Sejarah Munculnya Shalat Tarawih Berjamaah

 

Sejarah munculnya shalat tarawih muncul ketika masa khalifah Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu beliau menetapkan praktek shalat tarawih berjamaah melalui satu imam

SETIAP Ramadhan seluruh umat Islam shalat berjamaah di masjid, namun sedikit yang tahu latar belakang sejarah munculnya shalat tarawih berjamaah.

Secara bahasa, kata taroowiih, adalah bentuk jamak dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai “waktu sesaat untuk istirahat”. Namun “istirahat” yang dimaksud di sini adalah dalam bentuk duduk dengan jeda waktu agak lama di antara rangkaian raka’at-raka’at shalat.

Dimana istilah untuk menyebut duduk setelah menyelesaikan 4 raka’at shalat di malam bulan Ramadhan dengan 2 salam, disebut dengan tarwihah, karena orang-orang beristirahat setiap empat raka’at.

Adapun secara fiqih menurut Kementrian Agama Kuwait, (al-Mausu’ah al-Fiqqyyah al-Kwaitiyyah; 27:135.), shalat tarawih didefinisikan sebagaimana berikut:

شهر رمضان ، م م ، على اختلاف بين 1 قيام

الفقهاء في عدد ركعاها ، وفي غير ذلك من مسائلها .

Qiyam Ramadhan (shalat sunnah yang hanya dilakukan pada malam bulan Ramadhan), dengan dua-dua raka’at, di mana para ulama berbeda pendapat tentang jumlah raka’atnya dan masalahmasalah lainnya.”

Dalam sejarahnya, shalat-shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan ini tidak dikenal dengan istilah shalat tarawih pada masa Rasulullah ﷺ dan khalifah pertamanya, Abu Bakar ash-Shiddiq – radhiyallahu ‘anhu.

Juga karena memang tidak ditemukan hadits gowli (sabda) yang datang langsung dari Nabi ﷺ yang menyebutnya secara eksplisit dengan istilah shalat tarawih. Namun yang lebih dikenal adalah Qiyam Ramadhan, yakni melakukan aktifitas berdiri di malam bulan Ramadhan dalam bentuk ibadah shalat.

Munculnya nama shalat tarawih sebagai istilah yang dipakai oleh banyak atau hampir seluruh ulama untuk menyebut shalat sunah malam Ramadhan atau Qilyam Ramadhan ini bisa jadi ada beberapa kemungkinan.

Salah satunya berdasarkan apa yang terjadi pada masa khalifah Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu — Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al Marwadzi (w. 249 H) dalam kitabnya, Mukhtashar Qiyam Ramadhan.

الخس – رحمه الله – قال: أن عمر بن الخطاب

الله عنه – أهم الله عنه – أمر أبا – – رضي في رمضان. فكانوا ينامون وثة الليل ويومون بعي وينصفون يوثع إشځورهم وحوائجهه. وكان يقرأ ييم خمس آیات و آیات في كل ركعة. ويصلي هم مانية شر شفعا له في كل العتين. ويوهم قدر ما بیت المتوضئ ويقضي حاجته .

Dari al-Hasan – rahimahullah, ia berkata: Umar bin Khattab Ra memerintahkan Ubay bin Kaa’b untuk menjadi imam pada Qiyam Ramadhan, dan mereka tidur di seperempat pertama malam. Lalu mengerjakan shalat dan malam setelahnya. Dan selesai di malam terakhir mereka pun pulang dan sahur. Mereka membaca 5 sampai 6 ayat pada setiap rakaat. Dan shalat dengan 18 raka’at yang serta membaca salam pada setiap 2 raka’at. Di sela-sela shalat, ia memberikan mereka waktu istirahat untuk sekedar berwudhu dan menunaikan hajat mereka. (Muhammad bin Nashr al-Marwazi, Mukhtashar Qiyam al-Lail wa Qiyam Ramadhan wa Kitab al-Witr. (Faishal Abad: Hadits Akadimi, 108 1988)).

Dalam riwayat di atas, Ubay bin Ka’ab radhiyailahu ‘anhu– diperintah oleh khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu – untuk menjadi imam Qiyam Ramadhan dengan bacaan 5 sampai 6 ayat di setiap raka’at. Dan setelah 2 raka’at mereka beristirahat sebagai mana disebutkan dalam sebagian redaksi riwayat tersebut:

وروځهم قدر ما يتوضأ المتوضئ ويقضي حاجته

la memberikan mereka waktu istirahat untuk sekedar berwudhu dan menunaikan hajat mereka.

Dengan demikian, jika shalat dikerjakan dengan 18 raka’at, mereka mendapatkan 9 kali tarwih (waktu istirahat). Dan kalau shalat itu dikerjakan dengan 20 raka’at, maka tarwih yang ada menjadi 10 kali tarwih.

Apalagi jika ditambah dengan 3 raka’at witir yang formatnya dua raka’at plus satu raka’at. Itu berarti tarwih manjadi 12 kali. Karena itulah shalat ini dinamakan shalat tarwih (yang kit abaca TARAWIH) yang bermakna secara bahasa, shalat yang banyak istirahat. Karena di dalamnya imam memberikan banyak tarwih alias istirahat di setiap selesai salam.

Selain itu, secara khusus, para ulama asy-Syafi’iyyah menganjurkan untuk melakukan istirahat setelah selesai dari setiap empat raka’at dengan 2 salam. Artinya, setelah melakukan 2 raka’at, tidak langsung istirahat, namun selesai salam langsung dapat melanjutkan 2 raka’at berikutnya. Dan jika sudah mendapatkan 4 raka’at, baru beristirahat.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:

مبينا أنا عشون رع بعشر تسلیمات غير الوثر وذلك مس تويات والمدة أربع ركعات بتسليمتين .

Mazhab kami, bahwa jumlah raka’at shalat tarawih adalah 20 raka’at dengan 10 salam selain shalat witir. Dan di dalamnya terdapat 5 tarwih. Di mana satu tarwih dilakukan setelah 4 raka’at dengan 2 salam.

Hukum shalat tarawih berjamaah

Para ulama sepakat bahwa hukum melaksanakan shalat tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan adalah sunnah. Berdasarkan hadits Aisyah sebelumnya, dan hadits berikut:

عن عبد الرحمن بن عوف قال : قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : « إن الله تبارك وتعالى فرض صیام رمضان عليه وسننت له قيامة ، فمن صامه وقامه لكم

إيمانا واحتسابا خرج من ذنوبه كيوم ولدته أق » ( رواه النسائی )

Dari Abdurrahman bin Auf: Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah memfardhukan puasa Ramadhan atas kalian, dan mensunnahkan qiyam-nya. Maka siapapun yang berpuasa dan berqiyam pada bulan Ramadhan atas dasar iman dan mengharap ganjaran dari Allah, dosa-dosa akan terampuni hingga ia seperti seorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Nasa’i).

Para ulama juga sepakat bahwa disunnahkan shalat tarawih untuk dilaksanakan setara berjama’ah sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ

Adapun persolaan kenapa Rasulullah ﷺ selanjutnya tidak melaksanakan shalat tersebut secara berjamaah bersama para sahabat. Berdasarkan keterangan sejumlah hadist, bahwa kekhawatiran Nabi shalat tarawih berjamaah tersebut akan difardhukan kepada kaum muslimin.

الله عنها – : أن رسول الله عن عائشة – رضي صلی الله عليه وسلم – قال : « فإنه لم يخف علي مگانگم ، ولكني خشيت أن تفرض عليكم ، فتغيرژوا عنها » ( متفق عليه )

Dari Aisyah – radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam saat shalat tarawih). Akan tetapi aku takut nanti menjadi diwajibkan atas kalian sehingga kalian menjadi keberatan karenanya.” (HR: Bukhari Muslim)

Dan karena itu, praktek shalat tarawih selanjutnya dilakukan oleh para shahabat secara sendiri-sendiri ataupun berjama’ah dalam kelompok-kelompok tertentu. Apakah dilakukan di dalam masjid, ataupun di rumah.

Shalat Tarawih berjamaah di era Umar Bin Khattab

Hingga pada masa khalifah Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu beliau menetapkan praktek shalat tarawih dengan cara berjama’ah melalui satu imam. Dan shahabat yang ditunjuk menjadi imam shalat adalah shahabat Ubay bin Ka’ab – radhiyallahu anhu –

“خرجت مع عمر بن الخطاب رضي الله عنه ليلة في رمضان إلى المسجد، فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلي الرجل لنفسه، ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط، فقال عمر رضي الله عنه: إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل، ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب، ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم، قال عمر: (نعمت البدعة هذه والتي ينامون عنها أفضل من الذين يقومون يريد آخر الليل وكان الناس يقومون أوله). رواه البخاري (2010)

“Suatu ketika aku keluar ke Masjid bersama Umar Bin Khattab r.a. pada suatu malam di Bulan Ramadhan, sedangkan orang-orang  terpisah-pisah, ada yang Shalat sendirian ada pula yang Shalat kemudian diikuti oleh  sekelompok orang. Kemudian Umar berkata: “Sungguh aku memandang andai aku kumpulkan mereka pada satu Imam tentunya itu lebih baik”. Kemudian beliau mengumpulkan mereka pada Ubay Bin Ka’ab, kemudian aku keluar bersama Umar pada malam lainnya sedangkan orang-orang Shalat dengan Imam mereka, kemudian Umar berkata: “Sebaik-baik Bid’ah adalah ini, sedangkan yang tidur terlebih dahulu kemudian bagun di akhir malam itu lebih utama, sedangkan orang-orang melakukannya di awal malam.” (HR: Bukhari no. 2010).

Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.

“Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan Qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”

Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.

Demikianlah sejarah shalat tarawih berjamaah di masa Umar Bin Khattab sampai di ummat saat ini.

Bukan soal bilangan, tapi kualitas

Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah (Darul Wafa’) mengatakan pendapat soal jumlah shalat tarawih;

“Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at.

Akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab ditunjuk sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at.

Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.

Sebagian salaf pun ada yang melaksanakan shalat malam sampai 40 raka’at, lalu mereka berwitir dengan 3 raka’at. Ada lagi ulama yang melaksanakan shalat malam dengan 36 raka’at dan berwitir dengan 3 raka’at.

Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah.

Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi ﷺsendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.

Namun apabila para jama’ah tidak  mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama.

Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun.

Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi ﷺsehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa).

Demikianlah sejarah shalat tarawih hingga kita kenal dan kita jalani. Semua punya dasar yang kuat, baik yang 11 rakaat atau 23 rakaat, karenya tidaklah perlu dipertentangkan. Wallahu a’lam.*/Isa Anshory, LC (Qiyamul Lail & Ramadhan), beberapa sumber lain

Rep: Ahmad
Editor: -

No comments: