dan setelah mendengar uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula. Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah.

Warga kota Madinah berdatangan dan saling tanya sesama mereka: “Jika Usaid bin Hudlair, Sa’ad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu …. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!”

Demikianlah duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya. Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah.

Pada musim haji berikutnya dari perjanjian ‘Aqabah, kaum Muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair.

Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah SAW atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus.

Sahid di Uhud
Pada perang Uhud , Rasulullah berdiri di tengah barisan, menatap setiap wajah orang beriman, menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera. Maka terpanggillah Mush’ab. Ia tampil sebagai pembawa bendera.

Pada saat pasukan berkuda Quraisy menyerang ke arah Rasulullah, Mush’ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan aungan singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah SAW.

Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mush’ab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah.

Ibnu Sa’ad sebagai saksi kehebatan Mush’ab bin Umair bercerita, bahwa pemuda ini adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya. Ia menebas tangannya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”.

Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mushab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”.

Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mushab pun gugur, dan bendera jatuh“. la gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada.

Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya.

Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush’ab, bercucuranlah dengan deras air matanya.

Berkata Khabbah ibnul ‘Urrat: “Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah SAW dengan mengharap keridlaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Di antara kami ada yang telah berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun juga. Di antaranya ialah Mushab bin Umair yang tewas di perang Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya.

Maka sabda Rasulullah SAW: “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idzkhir!”

Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, Rasulullah bersabda: Ketika di Mekkah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari padamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah.

Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu ke arah medan serta para syuhada kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru: Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari kiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada di sisi Allah. Kemudian sambil berpaling ke arah sahabat yang masih hidup, beliau bersabda: Hai manusia! Berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam! Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari kiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya.

Salam atasmu wahai Mush’ab. Salam atasmu wahai para syuhada...
(mhy)Miftah H. Yusufpati  

 

Kisah Mush’ab bin Umair

Kisah Mush’ab bin Umair: Bapak Tauhid yang Sukses Membuka Jalan Hijrah Nabi Muhammad SAW

loading...
Kisah Mush’ab bin Umair: Bapak Tauhid yang Sukses Membuka Jalan Hijrah Nabi Muhammad SAW
Mushab bin Umar adalah duta Islam pertama di Madinah. Beliau syahid dalam perang Uhud. Foto/Ilustrasi: Ist
Pada suatu ketika Rasulullah SAW memilih Mush’ab bin Umair untuk melakukan suatu tugas mahapenting. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasulullah di bukit ‘Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut Agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai peristiwa besar.

Baca juga: Berapakah Jumlah Sahabat Nabi Muhammad SAW?

Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya yang telah dialihbahasakan Mahyuddin Syaf dkk dengan judul "Karakteristik Perihidup 60 sahabat Rasulullah" menyebutkan sebenarnya, di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah SAW daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah SAW menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik”.

Rasulullah bukannya tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tepatan atau kota hijrah, pusat para dai dan dakwah, tempat berhimpunnya penyebar agama dan pembela al-Islam.

Sesampainya di Madinah, Mush’ab mendapati kaum Muslimin di sana tidak lebih dari 12 orang, yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit ‘Aqabah. Hanya dalam beberapa bulan saja, sejak kedatangan Mush’ab, jumlah itu meningkat pesat.

Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat kitab suci dari Allah, menyampaikan kalimattullah “bahwa Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati.

Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta sahabatnya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiba tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah.

Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Usaid murka menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan Yang Maha Esa.

Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan takut. Tetapi Mush’ab tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah.

Baca juga: Ini Mengapa Ada Larangan Mencela Sahabat Nabi?

Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan As’ad bin Zararah, sembari berteriak: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!”

Mush’ab menyambut kemarahan Usaid dengan senyum. Katanya: “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”

Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berpikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengar dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyarakat mereka untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.

“Sekarang saya insaf,” ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan.

Mush’ab pun membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dan menguraikannya. Dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya, Usaid berseru kepadanya dan kepada sahabatnya: “Alangkah indah dan benarnya ucapan itu! Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini?”

Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab: “Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah”.

Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.

Secepatnya berita itu pun tersiar. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. Dan setelah mendengar uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula. Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah.

Baca juga: Ini Alasan Kenapa Sahabat Nabi Tidak Bermazhab

Warga kota Madinah berdatangan dan saling tanya sesama mereka: “Jika Usaid bin Hudlair, Sa’ad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu …. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!”

Demikianlah duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya. Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah.

Pada musim haji berikutnya dari perjanjian ‘Aqabah, kaum Muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair.

Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah SAW atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus.

Sahid di Uhud
Pada perang Uhud , Rasulullah berdiri di tengah barisan, menatap setiap wajah orang beriman, menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera. Maka terpanggillah Mush’ab. Ia tampil sebagai pembawa bendera.

Pada saat pasukan berkuda Quraisy menyerang ke arah Rasulullah, Mush’ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan aungan singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah SAW.

Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mush’ab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah.

Baca juga: Inilah Sahabat Nabi yang Wajahnya Menyerupai Malaikat Jibril

Ibnu Sa’ad sebagai saksi kehebatan Mush’ab bin Umair bercerita, bahwa pemuda ini adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya. Ia menebas tangannya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”.

Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mushab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”.

Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mushab pun gugur, dan bendera jatuh“. la gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada.

Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya.

Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush’ab, bercucuranlah dengan deras air matanya.

Berkata Khabbah ibnul ‘Urrat: “Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah SAW dengan mengharap keridlaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Di antara kami ada yang telah berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun juga. Di antaranya ialah Mushab bin Umair yang tewas di perang Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya.

Maka sabda Rasulullah SAW: “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idzkhir!”

Baca juga: Kisah Perempuan di Perang Uhud yang Mengkhawatirkan Rasulullah

Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, Rasulullah bersabda: Ketika di Mekkah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari padamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah.

Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu ke arah medan serta para syuhada kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru: Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari kiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada di sisi Allah. Kemudian sambil berpaling ke arah sahabat yang masih hidup, beliau bersabda: Hai manusia! Berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam! Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari kiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya.

Salam atasmu wahai Mush’ab. Salam atasmu wahai para syuhada...

Baca juga: Dzikir 70 Sahabat Nabi Saat Perang Uhud: Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: