Hukum Kurban: Syafi'iyah Nyatakan Sunah ‘Ain bagi Tiap Pribadi dan Sunah Kifayah bagi Tiap Keluarga
Para ahli fikh berbeda pendapat tentang hukum pelaksanaan ibadah kurban . Abu Hanifah dan para pengikutnya menyatakan ibadah kurban hukumnya wajib dilaksanakan setiap tahun bagi mereka yang mampu dan mukim (tidak dalam perjalanan).
At-Tahawi dan yang lainnya menyatakan pernyataan wajib yang dikatakan Abu Hanifah, menurut pengikutnya Abu Yusuf dan Muhammad adalah sunat muakkad.
Dalil yang mereka kemukakan adalah:
Pertama, perintah Allah yang terdapat dalam QS Al-Kautsar ayat 2 Amr (perintah) Allah yang terdapat dalam ayat tersebut berarti wajib.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka Dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. ( QS Al-Kautsar : 2)
Kedua, hadis Abu Hurairah yang berisikan ancaman bagi orang yang mampu tapi tidak melaksanakan ibadah kurban untuk tidak mendekati rumah Allah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barang siapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat salat kami.” (HR Ahmad dan Ibn Majah).
Ancaman seperti yang terdapat di atas hanyalah untuk mereka yang meninggalkan suatu perintah Allah yang hukumnya wajib.
Seandainya perintah Rasulullah itu hukumnya sunat, maka nabi tidak akan menyebutkan ancaman yang sedemikian berat bagi orang yang tidak melaksanakannya. Maka sesungguhnya tidak berfaedah mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban ibadah kurban ini.
Ketiga, hadis yang menyatakan bahwa nabi tetap melaksanakan ibadah kurban walaupun beliau sedang dalam perjalanan, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Sauban berikut: “Rasulullah SAW telah memotong hewan kurbannya kemudian ia bersabda,”Ya Sauban, simpanlah dengan baik daging ini. Akan senantiasa menyantapnya sehingga (kita) sampai ke Madinah” (Muslim).
Keempat, terdapat hadis Nabi memerintahkan untuk mengulang pelaksanaan ibadah kurban bukan pada waktu yang ditetapkan (ia menyembelih hewan kurbannya sebelum pelaksanaan shalat Id). Perintah pengulangan ini hanya di tujukan bagi sesuatu yang wajib, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Jundab berikut:
Kelima, “Nabi salat (salat Id) pada hari raya Idul Adha, berkhutbah, lalu menyembelih hewan kurban. Maka belau bersabda, “Siapa yang menyembelih hewan kurbannya sebelum salat Id maka hendaklah ia (mengulangi) dengan menyebelih hewan yang lainnya.” (Bukhari dan Muslim).
Sunat Muakad
Abu Bakar , Umar, Bilal, Abu Mas’ud al-Badri, Suwaid bin Ghoflah, Said bin Musayyab, Alqamah, ‘Ata’, asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Saur, dan Ibnu Munzir (dalam hal ini mereka semua disebut Jumhur) berpendapat bahwa ibadah kurban itu hukumnya sunat muakkad, tidak wajib tetapi makruh meninggalkannya bagi mereka yang mampu.
Syafi’iyah dalam hal ini menyatakan bagi tiap pribadi hukumnya sunah ‘ain dan sunah kifayah bagi tiap keluarga. Adapun Malikiyah menambahkan bahwa hal tersebut tidak disunatkan bagi mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji.
Dalil-dalil yang dikemukakan jumhur antara lain:
Pertama, hadis Umu Salamah berikut:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ ) وفي لفظ له : ( إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا.
“Bahwa Nabi SAW bersabda,”Apabila kamu telah melihat hilal awal bulan Zulhijjah dan salah seorang di antara kamu hendak berkurban maka janganlah ia memotong bulu dan kukunya”. (HR Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa kurban itu tidak wajib dengan menggunakan redaksi (arada) yang berarti ingin secara implisit mengandung pengertian adanya pilihan antara melaksanakan ataupun tidak.
Larangan untuk memotong bulu dan kuku hewan tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam hadis di atas hanyalah bersifat makruh dan disunatkan untuk meninggalkan larangan tersebut.
Salah satu hikmah untuk tidak memotong bulu dan kuku adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Nawawi adalah untuk membebaskan kita dari api neraka. Karena ia akan menjadi saksi di akhir atas ibadah kurban yang kita laksanakan.
Kedua, praktik yang berlaku pada masa sahabat, di masa hidupnya Abu Bakar dan Umar tidak melaksanakan kurban karena dikhawatirkan para sahabat menilai bahwa kurban itu hukumnya wajib.
Dan Ibnu Abbas yang membeli daging senilai dua dirham, kemudian ia berkata, “Inilah kurbannya Ibnu Abbas”.
Ibnu Hazm menyatakan tidak sahih pernyataan salah seorang sahabat yang menyatakan ibadah kurban itu wajib yang sahih adalah bahwa kurban itu tidak wajib.
Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa ibadah kurban itu syari’at Islam.
(mhy) Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment