Ijtihad Umar bin Khattab Mirip Konsep Nasionalisasi Tanah-Tanah Pertanian
Ijtihad Umar bin Khattab berkenaan dengan masalah tanah pertanian berserta garapannya yang baru dibebaskan oleh tentara Islam di negeri Syam, Irak, Persia, dan Mesir adalah sikap mendahulukan pertimbangan kepentingan umum yang menyeluruh.
"Kebijakan ini sangat cermat memperhatikan agar harta kekayaan tidak menumpuk hanya di tangan sekelompok orang-orang kaya saja," ujar Nurcholish Madjid dalam bukunya berjudul "Islam, Doktrin dan Peradaban".
Penyerahan pemilikan atas berpuluh-puluh juta hektar tanah pertanian di Irak, Syam, Persia, dan Mesir kepada sekelompok tentara dan bawahannya akan membentuk sejumlah orang kaya yang pada mereka terdapat harta benda melimpah ruah, dengan peredarannya pun terpusat kepada mereka saja.
"Hal itu akan membawa dampak sosial dan moral yang akibatnya tidak terpuji," ujar Nurcholish Madjid mengutip Al-Bahi al-Khuli dalam tulisannya berjudul "Min fiqh 'Umar fi al-Iqtisad wa al-Mal".
Di dalamnya kita melihat Umar memandang harta sebagai hak semua orang dan menempuh kebijaksanaan yang memperhitungkan kemaslahatan generasi mendatang. "Itu adalah pandangan yang cermat dan mendalam, yang dalam al-Qur'an diketemukan sandaran yang sangat kuat," katanya.
Di dalamnya juga terdapat tindakan sejenis nasionalisasi tanah-tanah pertanian atau yang mendekati itu, yaitu ketika ia mencegah sekelompok muslim sezamannya dari menguasai tanah-tanah yang dikaruniakan Tuhan sebagai harta rampasan (fay'), dan ia tidak bergeser dari pendapatnya untuk menjadikan tanah-tanah itu milik negara, yang dari hasil pajaknya ia membuat anggaran untuk tentara, dan dengan hasil itu pula ia menanggulangi kesulitan-kesulitan di masa depan.
Di dalamnya juga terdapat banyak hal yang lain, berupa pandangan-pandangan finansial dan ekonomi yang menunjukkan luasnya ufuk dan keluwesan pemikiran serta daya cakup Islam yang hanif terhadap masalah-masalah yang pelik.
Ma'ruf al-Dawalibi dalam tulisannya berjudul "Kayfa ista'mala al-sahaabah 'uqulahum fi fahm al-Qur'an" juga menyebut ijtihad Umar bin Khattab ini termasuk yang menonjol pada zaman para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat.
Ma'ruf al-Dawalibi menjelaskan telah terdapat nas al-Qur'an yang menyebutkan dengan jelas tanpa kesamaran sedikit pun di dalamnya bahwa seperlima harta rampasan (perang) harus dimasukkan ke bayt al-mal, dan harus diperlakukan sesuai dengan pengarahan yang ditentukan oleh ayat suci.
Allah telah berfirman dalam Surah al-Anfal , "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu rampas (dalam perang) dari sesuatu (harta) maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan (ibn al-sabil)."[QS al-Anfal/8:41]
Sedangkan yang empat perlima selebihnya maka dibagi sama antara mereka yang merampas (dalam perang) itu, sebagai pengamalan ketentuan yang bisa dipahami dari ayat suci tersebut dan praktik Nabi SAW ketika beliau membagi (tanah pertanian) Khaybar kepada para tentara.
Ma'ruf al-Dawalibi meriwayatkan, sebagai pengamalan al-Qur'an dan al-Sunnah, datanglah para perampas (harta rampasan perang) itu kepada Umar bin Khattab, dan meminta agar ia mengambil seperlima daripadanya untuk Allah dan orang-orang yang disebutkan dalam ayat (dimasukkan dalam bayt al-mal), kemudian membagi sisanya kepada mereka yang telah merampasnya dalam perang.
Mengahadapi ini Umar berkata, "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian? Mereka mendapati tanah-tanah pertanian beserta garapannya telah habis terbagi-bagi, dan telah pula terwariskan turun-temurun dan terkuasai? Itu bukanlah pendapat (yang baik)."
Mu'adz bin Jabal mendukung ijtihad Umar tersebut. "Jika engkau sampai membagi-baginya, maka akan terjadilah kekayaan yang amat besar berada di tangan kelompok orang tertentu, kemudian mereka akan mati, lalu harta itu akan bergeser ke tangan satu orang, baik laki-laki atau pun perempuan, dan sesudah mereka itu muncul generasi yang benar-benar melihat adanya kebaikan pada Islam --yaitu mereka mendapati dalam Islam suatu keuntungan-- namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Karena itu carilah sesuatu yang menguntungkan baik generasi pertama maupun generasi akhir."
Mengomentari hal ini Al-Dawalibi mengatakan sungguh menakjubkan pernyataan Mu'adz itu. Jika tanah-tanah pertanian itu dibagi habis, maka terjadilah kekayaan amat besar pada kelompok tertentu, dan kalau mereka ini semuanya telah tiada, kekayaan itu akan pindah ke tangan satu-dua orang, sehingga orang-orang (dari kalangan penduduk setempat) yang muncul sesudah itu dan memeluk Islam tidak lagi mendapatkan sesuatu apa pun! "Alangkah cemerlang pernyataannya itu!" katanya.
Menurut al-Dawalibi, dengan pernyataannya itu, Mu'adz seolah-olah hendak menentang banyak orang sebagaimana kaum sosialis sekarang menentang para tuan tanah agar jangan sampai tanah yang luas milik Tuhan itu jatuh ke tangan hanya satu-dua orang, baik pria maupun wanita, yang dengan pemilikan tanah itu orang tersebut memetik buah kerja keras sejumlah besar para pekerja petani untuk dinikmati sendiri tanpa disertai kalangan manusia lainnya.
Itulah sebabnya al-Qadli Abu Yusuf berkata: ''Pendapat yang dianut 'Umar ra untuk tidak membagi tanah-tanah pertanian itu antara mereka yang membebaskannya, ketika Tuhan memberinya kearifan tentang apa yang disebutkan dalam Kitab Suci sebagai penjelasan pendapatnya itu, adalah suatu petunjuk dari Tuhan.
Pada Umar dengan tindakan tersebut --yang di situ terdapat kebaikan pendapatnya-- berupa pengumpulan pajak dan pembagiannya di antara orang-orang Muslim, terkandung kebaikan umum bagi masyarakat mereka.
"Sebab jika seandainya pendapatan dan kekayaan (negeri) tidak diserahkan kepada manusia (secara umum), maka pos-pos pertahanan tidak lagi terpenuhi kebutuhannya, dan tentara tidak lagi mendapatkan perbekalan untuk melanjutkan perjuangan suci (jihad) mereka," ujarnya.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment