Kisah Umar Bin Khattab Minta Perlindungan Allah Taala dari Bilal Bin Rabah
Tantangan yang dihadapi Umar bin Khattab saat menjadi khalifah tidaklah ringan. Terutama pada saat beliau melakukan ijtihad dalam persoalan ummat. Tak sedikit para sahabat Nabi SAW sendiri melakukan perlawanan sehingga Umar sempat berteriak meminta perlindungan kepada Allah taala dari Bilal bin Rabah dan kawan-kawan.
Al-Bahi al-Khuli dalam tulisannya berjudul "Min fiqh 'Umar fi al-Iqtisad wa al-Mal" sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid dalam bukunya berjudul "Islam, Doktrin dan Peradaban" meriwayatkan bahwa berita-berita telah sampai kepada Umar dengan membawa kabar gembira tentang telah terbebaskannya Syam, Irak dan negeri Khusru (Persia), dan ia mendapati dirinya berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit.
Harta benda musuh, yang terdiri dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai harta rampasan perang (ghanimah) di tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah. Dan tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam penguasaan tentara itu.
Berkenaan dengan harta (yang bergerak) maka 'Umar telah melaksanakan hukum Allah mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima lainnya kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan firman Allah Ta'ala:
"Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang dari sesuatu (harta kekayaan) itu maka seperlimanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul, kaum kerabat (dari Nabi), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabil (orang telantar di perjalanan), jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) atas hamba Kami (Muhammad) pada hari penentuan, yaitu hari ketika kedua golongan manusia (Muslim dan Musyrik) bertemu (dalam peperangan, yakni, Perang Badar). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." [ QS al-Anfal/8 :41]
Berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu, Umar berpendapat lain. Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu harus disita, dan tidak dibagi-bagikan, lalu dibiarkan seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan negara di tangan para pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini dikenakan pajak (kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan kepada keseluruhan Muslim setelah disisihkan daripada gaji tentara yang ditempatkan di pos-pos pertahanan (al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan negeri-negeri yang terbebaskan.
Akan tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali jika tanah-tanah itu dibagikan di antara mereka karena tanah-tanah itu adalah harta-kekayaan yang dikaruniakan Allah sebagai rampasan (fay') kepada mereka.
Adapun titik pandangan Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan itu memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?
Demikian itu, ditambah lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi sumber rezeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah pertanian yang luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka menumpuklah kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu apa pun untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu. Sehingga terjadilah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang mendesak di pihak lain. Itulah keadaan yang hati nurani 'Umar tidak bisa menerimanya.
Tetapi dalil dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka yang menentang pendapat Umar, yang terdiri dari mereka yang menghendaki kekayaan yang memang halal dan telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.
Mereka ini mengajukan argumen kepadanya bahwa harta kekayaan itu adalah fay' (jenis harta yang diperoleh dari peperangan), dan tanah rampasan serupa itu telah pernah dibagi-bagikan Rasulullah sebelumnya, dan beliau (Rasul) tidak pernah melakukan sesuatu seperti yang ingin dilakukan Umar.
Terutama Bilal ra sangat keras terhadap Umar, dan mempelopori gerakan oposisi sehingga menyesakkan dada Umar dan menyusahkannya, sehingga karena susah dan sedihnya itu Umar mengangkat kedua tangannya kepada Tuhan dan berseru, "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan."
"Akhirnya memang Tuhan melindunginya dari Bilal dan kawan-kawan dengan paham keagamaannya yang mendalam, yang meneranginya dengan suatu cahaya dari celah baris-baris dalam Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua golongan tunduk kepada kekuatannya," ujar al-Ustadh al-Bahi al-Khuli.
Nurcholish Madjid mengatakan dalam banyak hal Umar memang dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan jenius, tetapi juga penuh kontroversi. Tidak semua orang setuju dengan Umar, dari dahulu sampai sekarang.
Kaum Syi'ah, misalnya, menolak keras ketokohan Umar, khususnya kalangan ekstrim (al-ghulat) dari mereka. Yang moderat pun masih melihat pada 'Umar hal-hal yang "menyimpang" dari agama.
Seorang tokoh ulama Syi'ah, Muhammad al-Husayn Al Kashif al-Ghita, mengatakan banyak tindakan Umar, seperti dalam kasus ia melarang nikah mut'ah, adalah semata-mata tindakan sosial-politik, yang tidak ada sangkut pautnya dengan bukan keagamaan (madaniyyan la diniyyan).
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment