Kisah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani Membuat Khalifah Al-Mustanjid Bertaubat
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dikenal tidak mau mencari muka kepada kaum elit, baik kepada orang-orang kaya para pembesar kerajaan. Pernah suatu ketika ia didatangi oleh Khalifah , ia tidak langsung menemuinya tetapi ditinggalkan beberapa waktu dalam khalwatnya.
Diceritakan oleh Abdullah al-Mashalli bahwa pernah suatu ketika Khalifah Al-Mustanjid datang ke rumah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani guna meminta nasihat. Al-Mustanjid adalah khalifah Bani Abbasiyah (1160-1170). Ia bergelar Abu al-Muzhaffar dengan nama asli Yusuf bin al-Muqtafi.
Khalifah meminta sesuatu yang bisa menentramkan hatinya, yaitu buah apel yang langka di tanah Irak. Lalu Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani mengadahkan tangannya ke langit memohon kepada Allah, maka dalam sekejap itupun dua buah apel tergenggam di tangannya. Diberikanlah sebuah untuk khalifah dan sebuah lagi untuk dirinya.
Setelah apel dikupas dari tangan al-Jilani terciumlah bau harum dan manis. Anehnya dari kupasan khalifah tercium bau busuk dan penuh dengan ulat. Khalifah pun terkejut dan bertanya, "Kenapa begini wahai Syaikh?"
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani menjawab, "Ia busuk dan berulat karena dijamah oleh tangan seorang zalim dan ia harum dan wangi karena dijamah oleh seorang wali Allah."
Konon sejak itu khalifah bertaubat dan menjadi pengikut setia Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
Kala itu, Al-Jilani tidak takut akan murka khalifah. Padahal, pada masa itu, jika seorang berani mencela perbuatan khalifah, maka akan mendapat hukuman yang berat.
Kisah lainnya, Abul Husein Ali Husni Nadwi mengungkap dalam Kitabnya Rijal al-Fikri wa’l-Da’wah fi’l-Islam. Dalam buku ini diceritakan ketika Khalifah al-Muktadi Liamrillah (467-487 H) mengangkat Abu al-Wafa’ Yahya bin Said bin Yahya al-Mudhafar untuk menjadi hakim (qadhi), maka al-Jilani menyerang habis-habisan dalam ceramahnya.
“Engkau menjadi penguasa atas kaum muslimin dengan cara yang zalim. Apa tanggung jawabmu di sisi di akhirat kelak?” ujarnya.
Khalifah al-Muktadi Liamrillah pun mendadak menangis dan seketika itu juga Abu al-Wafa’ dipecatnya.
Sultannya Para Wali
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani mendapat julukan yang tinggi karena karakteristiknya yang mulia. Yusuf al-Nabhani, dalam bukunya Jami’u Karamat Auliya menyebutnya sebagai sultannya para wali (sulthan al-auliya’) dan imamnya para sufi (imam al-asfiya’).
Demikian pula Izzuddin bin Abdussalam dan Ibnu Taimiyah, yang dinukil secara mutawatir mengatakan, bahwa al-Jilani mempunyai banyak karamah melebihi para wali di masanya.
Karamah itu adakalanya digunakan untuk sesuatu yang luar biasa (Khariq al-‘adah) yang terjadi pada diri seseorang yang saleh atau wali sebagai anugerah dari Allah SWT, untuk menunjukkan ketinggian kedudukan orang tersebut di sisi-Nya sebagaimana mukjizat para Nabi.
Para pengikutnya meyakini karamah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani yang terpenting adalah menghidupkan hati dan jiwa yang mati, menanamkan keimanan, menanamkan rasa takut kepada Allah SWT, serta menyalakan jiwa untuk berbakti kepada-Nya.
Secara metaforis disebutkan, Al-Sya’rani mengatakan bahwa ia tidak pernah dihinggapi lalat sebagaimana Rasulullah SAW, karena kemuliannya.
Syaikh Yusuf ibn ‘Ismail al-Nabhani dalam bukunya berjudul Jamiu Karamat al-Auliya’ menyebutkan, pernah suatu ketika Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani sedang duduk dan hendak berwudhu, tiba-tiba ada burung mengotorinya, maka seketika itu juga burung itu mati. Melihat keadaan itu maka Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani cepat-cepat membersihkan pakaiannya dan kemudian pakaian itu disedekahkan kepada fakir miskin sebagai tebusan burung yang mati.
Seraya ia berkata, "seandainya aku berdosa karena burung ini, maka pakaianku inilah sebagai tebusannya. Ia juga menghidupkan burung dan ayam yang sudah mati."
Sedangkan Abu Ahmad Abdul Hamid dalam bukunya berjudul Jawahir al-Asani ‘Ala Lujjain al-Dani mengutip Umar Usma al-Shairofi dan Abu Muhammad Abdul Haq al-Harami, mengatakan bahwa ia juga mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bisa menaklukkan musuh dari jauh. Dengan kekuatan batinnya ia menangkap seorang dari kejauhan.
Al-Nabbani masih dalam kitabnya yang berjudul Jamiu Karamat al-Auliya’ mencontohkan tentang apa yang dikisahkan Saraj tentang Abu al-Mudhaffar al-Hasan.
Al-Hasan adalah seorang pedagang besar Baghdad. Pada suatu ketika ia menghadap kepada Syaikh Hammad al-Dabbasi, seorang tokoh besar dan guru tarekat al-Jilani dengan maksud minta restu agar dalam berniaga mendapat keselamatan dan keuntungan. Tetapi Syaikh Hammad tidak memperkenankan, karena akan ada bahaya maut dan perampok yang hendak menghabiskan barang dagangannya.
Sepulang dari Syaikh Hammad pedagang tersebut bertemu al-Jilani di tengah perjalanan. Maka diceritakanlah semua yang difatwakan oleh Syaikh Hammad.
Mendengar semua cerita itu, maka berkatalah al-Jilani, berlayarlah tahun ini (521 H) pasti engkau selamat dan pulang dengan membawa keuntungan yang besar. Akulah yang bertanggung jawab atas segala risikonya.
Beberapa saat kemudian Abu al-Mudhaffar pun berangkat menuju negeri Syam (Syria). Ternyata sampai di sana dagangannya laris berlaku seribu dinar, kemudian ia menuju Halb, dan di kala ia beristirahat (qadhi al-Hajat), uang dagangannya tertinggal sampai semalaman.
Dalam tidurnya ia bermimpi bahwa ia dan kafilah lainnya dirampok oleh kawanan penjahat dan dibunuhnya. Setelah bangun maka di lehernya terdapat bekas darah dan masih terasa sakitnya gorokan pisau.
Barulah kemudian ingat uangnya yang tertinggal di tempat ia berhajat. Maka segeralah ia mencarinya dan ternyata masih utuh. Dan riang gembira ia kembali menuju ke Baghdad.
Sesampainya di sana ia berkata dalam hatinya, apakah ia harus menemui Syaikh al-Dabbas dulu, karena yang paling tua, atau al-Jilani yang cocok fatwanya. Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan al-Dabbas di pasar sultan. Kemudian al-Dabbas berkata, temuilah dulu al-Jilani karena ia kekasih Tuhan, yang mendoakanmu sampai tujuh belas kali sehingga bahaya maut yang semestinya menimpa dirimu benar-benar hanya engkau temui dalam mimpi saja.
Begitu pula hartamu yang hilang sementara karena kelupaanmu. Lalu Abu al-Mudhaffar menemui al-Jailani. Sebelum ia (al-Mudhaffar) mengutarakan segala sesuatunya, tiba-tiba al-Jailani sudah mendahului pembicaraannya.
Ia berkata “al-Dabbas mengatakan kepadamu bahwa aku mendoakanmu tujuh belas kali. Demi tuhan sungguh aku mendoakanmu sampai tujuh puluh kali hingga kau selamat dari bahaya”.
Demikianlah beberapa di antara karamah al-Jilani. Cerita ini memang sulit untuk ditelaah secara rasional. Toh, banyak yang meyakini kebenarannya. Karamah memang masalah yang sublim dan luar biasa.
Mukjizat dan Karamah
Al-Qur'an memperkenalkan tiga bentuk perbuatan luar biasa, yaitu mukjizat, karamah, waqi'iyyah dan sihir. Mukjizat secara sederhana biasa diartikan sebagai perbuatan luar biasa yang muncul dari diri seorang Nabi atau Rasul . Selain Nabi dan Rasul tidak ada orang yang mampu mengakses keajaiban ini.
Karamah biasa diartikan perbuatan luar biasa muncul dari diri seorang wali atau kekasih Tuhan. Waqi'iyyah hampir sama dengan karamah, hanya lebih banyak tampil dalam bentuk pengetahuan kejadian masa akan datang yang belum terjadi. Sedangkan sihir adalah juga perbuatan luar biasa yang muncul dari diri seorang yang belajar dan terus berusaha memahirkan diri di dalam mengamalkan keterampilan supernatural itu.
Mukjizat , karamah, dan waqi'iyyah hanya bisa diakses oleh orang-orang yang secara konsisten membersihkan diri lahir dan batin, melakukan pengabdian tulus di dalam pembinaan masyarakat. Ciri-ciri orang yang mendapatkan mukjizat dan karamah tidak pernah memperkenalkan diri dengan mendemonstrasikan kelebihan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Apalagi, mereka tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mengomersialkan kelebihan yang Tuhan berikan kepadanya. Bahkan, banyak orang yang sesungguhnya mendapatkan karunia berupa karamah tetapi tidak pernah mau memperkenalkan diri ke dalam masyarakat.
(mhyMiftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment