Kisah Ulama Salaf dan Ramadhan (1): Demi Sedekah, Rela Tidak Makan
Ibnu Mubarak saat safar memberikan aneka makanan kepada para sahabatnya, sedangkan ia sendiri tetap berpuasa. Inilah kisah ulama salaf dan Ramadhan
PUASA, tilawah al-Qur`an, dan sedekah adalah amalan-amalan yang berhubungan erat satu sama lain, lebih-lebih saat bulan Ramadhan. Itulah sebabnya para ulama terdahulu amat memperhatikan amalan ini. Kisah kedermawanan para ulama salaf ini mencotoh sikap Rasulullah ﷺ .
Ibnu Abbas RA berkata, “Rasulullah ﷺ merupakan manusia paling dermawan dalam kebaikan. Dan kedermawanan Rasulullah paling besar saat bertemu Jibril AS menemuinya. Dan Jibril menemuinya setiap malam di bulan Ramadhan hingga berakhir.
Sedangkan Nabi ﷺ membaca al-Qur`an kepadanya. Jika Jibril menemuinya, maka ia adalah manusia paling dermawan dalam kebaikan melebihi angin yang dihembuskan.” (Riwayat Bukhari).
Imam Bukhari menyebutkan hadits tersebut dengan judul “Kedermawanan Rasulullah ﷺ Paling Besar Saat Ramadhan”.
Ibnu al-Manayyir menjelaskan tentang penyerupaan “angin yang dihembuskan” dengan kedermawanan Rasulullah ﷺ saat Ramadhan. Maksud penyerupaan tersebut adalah bentuk kasih sayang Allah SWT untuk menurunkan hujan merata yang membawa kebaikan, dimana hal itu menyebabkan hidupnya kembali tanah di bumi, baik yang kering maupun yang basah.
Sedangkan kedermawanan Rasulullah dirasakan oleh seluruh manusia, baik yang faqir maupun yang kaya, dan itu lebih lebih merata daripada “angin yang dihembuskan”. ( dalam Fath al-Bari, 4/139).
Kedermawanan Rasulullah ﷺ mencakup segala bentuk kedermawanan, baik dalam masalah ilmu, harta, dan dengan segala jiwanya. Semua itu dilakukan dalam rangka meninggikan dien Allah SWT serta menebarkan hidayah kepada hamba-Nya.
Juga menghadirkan kemanfaatan bagi hamba-hamba-Nya melalui berbagai jalan, dengan memberi makan kepada mereka yang lapar, memberi nasihat kepada mereka yang tidak tahu, menunaikan hajat mereka, serta menanggung seluruh beban mereka. (dalam Lathaif al-Ma’arif, hal 306).
Enam Fadhilah Sedekah
Meningkatkan kedermawan di bulan Ramadhan sangat dianjurkan karena beberapa fadhilah (manfaat). Sayang sekali jika kita melewatkannya begitu saja.
Pertama, keutamaan Ramadhan itu sendiri. Amal shaleh yang dikerjakan di bulan suci akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda.
Kedua, termasuk bagian dari membantu orang-orang yang berpuasa. Jika melakukan hal itu, maka seorang hamba akan mendapatkan pahala seperti para pelaku kebaikan.
Ketiga, menggabungkan antara puasa dengan sedekah. Barangsiapa melakukan hal itu, maka Allah SWT memberi balasan surga.
Keempat, menggabungkan antara puasa dan sedekah adalah cara yang paling ampuh dalam menghapus dosa.
Kelima, sedekah menutupi kekurangan yang ada dalam puasa. Ketika puasa yang dilakukan tidak sempurna karena amalan-amalan buruk yang dikerjakan oleh seorang hamba, maka sedekah bisa menutupinya.
Keenam, salah satu hikmah puasa adalah merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang kekurangan. Dengan demikian seorang memiliki empati kepada orang-orang miskin, sehingga ia lebih mudah untuk bersedekah. (dalam Lathaif al-Ma’arif, hal 314).
Kisah Sedekah Para Ulama Salaf
Begitu besarnya perhatian kalangan ulama terdahulu terhadap amalan sedekah di bulan Ramadhan. Bahkan mereka kerapkali harus mengalah dan mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri.
Ada kisah seorang yang shaleh dari kaum terdahulu. Kala itu ia sedang berpuasa dan sangat ingin menikmati makanan ketika berbuka. Ia pun menyiapkan makanan.
Saat tiba waktu berbuka, datanglah seorang pengemis yang meminta-minta seraya berkata, “Siapa yang hendak menghitungi Yang Maha Pemberi, Maha Menepati, dan Maha Kaya?”
Akhirnya orang shaleh itu pun menyahut, “Hamba-Nya yang miskin akan kebaikan.”
Lalu ia pun keluar dengan membawa piringnya menuju kepada si peminta. Malam itu, orang shaleh akhirnya tertidur dalam keadaan lapar.
Hal serupa dilakukan oleh Imam Ahmad. Ketika itu ia tengah menyiapkan dua potong roti untuk berbuka puasa. Datanglah peminta-minta. Akhirnya dua potong roti yang telah siap disantap itu pun diberikan. Akibatnya, Imam Ahmad tidak bisa berbuka dengan menyantap roti, hingga paginya berpuasa.
Imam Hasan al-Bashri juga pernah melakukannya. Ia memberikan makanan kepada para sahabatnya padahal ia sendiri dalam keadaan puasa sunnah. Saat itu Imam Hasan al-Bashri ikut duduk bersama para sahabatnya demi memberikan kenyamanan bagi mereka, sedangkan mereka menikmati hidangan makanan.
Sedangkan Ibnu Mubarak ketika dalam keadaan safar, tak menghalanginya untuk memberikan makanan kepada para sahabatnya dengan berbagai macam hidangan. Padahal saat itu ia sedang berpuasa.
Ketika Ibnu Umar berpuasa, ia tidak berbuka kecuali dengan para fuqara. Jika keluarganya tidak menghendaki demikian, maka ia memilih tidak makan malam.
Jika datang peminta-minta, sedangkan ia ada di meja makan bersama keluarganya, maka ia pun membawa bagiannya ke luar untuk diberikan kepada peminta itu.
Apa yang tersisa di meja makan kemudian dimakan semua oleh keluarganya, hingga akhirnya keesokan hari Ibnu Umar berpuasa dalam keadaan belum makan. (Lathaif al-Ma’arif, hal 314).*/Thoriq
No comments:
Post a Comment