Kisah Gerombolan Perampok Tersungkur di Kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani memiliki kisah-kisah unik sejak remaja. Diriwayatkan, bahwa menjelang keberangkatannya menuntut ilmu ke negeri Baghdad, ibunya membekali 80 keping uang emas yang dijahit dalam saku bajunya. Uang itu adalah harta warisan dari almarhum ayahnya. Di kala hendak berangkat, ibunya berpesan agar al-Jilani tidak berdusta dalam keadaan bagaimanapun. Ia mematuhi nasehat ibunya.
Berangkatlah ia. Begitu sampai di Hamadan ia mendapat ujian dan cobaan. Segerombolan perampok menghampirinya. al-Jilani tidak tampak berharta kala itu, sebab menampilannya yang sangat sederhana dan miskin. Tetapi salah seorang perampok itu menanyakan uang kepadanya. Al-Jilani pun mengaku membawa uang dari ibunya sebesar 80 keping. Lalu sang perampok keheranan melihat kejujurannya.
Kepada perampok itu Al-Jilani mengisahkan akan pesan ibunya, bahwa ia tidak boleh berdusta dalam keadaan bagaimanapun dan ditambahkannya, jika ia berdusta, upaya untuk menuntut ilmu tidak ada artinya. Mendengar kejujuran al-Jilani itu, konon gerombolan perampok itu tersungkur jatuh di kaki al-Jilani. Dan diceritakan, bahwa pemimpin perampok itulah muridnya yang pertama kali.
Selama belajar di Baghdad ia selalu prihatin dan menahan derita dengan tabah. Berkat kejujuran dan kesalehannya ia cepat menerima dan menguasai ilmu dari para gurunya. Ia terbukti sebagai ahli hukum pada masanya.
Al-Jilani banyak menekuni literatur. Misalnya Ilmu Tafsir, ilmu Hadis, ilmu Khilaf (ilmu yang berhubungan dengan perselisihan para ulama’), ilmu Ushul (Kalam dan Fiqh), ilmu Nahwu, ilmu Tajwid, ilmu Sharaf, ilmu Arudh, ilmu Balaghah, ilmu Mantiq dan ilmu Tasawuf.
Di samping ahli hukum (fiqh) ia juga seorang sastrawan. Ini bisa dibuktikan lewat karya-karyanya. Misalnya Futuh al-Ghaib, Fath al-Rabbani dan Qasyidah al-Ghautsiyah yang terhimpun dalam wacana-wacana.
Uzlah 25 Tahun
Di masa belajar ia gemar mujahadah, sering berpuasa dan tidak mau meminta makanan kepada seseorang meski ia berhari-hari tanpa makan.
Dua puluh lima tahun ia uzlah dari masyarakat ramai hanya memakai jubah dari bulu domba usang dan sehelai kain putih yang melekat di kepala. Ia mengarungi panas dan dinginnya musim di tanah Irak tanpa beralaskan kaki (sandal) dan makan minum yang tak menentu.
Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya'rani [898-907 H) dalam kitab Thabaqat al-Kubra menceritakan suatu ketika datanglah seorang yang menaruh belas kasihan kepadanya serta memberikan uang. Ia pun menerima pemberian itu sedirham untuk membeli roti, tetapi tiba-tiba jatuhlah secarik kertas di hadapannya sehingga ia tinggalkan roti itu. Kertas itu bertuliskan: “Keinginan untuk memakan itu dijadikan untuk hamba-hamba Ku yang dha’if imannya agar mereka dapat menambah kekuatan berbakti dan taat kepada Ku. Ada pun bagi orang yang kuat imannya tentu ridak mempunyai keinginan yang sedemikian.”
Setelah al-Jilani menamatkan pendidikannya di Baghdad, ia mulai melancarkan dakwahnya (al-Ishlah Wa’l-Irsyad). Abu Said al-Mukhrami menyerahkan pembangunan madrasah kepadanya. Madrasah itu tidak menampung para muridnya yang sejumlah besar, maka diperluaslah dan selesai pembangunannya pada tahun 528 H. Madrasah ini di nisbahkan dengan namanya (Qadiriyah).
Abul Husein Ali Husni Nadwi dalam Kitab Rijal al-Fikri wa’l-Da’wah fi’l-Islam menyebutkan tentang kebesaran nama al-Jilani. Syaikh Munawiq Qudamah, pengarang kitab Al-Mughni mengatakan: “Saya tidak pernah melihat orang yang besar perjuangannya melebihi dia."
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment