Kisah Khalifah Harun Al-Rasyid Membagi Dunia kepada 3 Putranya di Kaki Kakbah
Khalifah kelima Dinasti Abbasiyah , Harun Al-Rasyid , adalah salah satu khalifah yang paling rajin naik haji. Setiap tahun sejak dilantik sebagai khalifah, beliau tak pernah absen ke tanah suci.
Kesempatan berhaji dia gunakan untuk bertemu dengan seluruh kaum Muslim sedunia, dan mendengar langsung aspirasi serta keluh kesah mereka. Dan ketika kembali, semua pengaduan tersebut akan ditindaklanjuti oleh Harun Al-Rasyid . Semua ini adalah hal yang rutin, dan masyarakat pun mahfum akan hal tersebut.
Pada tahun 186 H, Harun Al-Rasyid pun berangkat haji bersama putra-putranya. Dia membawa serta semua sanak keluarganya, para panglima perang, dan juga para tokoh-tokoh terkemuka Bani Hasyim. Ikut juga dalam kesempatan tersebut Ja’far bin Yahya bin Khalid yang ketika itu sudah menjadi wazir Harun Al-Rasyid menggantikan ayahnya.
Imam As-Suyuthi dalam bukunya berjudul "Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah" menyebut khusus untuk ibadah haji kali ini, bisa dikatakan berbeda. Karena pada musim haji kali ini, Khalifah Harun Al-Rasyid mengangkat Al-Qasim, putra ketiganya sebagai putra mahkota di urutan ketiga, setelah Al-Amin dan Al-Ma’mun.
Al-Qasim lahir dari seorang budak bernama Qasif yang dinikahi Harun Al-Rasyid. Sulit dipastikan berapa tepatnya usia Al-Qasim ketika dilantik sebagai putra mahkota ketiga ini. Tapi Imam Al-Suyuthi mengatakan bahwa dia masih sangat kecil saat itu.
Menurut Tabari dalam "The History of al-Tabari, The Abbasid Caliphate in Equilibrium", bila Al-Amin dimentori oleh Fadl bin Yahya, Al-Ma’mun oleh Ja’far bin Yahya. maka Al-Qasim dimentori oleh Abdul Malik Saleh, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Mesir dan Suriah.
Konon Abdul Malik yang merayu Khalifah Harun Al-Rasyid sehingga beliau tergoda untuk mengangkat putra ketiganya yang masih sangat belia tersebut sebagai putra mahkota ketiga.
Setelah resmi dilantik sebagai putra mahkota ketiga, Al-Qasim mendapat gelar Al-Mu’tamin. Sebagaimana kakak-kakaknya yang sesaat setelah dilantik dipercaya untuk memerintah sebuah wilayah (untuk melatih kecakapan mereka dalam pemerintahan).
Jika Al-Amin ketika dilantik sebagai putra mahkota pertama di tahun 173 H/ 789 M, dipercaya menjadi gubernur di Suriah dan Irak. Sedangkan Al-Ma’mun ketika resmi dilantik sebagai putra mahkota kedua tahun 175 H/791 M, dipercaya menjadi gubernur wilayah Hamadhan hingga batas ujung terjauh kekuasaan Abbasiyah di kawasan timur, maka Al-Mu’tamin diserahi tanggungjawab untuk memegang kendali wilayah Al-Jazirah dan juga Thughur (sebuah wilayah frontier yang berbatasan langsung dengan kekaisaran Bizantium).
Disebabkan usianya yang masih sangat belia, secara otomatis pengendali sesunggunya wilayah ini adalah mentor-mentor mereka. Dalam konteks Al-Mu’tamin, yang berkuasa di kawasan itu tidak lain adalah Abdul Malik bin Saleh.
Akbar Shah Najeebabadi dalam The History Of Islam menceritakan kemudian Harun Al-Rasyid membuat sebuah piagam perjanjian yang mengikat kesepakatan di antara anak-anaknya. Piagam tersebut ditulisnya sendiri. Isinya kurang lebih sebagai berikut:
“Bahwa Al-Amin bersumpah akan memenuhi hak Al-Ma’mun, demikian juga sebaliknya. Al-Amin akan memerintah terlebih dahulu. Dan selama dia memerintah, Al-Ma’mun akan selalu mematuhi perintahnya. Akan tetapi, Al-Amin tidak diperbolehkan mencopot jabatan Al-Ma’mun yang sudah ditetapkan oleh Harun Al-Rasyid."
"Adapun untuk Al-Mu’tamin, haknya atas tahta sangat bergantung pada Al-Ma’mun. Al-Mu’tamin harus terlebih dahulu menunjukkan kontribusi dan kapabilitas dirinya hingga dianggap layak oleh Al-Ma’mun menggantikan kedudukannya kelak. Bila tidak, maka Al-Ma’mun diperkenankan untuk memilih orang lain menjadi penggantinya.”
Demikianlah kurang lebih isi piagam penting tersebut. Khalifah Harun Al-Rasyid kemudian mengumumkan isinya pada khalayak yang hadir pada waktu itu. Harun ingin mereka semua menjadi saksi atas penandatangan perjanjian penting ini. Setelah semua orang mengetahui dan menyatakan kesetujuaanya, Harun Al-Rasyid kemudian menggantung piagam tersebut di dinding Kakbah.
Menurut Imam Al-Suyuthi, melihat Khalifah Harun Al-Rasyid membagi-bagikan dunia di antara ketiga anaknya, orang-orang bijak kala itu berkomentar, “Dia telah menciptakan derita di antara mereka sendiri dan menimbulkan bencana teramat besar pada rakyatnya.” Akan tetapi banyak juga penyair-penyair yang menyanjung bai’at putra mahkota tersebut dengan puja-puji semanis madu.
Intinya banyak komentar bermunculan terkait dengan keputusan Harun mengangkat ketiga putranya ini. Makin lama, komentar-komentar tersebut lebih banyak bertendensi negatif. Karena sebagaimana yang kemudian terjadi, keputusan yang dibuat Khalifah Harun Al-Rasyid pada masa hidupnya, ternyata mengundang bencana di dalam tubuh Dinasti Abbasiyah. Anak-anak Harun Al-Rasyid pada akhirnya saling berperang satu sama lain demi berebut kekuasaan dunia.
Menariknya, ketika Harun Al-Rasyid membagi-bagikan kekuasaan kepada ketiga putranya, pada saat itu juga hadir putranya yang lain, bernama Al-Mu’thasim. Tapi dia sama sekali tidak diperhitungkan oleh Harun ketika itu karena kondisinya yang buta huruf.
Di saat nanti waktu menentukan takdirnya, orang-orang pun berkomentar, “Bahwa Harun Al-Rasyid tidak memberikan kekuasaan pada Al-Mu’thasim karena dia seorang anak yang buta huruf. Namun Allah mengaruniakan khalifah kepadanya. Allah menjadikan anak-anak Al-Mu’thasim, bukan anak-anak Harun Al-Rasyid yang lain, sebagai khalifah sepeninggalnya.”
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment